Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah menghapus klasifikasi beras premium dan medium disebut dapat memicu ketimpangan baru dalam struktur industri perberasan. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengingatkan, kebijakan tersebut berpotensi menekan penggilingan padi kecil yang jumlahnya sangat dominan di Indonesia.
"Hapus kelas beras harus hati-hati. Apapun kebijakan yang diambil, termasuk penyederhanaan klasifikasi beras, harus menimbang kondisi riil di lapangan," ujar Khudori kepada CNBC Indonesia, Kamis (31/7/2025).
Perlu diketahui, pemerintah saat ini berencana menyederhanakan klasifikasi beras menjadi hanya dua, yakni beras umum (reguler) dan beras khusus. Tidak akan ada lagi pembagian beras medium dan premium sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras.
Namun menurut Khudori, di balik wacana penyederhanaan itu, ada fakta struktur industri yang tak bisa diabaikan.
Dari total sekitar 169 ribu unit penggilingan padi di Indonesia, 95% adalah penggilingan skala kecil. Sisanya adalah penggilingan menengah (4,32%) dan besar (0,62%).
"Penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi," jelasnya.
"Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi," sambung dia.
Ia menekankan, bila pemerintah hanya menetapkan satu standar mutu beras umum tanpa mempertimbangkan kapasitas penggilingan kecil, maka penggilingan tersebut bisa tersingkir dari pasar. Hal itu berpotensi menimbulkan gelombang pengangguran dan menyulitkan petani dalam menjual gabahnya.
Dominasi penggilingan kecil sendiri merupakan warisan kebijakan era 1970-an, ketika beras masih dianggap sebagai komoditas homogen. Namun dalam dua dekade terakhir, preferensi konsumen telah berubah drastis. Beras kini diperlakukan sebagai produk heterogen, berdasarkan rasa, kualitas, varietas, kemasan, hingga merek.
Pangsa pasar beras premium merek tertentu kini diperkirakan mencapai 30% dari konsumsi nasional.
"Apakah meniadakan beras premium dan medium ini jalan keluar dari 'kekisruhan' di dunia perberasan saat ini? Apa implikasi dari rencana ini jika benar-benar dieksekusi?" ucap Khudori.
Ia juga menyebut, jika mutu beras umum ditetapkan terlalu tinggi, maka penggilingan kecil tak akan mampu memenuhinya. Hal ini bisa menimbulkan distorsi baru, termasuk potensi praktik manipulasi kualitas dan pasar gelap beras kelas rendah yang tak diakomodasi kebijakan.
Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk tidak tergesa-gesa mengeksekusi kebijakan tersebut. "Pertanyaannya kemudian, bagaimana kualifikasi mutu beras umum dan beras khusus ditetapkan? Lalu, dengan kualifikasi mutu beras itu, pada HET berapa beras umum dipatok?" ucapnya.
"Kebijakan publik yang baik adalah bagaimana meminimalkan pihak yang dirugikan dan memperbesar pihak yang diuntungkan. Tidak mudah. Sudah pasti. Itulah tantangan krusial bagi setiap pejabat publik," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Tipu-Tipu Beras Oplosan, Polisi Sudah Turun Tangan-Ini Aturannya