RI Kini Punya "Tiket Emas" Kalahkan Tekstil Vietnam hingga Bangladesh

6 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia- Setelah berbulan-bulan ketegangan dagang, Amerika Serikat akhirnya melunak. 

AS akhirnya menerapkan tarif sebesar 19% untuk Indonesia, terendah di ASEAN setelah negosiasi panjang antara Jakarta dan Washington. Tarif ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang AS tetapkan sebelumnya yakni 32%..

Di atas kertas, ini seperti "golden ticket" bagi produk tekstil, apparel, dan alas kaki RI untuk merebut ceruk pasar yang sebelumnya dikuasai Vietnam, Bangladesh, hingga Kamboja.

Pasar AS untuk ketiga produk unggulan itu HS61 (tekstil rajut), HS62 (pakaian non-rajut), dan HS64 (alas kaki) sangatlah besar, mencapai US$112,1 miliar.

Namun pangsa Indonesia masih kurang dari 7%, jauh di bawah Vietnam atau China. Artinya, ada ruang pertumbuhan yang signifikan bila tarif lebih rendah ini dimanfaatkan dengan strategi yang tepat.

Mengapa Tarif 19% Jadi Keunggulan Strategis?

Sebelum negosiasi, Indonesia dibebani tarif 32%, setara dengan China. Kini, tarif turun 13 poin, membuat RI lebih kompetitif dibanding negara peers. Vietnam masih dikenakan tarif 20% (bahkan 40% jika terdeteksi transhipment). Malaysia dan Brunei 25%. Thailand dan Kamboja jauh lebih tinggi, 36% Bangladesh 35%, sementara Brazil bahkan 50% untuk alas kaki.

Jika melihat peta pasar tekstil & alas kaki AS. Vietnam menjadi raja ekspor ASEAN ke AS dengan nilai US$24,4 miliar untuk HS61, HS62, dan HS64.
Lalu China meski tarifnya masih lebih tinggi masih dominan di US$19,5 miliar.
Sementara Indonesia? Baru US$7 miliar, setara Bangladesh, jauh di bawah Vietnam.

Namun inilah peluang. Karena tarif RI lebih rendah dari Vietnam dan Bangladesh, maka selisih harga impor di AS bisa mendorong retailer beralih ke produk RI.

Dengan perbedaan tarif ini, produk RI bisa masuk pasar AS dengan harga lebih bersaing. Ini peluang nyata untuk mengambil sebagian pangsa pasar negara yang tarifnya lebih berat.

Dampak Langsung ke Industri Tekstil RI

Industri tekstil, apparel, dan alas kaki adalah sektor padat karya, menyerap jutaan pekerja. Menurut Kemenko Perekonomian, penurunan tarif dari 32% ke 19% berpotensi menyelamatkan hingga 1 juta lapangan kerja di sektor ini, sekaligus menciptakan peluang ekspansi baru.

Penetrasi pasar ini bermanfaat besar bagi ekonomi Indonesia karena memiliki multiplier effect besar dari penciptaan lapangan kerja sektor padat karya.

Sebelumnya, dalam laporannya, Maybank memperingatkan, jika pasar AS tetap ketat atau tarif kembali naik, 2,05 juta pekerja manufaktur Indonesia terutama di tekstil, furnitur, alas kaki, dan karet berpotensi terdampak.

Namun bila RI mampu merebut hanya 10% pangsa pasar peers, nilai tambah ekspor bisa naik US$6,4 miliar dan menciptakan 1 juta lapangan kerja tambahan.

Peluang Besar, Tapi Butuh Strategi Serius

Tarif 19% memang memberi keunggulan kompetitif untuk RI. Namun peluang ini hanya akan nyata jika diikuti dengan transformasi industri tekstil ke arah efisiensi dan value-added tinggi.

Lalu perlu disiapkan perluasan rantai pasok supaya mampu bersaing dengan Vietnam yang sudah lebih mapan.
Dan penguatan promosi dagang agar retailer AS mau alihkan order dari negara peers ke RI.

Singkatnya, keringanan tarif bukan tujuan akhir, melainkan modal awal. Jika dimanfaatkan serius, RI bisa naik kelas dari pemain kecil jadi salah satu eksportir utama tekstil dan alas kaki ke AS. Jika tidak, peluang ini hanya akan jadi nafas pendek di tengah kompetisi global.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |