Sentimen Pekan Depan Dari Utang RI, China, hingga Inflasi AS dan Jepang

6 hours ago 4

Sentimen Pekan Depan

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia

14 December 2025 15:00

Jakarta, CNBC Indonesia- Pekan depan, pasar akan bersiap menghadapi rangkaian data ekonomi penting dari dalam dan luar negeri. Data ekonomi penting tersebut a.l. rilis statistik utang luar negeri Indonesia, arah kebijakan Bank Indonesia, hingga sederet indikator global dari China, Amerika Serikat, dan Jepang yang berpotensi membentuk sentimen pasar jelang akhir tahun.

Kombinasi agenda ini membuat pelaku pasar cenderung bersikap lebih berhati-hati, sembari mencermati sinyal perlambatan maupun stabilisasi ekonomi global.

Dari domestik, perhatian pasar akan tertuju pada rilis Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) Oktober 2025 yang dijadwalkan pada Senin (15/12/2025). Data ini menjadi krusial untuk membaca ketahanan eksternal Indonesia, terutama di tengah ketidakpastian global dan dinamika suku bunga global yang masih tinggi. Arah perubahan ULN-baik dari sektor pemerintah maupun swasta-akan memberi gambaran ruang kebijakan ke depan, termasuk stabilitas nilai tukar rupiah.

Masih di hari yang sama, sorotan global akan mengarah ke China yang merilis data produksi industri dan penjualan ritel. Produksi industri China pada Oktober 2025 tercatat tumbuh 4,9% yoy, melambat signifikan dari 6,5% bulan sebelumnya dan di bawah ekspektasi pasar. Ini menjadi laju terlemah sejak Agustus 2024, mencerminkan tekanan pada sektor manufaktur dan pertambangan, sebagian dipengaruhi efek libur Golden Week. Meski demikian, secara kumulatif, produksi industri selama 10 bulan pertama 2025 masih tumbuh solid 6,1%.

Di sisi konsumsi, penjualan ritel China naik 2,9% yoy pada Oktober, sedikit melambat dari September namun masih melampaui ekspektasi pasar. Menariknya, konsumsi emas, perhiasan, serta perlengkapan komunikasi melonjak tajam, sementara penjualan mobil dan barang tahan lama justru tertekan. Pola ini menunjukkan pemulihan konsumsi China belum merata, dengan rumah tangga cenderung selektif dan fokus pada kategori tertentu.

Memasuki Selasa-Rabu (16-17/12/2025), pasar domestik akan menanti hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia. Konsistensi BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar, inflasi, dan arus modal asing akan menjadi fokus utama. 

Dari negeri Paman Sam, perhatian pasar akan tertuju pada kondisi konsumsi dan tenaga kerja. Penjualan ritel AS tercatat hanya naik 0,2% mom pada September 2025, menjadi kenaikan terendah dalam empat bulan dan di bawah ekspektasi. Bahkan, penjualan inti yang menjadi komponen perhitungan PDB justru turun 0,1%. Ini mengindikasikan daya beli konsumen AS mulai melemah, seiring tekanan suku bunga tinggi yang belum sepenuhnya mereda.

Sementara itu, tingkat pengangguran AS naik ke 4,4%, tertinggi sejak Oktober 2021. Kenaikan jumlah pengangguran ini menjadi sinyal pendinginan pasar tenaga kerja, dan menjadi data krusial terakhir sebelum pertemuan The Fed Desember, mengingat laporan berikutnya terganggu oleh penutupan pemerintahan. Data ini berpotensi memperkuat ekspektasi bahwa siklus pengetatan moneter AS telah mendekati titik akhir.

Pada Rabu (17/12/2025), dari Jepang, data neraca dagang menunjukkan defisit yang menyempit signifikan. Ekspor tumbuh solid didorong depresiasi yen, sementara impor meningkat karena pembelian energi menjelang musim dingin. Perbaikan neraca dagang ini memberi sinyal stabilisasi sektor eksternal Jepang, meski tekanan biaya impor masih membayangi.

Memasuki Kamis (18/12/2025), pasar global akan mencermati inflasi AS, baik headline maupun core. Inflasi inti tercatat melambat ke 3% yoy, dengan kenaikan bulanan hanya 0,2%, di bawah ekspektasi pasar. Meski inflasi energi kembali naik, perlambatan inflasi inti menjadi sinyal positif bahwa tekanan harga mulai terkendali. Data ini akan menjadi penentu penting arah ekspektasi suku bunga The Fed ke depan.

Menutup pekan pada Jumat (19/12/2025), inflasi Jepang diperkirakan tetap menjadi perhatian. Inflasi tahunan naik ke 3,0% yoy, tertinggi sejak Juli, dengan tekanan utama berasal dari kenaikan biaya listrik dan transportasi. Meski inflasi pangan mulai melandai, level inflasi yang masih relatif tinggi berpotensi memperkuat spekulasi perubahan arah kebijakan ultra-longgar Bank of Japan dalam jangka menengah.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |