Studi Ungkap Penyebab Hilangnya Manusia Purba Flores Homo Floresiensis

13 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Misteri hilangnya Homo floresiensis, spesies manusia purba yang dijuluki "hobbit" karena tubuhnya yang kecil, mulai menemukan titik terang. Studi terbaru mengungkap, kekeringan ekstrem yang melanda Pulau Flores sekitar 61.000 tahun lalu kemungkinan besar berperan besar dalam lenyapnya spesies tersebut.

Homo floresiensis diketahui hidup lebih dari satu juta tahun di Pulau Flores sebelum akhirnya punah. Namun penyebab pasti kepunahannya selama ini masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment, para peneliti menyusun rekaman iklim paling rinci sejauh ini dari kawasan tempat tinggal manusia purba tersebut. Hasilnya menunjukkan adanya periode perubahan iklim drastis yang memicu krisis ekologi.

"Homo floresiensis dan salah satu mangsa utamanya, gajah kerdil Stegodon, sama-sama terdorong meninggalkan habitatnya akibat kekeringan yang berlangsung ribuan tahun," kata para peneliti dikutip dari Science Alert, Rabu (17/12/2025).

Kondisi ini juga membuka kemungkinan pertemuan mereka dengan manusia modern, Homo sapiens, yang mulai menyebar di wilayah Indonesia pada periode yang sama. Analisis dilakukan dengan meneliti stalagmit di Gua Liang Luar, sekitar 700 meter dari Gua Liang Bua, lokasi utama ditemukannya fosil Homo floresiensis.

Stalagmit tersebut tumbuh tepat pada periode kepunahan hobbit, dan kandungan kimianya menyimpan jejak perubahan iklim masa lalu. Berdasarkan analisis isotop oksigen dan rasio magnesium-kalsium, para peneliti menemukan tiga fase iklim utama.

Pada 91.000-76.000 tahun lalu, Flores mengalami kondisi lebih basah dibanding sekarang. Lalu pada 76.000-61.000 tahun lalu, iklim menjadi sangat musiman. Setelah itu, antara 61.000-47.000 tahun lalu, wilayah tersebut mengalami kekeringan parah, terutama pada musim panas.

"Jadi kita memiliki catatan perubahan iklim besar yang bertanggal dengan baik, tetapi bagaimana respons ekologisnya, jika ada? Kita perlu membangun garis waktu yang tepat untuk bukti fosil Homo Floresiensis di Liang Bua," kata para peneliti.

Fosil menunjukkan sekitar 90% sisa Stegodon berasal dari periode iklim yang relatif ideal. Ketika curah hujan menurun drastis, populasi gajah kerdil ikut menyusut, diikuti Homo floresiensis yang bergantung pada mereka sebagai sumber pangan utama.

Para peneliti menduga berkurangnya pasokan air tawar, termasuk dari Sungai Wae Racang yang kecil, membuat wilayah Liang Bua tak lagi layak huni. Stegodon kemungkinan berpindah, dan Homo floresiensis diduga mengikuti pergerakan mangsanya ke wilayah lain.

Lapisan abu vulkanik yang menutupi fosil terakhir Homo floresiensis dan Stegodon, bertanggal sekitar 50.000 tahun lalu, juga memunculkan dugaan letusan gunung berapi bisa menjadi faktor tambahan. Di atas lapisan abu tersebut, untuk pertama kalinya ditemukan bukti arkeologis keberadaan Homo sapiens.

Meski belum ada bukti langsung bahwa Homo sapiens dan Homo floresiensis pernah bertemu, para ilmuwan menyebut interaksi antara kedua spesies tetap mungkin terjadi. Jika Homo Floresiensis terpaksa meninggalkan tempat persembunyiannya menuju pantai karena tekanan ekologis, mereka mungkin telah berinteraksi dengan manusia modern, dan jika demikian, mungkinkah persaingan, penyakit, atau bahkan predasi menjadi faktor penentu?

"Apa pun penyebab utamanya, studi kami memberikan kerangka kerja untuk studi masa depan guna meneliti kepunahan H. floresiensis yang ikonik dalam konteks perubahan iklim besar," kata para peneliti.

"Studi ini menegaskan perubahan iklim dan ketersediaan air tawar memainkan peran krusial dalam sejarah evolusi manusia, dan kisah Homo floresiensis menjadi pengingat keberlangsungan hidup manusia, sejak masa purba, sangat rapuh dan bergantung pada keseimbangan lingkungan," tutup para peneliti.

Para Peneliti:
- Nick Scroxton, Peneliti, Paleoclimate, Universitas Nasional Irlandia Maynooth
- Gerrit (Gert) van den Bergh, Peneliti Paleontologi, Universitas Wollongong
- Michael Gagan, Profesor Kehormatan, Paleoclimate, Universitas Wollongong
- Universitas Queensland, dan
- Mika Rizki Puspaningrum, Peneliti Paleontologi, Institut Teknologi Bandung.

(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
| | | |