Pengusaha Makin Berat! Ini 4 Masalah Besar Berbisnis di Indonesia

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor dunia usaha buka-bukaan lesunya aktivitas industri meski masih awal tahun, hingga harus mengambil keputusan untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) para pegawainya. Menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya sebesar 4,87%, jauh di level biasanya kisaran 5%.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, lesunya aktivitas industri pada awal 2025 ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis untuk April 2025 kontraksi tajam ke level 46,7, menunjukkan penurunan signifikan dari 52,4 pada Maret 2025.

"Ini merupakan level kontraksi terdalam sejak Agustus 2021 dan menandai pergeseran drastis dari fase ekspansi yang sempat berlangsung dalam beberapa bulan terakhir," ucap Shinta saat Media Briefing Apindo di Jakarta, dikutip Rabu (14/5/2025).

Kontraksi ini kata dia menggambarkan adanya indikasi pelemahan permintaan baru dan peningkatan tekanan biaya produksi, yang terjadi di tengah ketidakpastian kondisi pasar global akibat perang di sana sini, hingga perdagangan dunia yang tengah terhambat akibat perang tarif dagang.

Masalahnya, kata Shinta, ekonomi domestik juga makin tak kondusif karena masih bersemayamnya empat tantangan struktural yang menghambat daya saing Industri. Empat tantangan struktural ini ia bilang diperoleh dari hasil survei yang diajukan secara internal terhadap 2.000 perusahaan anggota Apindo.

"Jadi kalau kita lihat berdasarkan berbagai temuan di lapangan ini dunia usaha menghadapi sejumlah tantangan struktural ini juga sering kita sampaikan selain hambatan regulasi dan perizinan," ucapnya.

Dari survei itu, Shinta mengatakan, 43% pelaku usaha menilai regulasi yang ada belum mendukung kinerja produksi dan penjualan. Kedua, tingginya biaya berusaha menjadi kendala serius. Biaya logistik Indonesia mencapai 23% dari PDB, lebih tinggi dibandingkan Malaysia, China, dan Singapura.

"Suku bunga pinjaman yang mencapai 8-14% serta upah 3 minimum yang naik rata-rata 8% per tahun melampaui kemampuan sektor industri padat karya. Cost of compliance akibat birokrasi yang tidak efisien dan lemahnya kepastian hukum turut memperberat beban usaha," ungkap Shinta.

Ketiga, yakni masalah terkait keamanan berusaha yang terus dianggap menjadi tantangan nyata di lapangan. Gangguan dari oknum di luar sistem hukum kerap menghambat proses produksi dan distribusi, menciptakan ketidakpastian operasional bagi pelaku usaha.

"Jadi ini juga sudah kami sampaikan kepada pemerintah dan kami juga apresiasi pemerintah sudah menangani dengan Satgas anti premanisme dan lain-lain, termasuk di level pemda. Tapi memang kita harus melihat keadaan kondisi di lapangan jadi kami terus masih menerima laporan," kata Shinta.

Terakhir, yakni kualitas sumber daya manusia juga menjadi penghambat utama, terlihat dari 30% responden kesulitan mendapat talenta berkualitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia (US$ 23,87 ribu) masih tertinggal dari rata-rata ASEAN, dengan dominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah (36,54%) dan hanya 12,66% lulusan perguruan tinggi.

"Ini kita semua sudah ketahui bahwa tingkat produktivitas yang rendah di ASEAN karena sebagian besar pekerja merupakan pekerja dengan keterampilan rendah. Dan ini produktivitas ini juga harus menjadi perhatian kita, kita US$ 23,87 ribu sementara ASEAN itu US$ 24,27 miliar," paparnya.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekonomi RI Lesu di Kuartal I, Diramal Hanya Tumbuh 4,9%

Next Article Regulasi UMP Kerap Berubah-Ubah, Pengusaha Takut Investor Kabur

Read Entire Article
| | | |