Pemerintah Siaga! Barang Transhipment Menyerbu, "Nyamar" Pakai Nama RI

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku industri tekstil nasional menyuarakan kekhawatiran atas potensi membludaknya barang transhipment alias alih muatan ekspor ke Amerika Serikat (AS) masuk RI seiring dengan adanya penundaan pemberlakuan tarif resiprokal AS selama 90 hari.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Benang dan Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyebut penundaan ini harus dimanfaatkan dengan cermat oleh pemerintah dan pelaku usaha untuk merapikan sistem dan mencegah dampak jangka panjang yang merugikan industri nasional.

"Hal paling penting yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga pasar domestik," kata Redma kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (24/4/2025).

Ia memperingatkan, dengan tertundanya tarif tambahan AS terhadap produk China dan Vietnam, arus barang dari kedua negara tersebut diprediksi akan semakin deras masuk ke pasar Indonesia. Untuk itu, menurutnya, pengendalian impor, baik lewat pengaturan tata niaga, penerapan trade remedies, hingga pemberantasan impor ilegal harus diperketat.

"Meskipun ini cukup sulit mengingat masih banyaknya oknum birokrasi yang punya agenda dan kepentingan tersendiri pada barang impor. Ini memerlukan ketegasan Presiden dan Menterinya," ucapnya.

Redma menilai praktik transhipment atau pemindahan barang dari negara asalnya yang menggunakan Indonesia sebagai negara pengirim palsu harus segera dibenahi. Ia meminta agar pemerintah segera membenahi prosedur penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) yang digunakan dalam ekspor.

"Jika dibiarkan, maka dapat dipastikan akan terjadi lonjakan ekspor kita ke Amerika yang berasal dari barang transhipment, sehingga defisit perdagangan AS akan makin melebar namun tidak dinikmati oleh produsen Indonesia," terang dia.

Menurutnya, bila hal ini benar terjadi, bukan tidak mungkin Amerika akan kembali menaikkan tarif resiprokal terhadap Indonesia.

Sementara itu, terkait dengan upaya diplomasi perdagangan, Redma menyarankan pemerintah untuk segera menghitung potensi importasi Indonesia dari AS sebagai langkah negosiasi.

"Agar defisit perdagangan AS mengecil, sehingga kita bisa dapat penurunan bahkan penghapusan tarif resiprokal," jelasnya.

Ia menegaskan, tidak semua hal yang dituduhkan oleh AS perlu direspons dengan perubahan, cukup yang relevan dengan menciptakan perdagangan yang lebih seimbang.

Lebih lanjut, Redma mengungkapkan tarif Most Favoured Nation (MFN) yang ditetapkan pemerintah AS untuk produk tekstil dan garmen Indonesia, sebelum adanya kebijakan tarif baru Trump ialah sebesar 5-12%. Namun, jika kebijakan tarif baru diberlakukan setelah masa penundaan 90 hari, tarif itu bisa melonjak hingga 15-22%.

"Tarif MFN 5-12%, akan ada tambahan 10%, ditambah nanti ada 32% tarif resiprokal kalau nanti diberlakukan setelah 90 hari," pungkasnya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Simalakama Indonesia Hadapi Pertarungan Sengit AS-China

Next Article Perang Dagang Berkecamuk, Pengusaha Tekstil Bilang Ini ke Prabowo

Read Entire Article
| | | |