Meneropong Belanja Pertahanan Indonesia Tahun Fiskal 2026

3 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tahun fiskal 2026 memberikan beragam tantangan kepada pemerintah dalam mengelola APBN di tengah perkembangan ekonomi global yang masih dilingkupi ketidakpastian dan situasi geopolitik dunia yang tidak stabil. Perubahan iklim global yang melahirkan berbagai bencana ekologis dalam skala besar tercatat sebagai tantangan lain yang dihadapi oleh pemerintah pada tahun anggaran 2026.

Pemerintah pun masih memiliki sejumlah agenda di bidang ekonomi dengan tujuan akhir mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen sebelum atau pada tahun 2029. APBN masih memainkan peran vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus menjadi instrumen untuk meredam gejolak ekonomi akibat dinamika ekonomi internasional.

Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi belanja senilai Rp 187,1 triliun sebagai bagian dari anggaran senilai Rp 335,25 triliun yang diperuntukkan bagi belanja fungsi pertahanan. Anggaran sebesar Rp 335,25 triliun bukan saja dalam bentuk Rupiah Murni (RM), akan tetapi mencakup pula Pinjaman Luar Negeri (PLN).

PLN masih menjadi andalan Kementerian Pertahanan untuk melakukan modernisasi kekuatan pertahanan mengingat bahwa RM tidak dapat sepenuhnya mendukung kegiatan tersebut. Penggunaan RM dalam program yang dibiayai oleh PLN terbatas pada alokasi uang muka senilai 15 persen dari besaran keseluruhan suatu program, walaupun dalam praktek pembayaran uang muka dapat dilakukan dalam dua termin dengan masing-masing 7,5 persen per termin.

Memperhatikan prioritas kegiatan belanja Kementerian Pertahanan tahun 2026, program belanja antara lain akan difokuskan pada penguatan pertahanan keamanan melalui modernisasi/pemeliharaan dan perawatan sistem senjata dan penguatan komponen utama, cadangan dan pendukung.

Di antara kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam modernisasi/pemeliharaan dan perawatan sistem senjata dan penguatan komponen utama, cadangan dan pendukung ialah pengadaan sistem senjata yang bersumber dari domestik dan luar negeri, selain melanjutkan program pembentukan 750 batalyon teritorial pembangunan.

Kegiatan akuisisi sistem senjata akan berlanjut pada 2026, khususnya untuk kontrak-kontrak sisa Minimum Essential Force (MEF) 2020-2024 yang belum memasuki tahap aktivasi. Adapun program pembentukan 750 batalyon teritorial pembangunan merupakan program periode 2025-2029 dengan target dibentuk 150 batalyon baru setiap tahun.

Mempertimbangkan sejumlah perkembangan pada 2025 yang terkait dengan belanja pertahanan, patut diduga bahwa belanja pertahanan pada tahun anggaran 2026 akan dipengaruhi oleh perkembangan tersebut. Pertama, aktivasi kontrak belanja sistem senjata yang bersumber dari PLN.

Mengingat bahwa masih terdapat sejumlah kontrak pengadaan sistem senjata periode MEF 2020-2024 yang belum diaktivasi, alokasi anggaran pertahanan pada tahun fiskal 2026 antara lain patut diduga akan dipakai guna membiayai kontrak-kontrak tersebut. Walaupun Kementerian Keuangan sudah memperkenankan kebijakan pengadaan tanpa Rupiah Murni Pendamping (RMP), namun penerapan kebijakan demikian tergantung pada kesepakatan antara Kementerian Keuangan dan lender.

Kedua, penggunaan BA BUN untuk pembiayaan pertahanan. Pemakaian BA BUN dapat dikatakan cukup intensif pada tahun anggaran 2025, sehingga patut diduga bahwa praktek tersebut akan berlanjut pada tahun fiskal 2026.

Penggunaan BA BUN pada tahun anggaran 2026 besar kemungkinan untuk membiayai program pembentukan batalyon teritorial pembangunan setelah praktek serupa terjadi pada tahun fiskal sebelumnya. BA BUN diperkirakan akan dipakai pula guna mendanai program pengadaan sistem senjata tertentu dari luar negeri yang gagal mendapatkan lender, sebab tidak ada lembaga keuangan yang bersedia terkena sanksi unilateral dari sejumlah negara dan atau organisasi multinasional.

Andaikata dugaan pemakaian BA BUN guna membiayai kegiatan belanja pertahanan pada tahun fiskal 2026 benar adanya, hal tersebut niscaya akan membuat outlook belanja pertahanan akan lebih besar daripada alokasi APBN. Belanja pertahanan yang jauh lebih besar daripada alokasi APBN sudah terjadi sejak tahun 2022 hingga 2025.

Kondisi itu memperkuat data empiris bahwa sumber belanja pertahanan tidak saja berasal dari alokasi APBN untuk Kementerian Pertahanan, PLN dan Pinjaman Dalam Negeri, tetapi bersumber pula dari BA BUN. Penggunaan BA BUN merupakan kewenangan penuh Menteri Keuangan berdasarkan arahan Presiden RI.

Sementara itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah menetapkan alokasi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan sebesar US$ 28 miliar. Jumlah alokasi tersebut tidak mengejutkan sebab sudah sesuai dengan perkiraan selama ini yang berada pada angka sekitar US$ 30 miliar.

Dengan penetapan PLN sebesar US$ 28 miliar, hal demikian menandakan bahwa pemerintahan saat ini tidak mengadopsi kebijakan pemerintahan sebelumnya tentang alokasi PLN periode 2020-2034 senilai US$ 55 miliar. Andaikata pemerintahan sekarang masih mengikuti kebijakan pemerintahan pendahulunya, maka sisa PLN untuk belanja sistem senjata hanya sekitar US$ 20,3 miliar saja.

Dengan penetapan Blue Book 2025-2029, masih menjadi pertanyaan apakah pemerintahan saat ini akan mengikuti pola yang sudah diterapkan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya terkait dokumen DPRLN-JM dan dokumen-dokumen turunan.

Berdasarkan praktek selama ini, terdapat jarak sekitar satu tahun antara penerbitan Blue Book dengan Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN), begitu pula terdapat jarak antara pengeluaran Green Book dengan penerbitan Daftar Kegiatan Khusus (DKK) dan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP).

Pertanyaan tersebut muncul karena kecenderungan kebijakan pemerintahan saat ini dalam pengadaan sistem senjata lebih bersifat impulsif tanpa perencanaan matang yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

Perencanaan yang tidak matang dalam pembelian sistem senjata tercermin dalam PSP yang terbit tahun 2025 yang merupakan bagian dari MEF 2020-2024. Terdapat kekhawatiran bahwa pola serupa akan terulang pasca dikeluarkannya Blue Book 2025-2029 mengingat bahwa dalam praktek perencanaan belanja sistem senjata menganut karakter top down.

Patut untuk diantisipasi bahwa pemerintah akan menerbitkan DRPPLN, DKK dan PSP pada tahun fiskal 2026 sebagai implementasi kebijakan belanja yang berkarakter impulsif. Apalagi terdapat perbedaan karakteristik antara DRPLN 2020-2024 dengan DRPLN 2025-2029, di mana dokumen yang terakhir tersebut cenderung bersifat open ended.

Sebagai konsekuensi perpaduan antara karakter open ended dan top down, maka penetapan sistem senjata yang akan diakuisisi sepenuhnya ditentukan oleh pengambil keputusan. Kondisi seperti itu menimbulkan risiko bagi calon pemakai, sebab apakah mereka akan mendapatkan sistem senjata yang secara maju secara teknologi sekaligus andal dan teruji atau tidak sangat tergantung pada preferensi pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan.

Dalam sisi pengelolaan utang luar negeri, kecenderungan penggunaan Kreditur Swasta Asing daripada Lembaga Penjamin Kredit Ekspor juga lebih besar berdasarkan pengalaman selama ini.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |