Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Setiap tahun, pemerintah melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan Survei Penilaian Integritas (SPI) sebagai salah satu instrumen untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai integritas diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Survei ini bukan sekadar formalitas atau rutinitas belaka. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah asli dari pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan kita.
Dan tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: seberapa jujur, transparan, dan berintegritaskah ASN kita dalam menjalankan tugas dan fungsi dalam pelayanan publik?
Integritas bukanlah sekadar konsep abstrak semata. Ia adalah nilai yang seharusnya hidup dalam tindakan sehari-hari: ketika seorang pegawai menolak gratifikasi, ketika proses pengadaan dilakukan secara terbuka, ketika pelayanan diberikan tanpa diskriminasi, dan ketika keputusan diambil berdasarkan aturan, bukan kepentingan pribadi.
Dalam konteks birokrasi, integritas adalah fondasi dari kepercayaan publik. Tanpa integritas, pelayanan publik kehilangan makna, dan kepercayaan masyarakat pun runtuh.
Untuk itu SPI hadir sebagai alat ukur untuk menilai sejauh mana nilai-nilai tersebut dijalankan. Melalui survei ini, KPK mengumpulkan data dari berbagai pemangku kepentingan - internal instansi (pegawai), eksternal (masyarakat pengguna layanan), dan pihak terkait lainnya - untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang potensi risiko korupsi dan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip integritas.
Di tengah tuntutan reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik, SPI dapat menjadi instrumen strategis. Ia bukan hanya mengukur, tetapi juga mengarahkan. Hasil survei dapat menjadi dasar perbaikan sistem, pembenahan prosedur, dan penguatan budaya kerja yang berintegritas.
Lebih dari itu, SPI juga dapat menjadi indikator penilaian reputasi suatu institusi pelayanan publik. Di era keterbukaan informasi saat ini, masyarakat semakin kritis dan menuntut akuntabilitas. Lembaga yang memiliki skor integritas tinggi akan lebih dipercaya, lebih dihormati, dan lebih efektif dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, skor rendah bisa menjadi alarm bahaya yang menandakan perlunya pembenahan yang serius.
Ketika SPI dilaksanakan, kita semua - tanpa terkecuali - hakekatnya sedang diuji. Bukan hanya oleh KPK, tetapi oleh hati nurani kita sendiri. Apakah kita benar-benar menjalankan tugas dengan integritas? Apakah kita berani berkata jujur dalam survei, meski itu berarti mengakui kelemahan institusi kita? Apakah kita siap untuk berubah jika hasil survei menunjukkan adanya celah korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Namun, justru di sinilah nilai SPI menjadi sangat penting. Ia memaksa kita untuk bercermin, untuk jujur pada diri sendiri, dan untuk berani mengambil langkah perbaikan.
Meski memiliki tujuan yang baik, pelaksanaan SPI tentunya tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari pihak internal sendiri. Tidak sedikit pegawai suatu instansi yang menganggap survei ini sebagai beban tambahan, atau bahkan ancaman terhadap kenyamanan kerja. Ada pula yang meragukan objektivitas hasilnya, atau merasa bahwa survei yang dilaksanakan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Bayangkan jika sebuah institusi pelayanan publik mendapat skor integritas tinggi, padahal praktik pungutan liar, percaloan, atau permainan proyek masih marak terjadi. Itu artinya ada jurang besar antara kenyataan dengan laporan resmi. Jurang itulah yang berbahaya, karena bisa menutup mata pengambil kebijakan terhadap masalah sebenarnya. Lebih buruk lagi, hasil survei semacam itu bisa digunakan untuk menutupi kelemahan organisasi.
Di sinilah letak pentingnya sikap jujur dalam mengisi survei. Transparansi dimulai dari keberanian mengakui kelemahan. Integritas bukan soal membangun citra, melainkan soal menghadirkan kenyataan apa adanya agar bisa diperbaiki.
Di sisi lain, partisipasi masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak pengguna layanan publik yang belum memahami pentingnya survei ini, atau enggan memberikan penilaian karena takut akan konsekuensi. Padahal, partisipasi aktif dari masyarakat adalah kunci keberhasilan SPI.
Mengapa banyak orang enggan memberikan penilaian dengan jujur? Bisa jadi karena adanya rasa takut. Takut dianggap "menjelek-jelekkan" lembaga. Takut dipanggil atasan. Takut mendapat stigma negatif dari rekan kerja. Takut mendapat ancaman. Takut dipersulit urusannya dengan institusi pelayanan publik. Dan mungkin rasa takut lainnya.
Rasa takut ini wajar, tetapi sebenarnya berakar dari salah kaprah. Survei penilaian integritas biasanya bersifat anonim dan dirancang agar identitas responden terlindungi. Artinya, tidak ada risiko langsung yang menimpa pengisi survei.
Namun, ada kalanya rasa takut sering lebih besar dari pada logika. Akibatnya, kita cenderung memilih "jalan aman": memberi nilai tinggi agar terhindar dari masalah. Padahal, keberanian mengisi dengan jujur adalah bentuk kontribusi nyata untuk membangun sistem yang lebih sehat.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih komunikatif dan partisipatif. Sosialisasi harus dilakukan secara masif dan inklusif. Pegawai dan masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa SPI bukan alat penghakiman, melainkan sarana atau alat potret untuk melakukan perbaikan. Transparansi dalam proses dan tindak lanjut hasil survei juga harus dijaga agar kepercayaan terhadap SPI tetap tinggi.
Hasil SPI tahun 2025 sudah diumumkan oleh KPK beberapa waktu yang lalu pada acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), pada Selasa 9 Desember 2025 yang lalu. Skor SPI tahun 2025 ini berada di angka 72,32. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2024 maupun 2023 yaitu 71,53 dan 70,97. Dari data ini terlihat bahwa selama tiga tahun terakhir skor SPI nasional cenderung mengalami kenaikan. Hasil yang menggembirakan tentunya.
Sayangnya, meskipun ada kenaikan, skor tersebut masih masuk kategori rentan. Yang berarti masih di kategori terbawah. Apabila peta skor SPI dilihat per daerah sebagaimana dirilis pada laman: https://spi.kpk.go.id/dashboard/hasil/ maka hanya ada 1 (satu) provinsi yang masuk kategori "Terjaga" (warna hijau) yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya ada 6 (enam) provinsi dengan kategori "Waspada" (warna kuning). Sisa terbanyak masuk pada kategori "Rentan" (warna merah).
Untuk itu diperlukan adanya komitmen yang kuat dan perbaikan yang konsisten pada hampir di seluruh daerah di Indonesia.Meskipun hasil skor SPI belum terlalu menggembirakan, sejatinya hasil SPI bukanlah akhir dari proses, melainkan awal dari perubahan.
Nilai skor SPI dapat dijadikan dasar dalam menyusun rekomendasi kebijakan, rencana aksi, dan program pembinaan. Institusi maupun daerah yang mendapat skor rendah harus diberi pendampingan, bukan penghakiman dan kritik membabi buta. Sementara yang mendapat skor tinggi harus dijadikan contoh dan dapat menularkan "virus" kebaikan bukan sekadar puja puji setinggi langit.
Lebih penting lagi, hasil SPI harus ditindaklanjuti dengan komitmen nyata dari pimpinan dan seluruh jajaran. Tanpa komitmen, survei hanya akan menjadi angka di atas kertas. Tetapi dengan komitmen, survei bisa menjadi titik balik menuju birokrasi yang bersih, transparan, dan berintegritas.
Dalam konteks birokrasi, pimpinan memiliki peran sentral dalam membangun budaya integritas. Mereka bukan hanya penentu arah kebijakan, tetapi juga teladan bagi seluruh pegawai. Ketika pimpinan menunjukkan integritas dalam tindakan-misalnya dengan menolak intervensi, membuka akses informasi, dan menegakkan aturan-maka nilai-nilai tersebut akan meresap ke seluruh organisasi.
Sebaliknya, jika pimpinan abai terhadap integritas, maka budaya kerja akan terkontaminasi. Pegawai akan kehilangan motivasi untuk bekerja jujur, dan praktik korupsi akan tumbuh subur. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan SPI, peran pimpinan sangat krusial. Mereka harus menjadi motor penggerak perubahan, bukan penghambat.
Survei Penilaian Integritas bukanlah tujuan akhir, tetapi bagian dari perjalanan panjang menuju birokrasi yang bersih dan melayani. Ia adalah alat ukur, sekaligus pemicu refleksi dan perubahan. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, integritas menjadi modal utama untuk membangun dan menjaga kepercayaan publik dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Saatnya kita menyambut hasil SPI dengan sikap terbuka, jujur, dan bertanggung jawab. Bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menemukan jalan perbaikan. Bukan untuk menutupi kelemahan, tetapi untuk membangun kekuatan. Karena pada akhirnya, integritas bukan hanya soal survei, tetapi soal komitmen kita menjadikan integritas sebagai budaya. Tidak hanya oleh pelaku pelayanan publik namun juga semua masyarakat di negara ini.
(miq/miq)
































:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339916/original/010495200_1757135510-20250904AA_Timnas_Indonessia_Vs_China_Taipei-108.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339674/original/047240900_1757081733-20250904AA_Timnas_Indonesia_vs_China_Taipei-08.JPG)








:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5310777/original/099498800_1754792417-527569707_18517708213000398_2665174359766286643_n.jpg)





