Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena deindustrialisasi dini yang melanda Indonesia dalam satu dekade terakhir menjadi alarm serius bagi masa depan ekonomi nasional. Untuk membalikkan tren ini, para ekonom menekankan pentingnya reformasi menyeluruh pada sisi pasokan (supply side) dalam ekosistem usaha, sebagaimana tercermin dalam teori Laffer Curve yang dikembangkan oleh ekonom legendaris Amerika Serikat, Arthur B. Laffer.
Salah satu suara yang menyoroti urgensi ini datang dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, yang menilai bahwa perbaikan struktur supply side dapat menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada pendekatan pemerintah yang tidak terlalu intervensi.
"Kalau pemerintah terlalu banyak campur tangan, kadang-kadang kebijakan yang disebut 'memilih pemenang' justru tidak membuat kita lebih baik, karena semua pihak ingin dijadikan prioritas saat pemerintah memilih siapa yang diutamakan," terang Telisa dalam program Evening Up CNBC Indonesia, dikutip Senin (16/6/2025).
Menurut Telisa, yang dibutuhkan dunia usaha bukanlah perlakuan istimewa, melainkan lingkungan persaingan yang adil dan setara. "Kalau kita bisa menciptakan lingkungan usaha yang kompetitif dan adil, itu akan menciptakan level persaingan yang setara. Dunia usaha sebenarnya punya kemampuan dan strategi sendiri untuk bertahan," ungkapnya.
Telisa menyoroti bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan, seperti pungutan yang membebani, regulasi yang sering berubah, dan ketidakadilan dalam pengaturan pasar, justru menghambat efektivitas sisi pasokan.
"Hal-hal seperti itu bisa mengganggu kinerja sisi pasokan. Karena itu, saya mendukung pandangan Mr. Laffer bahwa insentif harus diperbanyak. Pemerintah sebaiknya fokus menciptakan iklim usaha yang nyaman dan kondusif, serta tidak terlalu sering mengubah regulasi," papar Telisa.
Kondisi industri manufaktur yang terus melemah telah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menekan daya beli masyarakat. Ini menjadi bukti nyata bahwa deindustrialisasi bukan sekadar isu statistik, melainkan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dalam satu dekade terakhir. Pada 2014, kontribusinya masih 21,02%, namun turun menjadi 19,7% pada 2019, dan merosot lagi menjadi 18,67% pada 2023. Meski sempat naik tipis menjadi 19,13% pada 2024 dan 19,25% di kuartal I-2025, tren jangka panjang tetap menunjukkan pelemahan.
Telisa menekankan bahwa insentif yang dibutuhkan dunia usaha tidak hanya bersifat fiskal, tetapi juga mencakup kebijakan moneter dan reformasi struktural yang mendalam.
"Menurut saya, dalam jangka panjang kita harus memperjuangkan perdagangan yang adil. Dan insentif itu bukan hanya soal fiskal, tapi juga bisa berupa kebijakan moneter dan kebijakan struktural lainnya," ujar Telisa.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Peluang & Tantangan RI Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%, Bisa Tercapai?