Jakarta, CNBC Indonesia- Di saat banyak negara masih linglung menghadapi gejolak perdagangan global, Indonesia justru mampu menjaga napas panjang ekspornya ke Uni Eropa. Selama lima tahun terakhir, kinerja ini tak banyak goyah bahkan pada 2024, nilai ekspor RI ke Benua Biru mencapai US$17,28 miliar.
Sebuah angka yang menegaskan bahwa hubungan dagang Indonesia-Eropa tak sekadar soal harga, melainkan juga kebutuhan mendasar yang sulit tergantikan.
Laporan The Focal Point BCA edisi Juli 2025 mengungkap rahasianya banyak produk unggulan Indonesia mulai dari minyak sawit mentah (CPO), karet alam, bahan kimia industri, hingga tekstil memiliki permintaan yang inelastis di pasar global.
Sederhananya, meski harga naik, permintaan tetap bertahan karena produk tersebut sudah menjadi urat nadi rantai pasok berbagai industri.
Bayangkan pabrik makanan dan kosmetik tanpa CPO, atau industri otomotif tanpa karet dan bahan kimia Indonesia.
Hampir mustahil. Produk-produk ini sudah mengakar dalam proses produksi Eropa, dari lini energi hingga kebutuhan sehari-hari, sehingga sulit digantikan pemasok lain. Apalagi Indonesia punya keunggulan komparatif (RCA > 1), membuatnya tetap lebih kompetitif dibandingkan negara pesaing.
"Permintaan yang inelastis menjaga stabilitas ekspor RI, bahkan saat tarif perdagangan AS naik atau pasar global melemah. Pasar Eropa memiliki profil permintaan serupa dengan AS, sehingga Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) akan menjadi penyelamat sektor manufaktur Indonesia," tulis analis BCA dalam laporannya.
Foto: Economics and Industry Research – BCA
Economics and Industry Research – BCA
Artinya, meski ada tekanan dari tarif perdagangan baru, ketidakpastian geopolitik, atau perlambatan ekonomi global, volume permintaan komoditas utama Indonesia tetap relatif stabil. Industri Eropa memang tidak punya banyak pilihan lain selain terus mengimpor bahan baku yang sudah terintegrasi dalam proses produksinya.
Dengan latar ini, IEU-CEPA nampaknya tidak merupakan perjanjian dagang biasa tapi juga merupakan pintu untuk memperkuat fondasi ekspor Indonesia di masa depan terutama untuk produk manufaktur yang juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi di pasar Eropa.
Inilah mengapa ekspor Indonesia ke Uni Eropa seperti "tenang dalam badai", karena posisi strategis komoditas RI sudah begitu melekat dalam denyut ekonomi kawasan tersebut.
Tren Ekspor 5 Tahun Terakhir
Data menunjukkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa mencapai puncak pada 2022 senilai US$21,25 miliar, lalu sempat terkoreksi pada 2023 sebelum stabil kembali di 2024.
Fluktuasi ini erat kaitannya dengan siklus harga komoditas global dan penyesuaian kebijakan Uni Eropa seperti EU Deforestation Regulation (EUDR). Meski demikian, penurunan tak sedalam pasar AS karena Eropa tetap butuh pasokan bahan baku strategis seperti CPO dan produk kimia.
Belanda, Italia, Jerman, Spanyol, dan Belgia menjadi gerbang utama ekspor RI ke Eropa.
Belanda menjadi hub logistik utama berkat Rotterdam. Italia unggul di otomotif & fashion, Jerman pada industri kimia & mesin, Spanyol banyak menyerap produk perikanan & sawit, sementara Belgia kuat di bahan kimia dan karet olahan.
Menurut data dari Kemendag 3 negara tersebut menjadi tujuan untuk beberapa komoditas RI seperti
Italia: karet alam, tekstil, komponen otomotif
Belanda: CPO & turunannya, kopi, kakao, produk perikanan
Belgia: bahan kimia, karet olahan, elektronik sederhana
Karena produk ini terhubung langsung dengan rantai pasok industri strategis Eropa, permintaannya tidak mudah digantikan. Inilah mengapa sifatnya inelastis.
Lima tahun terakhir membuktikan hasil dari ketergantungan industri Eropa terhadap komoditas strategis RI.
Dengan IEU-CEPA yang akan segera berjalan, akses pasar Eropa bakal lebih terjamin, membuka peluang baru bagi produk manufaktur bernilai tambah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasar AS yang tarifnya makin proteksionis.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(emb/emb)