Bom Waktu Utang Kereta Cepat, Ini Respons Purbaya, Luhut dan Danantara

21 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek mercusuar yang diselesaikan era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni Kereta Cepat Jakarta-Bandung tengah dalam situasi polemik, karena beban utang proyeknya tengah membebani neraca keuangan PT Kereta Api (Persero).

Bahkan, Direktur Utama PT KAI Bobby Rasyidin saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR pada Agustus 2025 silam sempat mengakui mega proyek itu memang menjadi bom waktu bagi perseroan.

"Kami dalami juga masalah KCIC, ini bom waktu," tegas Bobby, sambil memastikan akan berkoordinasi dengan BPI Danantara dalam menyelesaikan masalah utang-utang tersebut.

Pernyataan ini ia ungkapkan setelah para anggota anggota Parlemen meminta kepadanya roadmap yang sudah direncanakan untuk memulai langkah restrukturisasi utang kereta cepat Whoosh.

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai holding BUMN pun saat ini sedang berupaya mencari solusi untuk menyelesaikan lilitan utang PT. KAI (Persero) akibat proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Chief Operating Officer Danantara Dony Oskaria mengungkapkan salah satu opsi yang akan dilakukan adalah melalui suntikan modal karena pinjaman proyek Whoosh sangat besar. Disamping itu, Danantara juga akan mencarikan solusi lain terhadap keberlangsungan perusahaan.

Dony memandang, jika dilihat secara operasional, EBITDA KAI sudah mencatat angka yang positif, namun ekuitas perusahaan terlalu kecil dibandingkan dengan nilai pinjaman membangun proyek kereta cepat.

Oleh sebab itu, Danantara masih mempertimbangkan terkait penambahan modal ekuitas atau menyerahkan kepada industri infrastruktur kepada pemerintah.

Opsi lainnya, pembahasan bersama pemerintah juga mempertimbangkan opsi menjadikan sebagian infrastruktur KCIC dapat dikategorikan sebagai aset milik negara, seperti halnya model Badan Layanan Umum (BLU).

"Jadi beberapa opsi, tetapi intinya adalah kita ingin KCIC-nya berjalan dengan baik, karena ini dimanfaatkan oleh masyarakat banyak, di satu sisi kita juga ingin kualitas kereta api Indonesia supaya perusahaan yang melayani juga publik yang lain juga semakin naik semakin baik," pungkasnya.

Sementara itu Purbaya menegaskan pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh seusai menghadiri rapat perdana dewan pengawasan Danantara Rabu, (15/10/2025). Dirinya menegaskan tidak akan ada uang APBN yang digunakan untuk melunasi utang kereta cepat.

Purbaya menjelaskan, pihaknya telah memastikan posisi pemerintah tetap jelas dan tegas terkait pembiayaan proyek strategis tersebut. Menurutnya, selama struktur pembayarannya tertata dengan baik dan transparan, pihak pemberi pinjaman seperti China Development Bank (CDB) tidak akan mempersoalkan.

Lebih lanjut, Purbaya menyampaikan bahwa pihak Whoosh saat ini masih melakukan studi lanjutan terkait skema pembiayaan. Setelah hasil kajian selesai, mereka akan menyampaikan usulan resmi kepada pemerintah untuk ditinjau lebih lanjut.

Ia juga menekankan, Danantara memiliki kapasitas tersendiri untuk menambal utang kereta cepat yang ditaksir Rp2 triliun per tahun.

Menurutnya, asal pembayaran clear maka jika yang membayar utang adalah Danantara tidak akan menjadi masalah bagi CDB.

Meski demikian, opsi pembayaran utang menggunakan dividen yang dihimpun dari BUMN dengan tegas ditolak oleh Danantara. Chief Investment Officer Danantara Pandu Sjahrir mengungkapkan hasil dividen perusahaan BUMN yang dikelola oleh lembaga investasi tersebut tidak digunakan untuk membayar utang perusahaan pelat merah.

"Nggak ada buat bayar utang, ini semuanya untuk investasi," kata Pandu di Hotel Luwansa Jakarta, Kamis (16/10).

Pandu mengungkapkan, seluruh aset perusahaan BUMN yang dikelola oleh Danantara seluruhnya untuk kebutuhan investasi.

Sementara, terkait dengan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung atau Whoosh masih didiskusikan dengan pihak terkait, termasuk Kementerian.

Terbaru, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan turun tangan membereskan polemik utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh.

Ia mengaku sudah lama berbicara dengan pihak China untuk menyelesaikan masalah utang pembangunan proyek itu. Mega proyek yang diresmikan era Presiden Joko Widodo itu menjadi bom waktu bagi neraca keuangan PT Kereta Api Indonesia, sebagai pemimpin perusahaan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, yang menjadi pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), pengelola Whoosh.

Luhut menegaskan, penyelesaian polemik utang proyek Whoosh memang tidak bisa dilakukan melalui keterlibatan APBN, sebagaimana yang sudah ditegaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia mengatakan, dari DEN juga sudah menilai opsi restrukturisasi utang menjadi yang paling tepat.

Luhut mengatakan, proses restrukturisasi itu sebetulnya sudah disepakati pihak China, sebelum pergantian masa kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto. Namun, karena adanya pergantian kepemimpinan Kepala Negara pada Oktober 2024, maka prosesnya sempat terhenti.

Untuk kembali melanjutkan proses perundingan restrukturisasi utang proyek Whoosh, Luhut mengatakan, Presiden Prabowo Subianto juga berencana membentuk tim khusus untuk mengurus penyelesaian polemik penanganan utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu. Nantinya, tim akan dibentuk melalui penerbitan Keputusan Presiden atau Keppres.

Berapa Utang Kereta Cepat Whoosh?

Mengutip laporan keuangan tahunan 2022 yang diaudit oleh RSM, diketahui proyek Kereta Cepat Whoosh menelan total biaya US$ 7,26 miliar atau setara Rp 119,79 triliun (asumsi kurs Rp 16.500/US$). Angka tersebut termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$ 1,21 miliar (Rp 19,96 triliun) dari nilai investasi awal yang ditetapkan senilai US$ 6,05 miliar (Rp 99,82 triliun). Mayoritas porsi dana pengerjaan proyek Whoosh diperoleh dari utang pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan bunga utang mencapai 3,3% dan tenor hingga 45 tahun.

Pinjaman modal luar negeri menjadi salah satu bentuk pembiayaan dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek KCJB didanai lewat skema B2B yang salah satunya bersumber dari pinjaman dana dari China Development Bank. Dijelaskan, dalam proyek ini, pinjaman modal luar negeri berasal dari China Development Bank (CDB) sebesar 75%. Sementara 25 persen modal lainnya dikucurkan oleh ekuitas pemegang saham.

Adapun komposisi konsorsium BUMN memegang saham di KCIC sebesar 60% melalui sejumlah perusahaan BUMN yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sedangkan China melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd memiliki 40%.

Perusahaan pelat merah yang tergabung dalam tubuh PSBI antara lain, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI 58,53%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36%, PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08%, dan PT Perkebunan Nusantara I 1,03%.

Mengutip laporan keuangan PT KAI per 30 Juni 2025, Pada tanggal 31 Januari 2024, PT KAI menandatangani Perjanjian Fasilitas Pinjaman dengan para pihak No. 02/KONTRAK-PSBI/I/2024. Fasilitas pinjaman yang diberikan terdiri dari dua fasilitas yakni:

  • Fasilitas A: Pinjaman berjangka USD dengan total komitmen sebesar US$ 325,62 juta dengan bunga 3,3%
  • Fasilitas B: Pinjaman berjangka RMB (yuan) dalam keseluruhan total komitmen sebesar US$ 217,08 juta dengan bunga 3,2% per tahun.

Total pinjaman tersebut adalah senilai US$ 542,7 juta. Angka ini setara dengan porsi utang yang harus ditanggung oleh PSBI dari total cost overrun. Sebagai catatan, dari total US$ 1,21 miliar cost overrun porsi PSBI (60%) adalah US$ 726 juta, dengan 25% dipenuhi dari modal ekuitas yakni penyertaan modal negara (PMN) dari APBN.

Sementara itu, nilai investasi awal senilai US$ 6,05 miliar juga seharusnya menggunakan rumus yang sama, yakni sesuai porsi kepemilikan dan dengan pembagian 75% utang dan 25% ekuitas.

Dari angka tersebut diketahui porsi PSBI (60%) adalah senilai US$ 3,63 miliar, dan setelah dikurangi 25% yang dimodali lewat ekuitas, seharusnya total pinjaman PSBI ke CDB adalah sekitar US$ 2,72 miliar (Rp 44,92 triliun).

Selaras dengan porsi PSBI, Beijing Yawan (40%) juga seharusnya menanggung US$ 2,42 miliar, dan setelah dikurangi 25% modal dari ekuitas, pinjaman Yawan ke CBD senilai US$ 1,82 miliar (Rp 29,95 triliun).

Mengutip laporan AidData, Proyek kereta cepat memperoleh utang dari CDB dalam dua fasilitas pinjaman dengan dua mata uang berbeda.

Fasilitas pinjaman pertama senilai US$ 2,74 miliar diberikan dalam denominasi dolar AS memiliki tenor tempo 40 tahun, dengan masa tenggang 10 tahun, suku bunga 2%, dan tidak ada jaminan dari negara (sovereign guarantee). Angka ini mirip dengan porsi PSBI jika mengikuti aturan pembiayaan 75:25 dan sesuai porsi kepemilikan saham.

Selanjutnya, ada juga fasilitas pinjaman kedua senilai US$ 1,83 miliar diberikan dalam denominasi RMB (yuan) memiliki tenor tempo 40 tahun, dengan masa tenggang 10 tahun, suku bunga 3,46%, dan tidak ada jaminan dari negara (sovereign guarantee). Angka ini mirip dengan porsi Beijing Yawan jika mengikuti aturan pembiayaan 75:25 dan sesuai porsi kepemilikan saham.

AidData sendiri merupakan lembaga Transparansi Bantuan, Teknologi Informasi, dan Geocoding yang didirikan pada 23 Maret 2009. Kantor pusatnya berada di Williamsburg, Virginia. Laman webnya menyediakan akses ke catatan keuangan pembangunan dari sebagian besar donor bantuan resmi.

Artinya menggunakan aturan pembiayaan 75:25 dengan tanggung renteng porsi kepemilikan saham, utang konsorsium PBSI mencapai Rp 3,26 miliar (Rp 54 triliun) dengan beban bunga per tahun mencapai US$ 74,5 juta (Rp 1,2 triliun).

CNBC Indonesia telah beberapa kali meminta konfirmasi kepada pihak PT KAI terkait beban sebenarnya utang konsorsium PSBI di proyek Kereta Cepat Whoosh, namun belum memperoleh respons dan komentar hingga berita ini diturunkan.

Mengutip laporan keuangan PT KAI, PSBI memiliki total aset Rp 27,39 triliun per akhir Juni 2025. Sementara kewajiban perusahaan mencapai Rp 18,93 triliun. Adapun total kerugian yang dicatatkan PSBI mencapai Rp 1,62 triliun dengan Rp 951,48 miliar diatribusikan kepada PT KAI. Kondisi keuangan yang masih berdarah-darah tersebut agak sedikit membaik dari catatan akhir tahun 2024, dimana PSBI membukukan rugi Rp 4,19 triliun dengan Rp 2,34 triliun diatribusikan kepada PT KAI.

Sinking fund Kereta Cepat Jakarta Bandung tercatat senilai Rp 1,38 triliun pada akhir Juni 2025, berkurang dari RP 1,73 triliun pada akhir 2024.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Danantara Siapkan Solusi Buat Konsorsium BUMN di Proyek Kereta Cepat

Read Entire Article
| | | |