Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali berpesta pora, didorong oleh gelombang euforia artificial intelligence (AI) yang tak terbendung. Namun, di balik kemeriahan tersebut, sebuah indikator peringatan klasik kini menyala merah-lebih terang dari sebelumnya.
Buffett Indicator, metrik valuasi favorit investor legendaris Warren Buffett, telah menembus level 223% pada tahun 2025. Angka ini tidak hanya melampaui puncak gelembung dot-com tahun 2000 (138%) tetapi juga melampaui rekor era stimulus moneter pasca-COVID tahun 2021 (193%).
Menggunakan perhitungan stddev +2 di mana secara historikal menunjukkan adanya koreksi secara beruntun. Terjadi ketika akhir dari puncak pada perang Vietnam di1968, kemudian pada dot-com bubble pada tahun 2000, dan terakhir adalah ketika 2022 terjadi perang Russia dan Ukraina didorong oleh QT oleh The Fed pada kala itu pasca QE pada saat terjadi Covid-19.
Indikator ini, yang mengukur rasio total kapitalisasi pasar saham terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pada dasarnya membandingkan harga pasar saham dengan "output" ekonomi riil. Level 223% secara historis berteriak bahwa pasar saham telah terlepas jauh dari fundamental ekonomi yang menopangnya.
Pertanyaannya kini bukanlah apakah AI akan mengubah dunia, tetapi apakah investor telah membayar terlalu mahal untuk masa depan tersebut, mengabaikan semua pelajaran sejarah?
Foto: Buffet Indicator
Cermin Historis: Pelajaran Mahal dari Puncak & Lembah
Data historis Buffett Indicator adalah studi kasus tentang psikologi pasar-siklus abadi dari keserakahan ekstrem ke ketakutan ekstrem.
-
Gelembung Dot-com (Puncak 2000: 138%)
Ini adalah analogi terdekat dengan kondisi saat ini. Sebuah teknologi revolusioner (Internet) menciptakan narasi "kali ini berbeda" (this time is different). Investor percaya metrik valuasi tradisional sudah usang. Perusahaan tanpa pendapatan dihargai miliaran. Ketika Puncak 138% tercapai, pasar ambruk. Butuh waktu bertahun-tahun bagi pasar untuk pulih dari kehancuran tersebut, kembali ke level wajar 71%. -
Krisis Finansial Global (Puncak 2007: 105%)
Didorong oleh gelembung kredit perumahan dan leverage perbankan yang berlebihan, valuasi 105% sudah dianggap berbahaya. Ketika gelembung itu pecah, pasar anjlok ke level 56%, mencerminkan ketakutan akan depresi ekonomi total. Ini adalah bukti bahwa apa pun pemicunya (teknologi atau utang), kembalinya ke rata-rata (mean reversion) adalah hukum yang tak terhindarkan. -
Gelembung Pasca-COVID (Puncak 2021: 193%)
Ini adalah "gelembung likuiditas". Didorong oleh suku bunga nol dan stimulus fiskal besar-besaran, valuasi meroket ke 193%. Ini membuktikan bahwa valuasi dapat mencapai level irasional ketika uang "terlalu mudah" didapat.
Era AI: Paradigma Baru atau Euforia Berbahaya di 223%?
Kita sekarang berada di level 223%, sebuah wilayah yang belum pernah terpetakan dalam sejarah finansial modern. Narasi yang mendorongnya adalah revolusi AI. Tim Riset CNBC Indonesia melihat dua argumen yang saling bertentangan:
- Argumen Sisi Bullish
Para pendukung AI berargumen bahwa ini berbeda dari dot-com. Perusahaan di pusat reli AI (seperti Nvidia, Microsoft, Alphabet) adalah mesin pencetak laba (profit) yang masif, bukan perusahaan tanpa pendapatan. Mereka berpendapat bahwa AI akan menciptakan lompatan produktivitas yang begitu besar sehingga PDB di masa depan akan meroket, sehingga membenarkan valuasi tinggi saat ini. - Argumen Sisi Bearish
Sisi historis menunjukkan bahwa level 223% adalah tanda bahaya ekstrem. Ini mencerminkan euforia murni dan FOMO (Fear Of Missing Out), di mana investor mengabaikan risiko. Pasar saat ini, seperti tahun 2000, sangat terkonsentrasi pada segelintir saham teknologi. Jika sentimen terhadap "Magnificent 7" berbalik, dampaknya ke seluruh pasar akan sangat sistemik.
Proyeksi dan Pengartian Indikator
Sejarah tidak pernah terulang persis sama, tetapi seringkali berirama. Hal ini diyakini dikarenakan oleh dua argumen di atas memiliki kebenaran:
-
Revolusinya Nyata: AI adalah sebuah revolusi teknologi yang setara, atau bahkan mungkin lebih besar, dari internet.
-
Valuasinya Salah: Pasar, dalam euforianya, kemungkinan besar telah salah menilai waktu dan harga dari revolusi tersebut. Pasar telah "menghargai" keuntungan AI untuk 10 tahun ke depan hanya dalam waktu 18-24 bulan.
Kita perlu mengingat pelajaran dari Amazon saat gelembung dot-com. Amazon adalah pemenang revolusi internet, namun sahamnya sempat anjlok lebih dari 90% ketika gelembung itu pecah.
Buffett Indicator di level 223% menunjukkan bahwa pasar saham AS saat ini berada di atas "lapisan es yang tipis". Valuasi ini tidak menyisakan ruang untuk kesalahan (margin for error) tidak ada ruang untuk perlambatan pertumbuhan AI, kejutan suku bunga dari The Fed, atau eskalasi geopolitik.
Meskipun memprediksi kapan gelembung akan pecah adalah hal yang mustahil, data historis membuktikan satu hal yaitu gravitasi finansial pada akhirnya akan menang. Risiko koreksi tajam atau bahkan crash dari level ini berada pada titik tertingginya dalam sejarah.
Investor disarankan untuk meninjau kembali risiko mereka, karena pesta di level 223% ini secara historis tidak pernah berakhir dengan baik, apalagi ditopang dengan adanya titik stddev +2 yang telah tertembus.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319082/original/060228700_1755504247-pspr.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5285579/original/071930200_1752717808-ChatGPT_Image_Jul_16__2025__11_01_37_AM.jpg)


:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5284222/original/004291500_1752589801-Timnas_Indonesia_U-23_Vs_Brunei_Darussalam_U-23-6.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5274834/original/095110500_1751811864-1000595156.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5276978/original/022622300_1751970655-e7494ed4-199a-4886-adc7-134a47c0a893.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4809513/original/037230800_1713799872-Timnas_Indonesia_-_Nathan_Tjoe-A-On_dan_Justin_Hubner_copy.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5271468/original/063988200_1751511729-Timnas_Putri_Indonesia_vs_Pakistan-15.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4860504/original/051850500_1718115963-Malut_United_-_Ilustrasi_Logo_Malut_United_copy.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5267473/original/070195100_1751106521-WhatsApp_Image_2025-06-28_at_17.14.16_c8077174.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5282186/original/092694300_1752468097-ATK_BOLA_ASEAN_U23_Mandiri_Cup_2025_Indonesia_vs_Brunei.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4922579/original/022348900_1724078961-Persik_Kediri_-_Ilustrasi_Logo_Persik_Kediri_2024_copy.jpg)