Jakarta, CNBC Indonesia - Penguatan nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2025 tidak sepenuhnya membawa kabar baik. Di balik menguatnya kurs ringgit, terdapat sejumlah sektor yang justru mulai merasakan dampak negatif.
Berdasarkan data Refinitiv, pada awal 2025 ringgit masih bergerak di sekitar MYR4,46/US$. Namun hingga perdagangan Jumat (21/11/2025), mata uang Negeri Jiran tersebut telah menguat ke MYR4,146/US$ atau terapresiasi sekitar 7,3% secara year-to-date (ytd).
Kenaikan ini sekaligus menempatkan ringgit sebagai salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Penguatan ringgit disebabkan oleh kombinasi dari sentimen global dan perbaikan fundamental dari dalam negeri Malaysia itu sendiri.
Dari eksternal, pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan mulai memangkas suku bunga pada Desember dan kembali melanjutkan penurunan bertahap pada 2026. Ekspektasi tersebut mempersempit selisih suku bunga antara AS dan Malaysia, sehingga sebagian investor mulai keluar dari aset dolar AS menuju obligasi dan instrumen berdenominasi ringgit.
Sementara dari dalam negeri, kondisi fiskal pemerintahan Malaysia yang baik menjadi katalis kuat. Defisit anggaran yang menyempit dari 4,1% PDB pada 2024 menjadi 3,3% pada 2025 membuat risiko fiskal dianggap lebih terkendali. Perbaikan ini meningkatkan kepercayaan investor, sehingga mampu mendorong aliran modal baik melalui pasar keuangan seperti pasar obligasi dan saham Malaysia, serta juga melalui investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI).
Selain itu, neraca perdagangan yang sangat baik terlihat dari ekspornya yang meningkat, reformasi subsidi, serta stabilitas ekonomi domestik turut berkontribusi menjaga momentum apresiasi ringgit di global.
Namun, penguatan mata uang tidak selalu membawa dampak positif bagi semua sektor. Beberapa industri justru mulai merasakan tekanan.
Sektor Pariwisata
Sektor pariwisata menjadi salah satu yang paling cepat merasakan tekanan dari penguatan ringgit. Bagi wisatawan dari Indonesia dan Thailand yakni dua sumber wisatawan terbesar setelah Singapura kenaikan ringgit otomatis membuat biaya perjalanan, konsumsi, dan belanja di Malaysia menjadi lebih mahal.
Hal ini tercermin dari proyeksi industri hotel di Johor yang memperkirakan penurunan kunjungan wisatawan hingga 25% pada musim liburan tahun ini.
Ketua Malaysian Association of Hotels Johor, Ivan Teo, mengatakan bahwa wisatawan Indonesia dan Thailand sangat sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar. Kenaikan harga akibat ringgit yang menguat membuat sebagian calon wisatawan menunda atau mengubah rencana perjalanan mereka. Penurunan ini juga dirasakan oleh pemandu wisata di Johor, yang melaporkan adanya penurunan kecil namun konsisten dari dua negara tersebut.
Menariknya, permintaan dari wisatawan Singapura justru tetap solid. Dengan daya beli yang lebih kuat, apresiasi ringgit tidak terlalu mempengaruhi pola konsumsi mereka.
Bahkan, di tengah penguatan ringgit dari sekitar MYR3,50 per dolar Singapura pada Januari 2024 menjadi MYR 3,19 per dolar Singapura, Namun wisatawan Singapura tetap menyeberang ke Johor untuk berbelanja, kuliner, layanan kesehatan, hingga mencuci mobil.
Masyarakat Singapura merasa bahwa selisih kurs tidak begitu berdampak. Hal ini membuat banyak bisnis di Johor Baru seperti restoran, pusat perbelanjaan, hingga car wash mengatakan bahwa lebih dari separuh pelanggan mereka tetap berasal dari Singapura dan belum terlihat adanya perubahan perilaku.
Untuk menutupi penurunan wisatawan dari Indonesia dan Thailand, pelaku industri pariwisata Malaysia mulai mengalihkan fokus ke pasar lain yang kurang sensitif terhadap kurs, seperti China.
Secara keseluruhan, kedatangan wisatawan mancanegara ke Malaysia memang masih terlihat solid hingga Agustus 2025, dengan total kunjungan Januari-Agustus naik dari 12,66 juta wisatawan pada 2023 menjadi 16,41 juta pada 2024, dan kembali meningkat menjadi 17,75 juta pada 2025.
Namun, tren terbaru justru menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Data resmi hanya tersedia sampai Agustus 2025, dan pada bulan tersebut jumlah wisman tercatat 2,30 juta, lebih rendah dibanding 2,38 juta pada Agustus 2024, atau turun sekitar 3,1% YoY.
Penurunan ini mengindikasikan bahwa momentum pemulihan pariwisata mulai kehilangan tenaga, sejalan dengan berkurangnya minat dari negara-negara yang sensitif terhadap penguatan ringgit.
Jika melihat data wisatawan ke Malaysia berdasarkan negara di bulan Agustus, pola pelemahan permintaan ini juga mulai terlihat jelas.
Kunjungan wisatawan Indonesia turun dari 292 ribu pada Agustus 2024 menjadi 273 ribu pada Agustus 2025, atau melemah 6,5% (yoy). Tren serupa terjadi pada wisatawan Singapura, yang turun dari 790 ribu menjadi 690 ribu di Agustus 2025, koreksi cukup dalam sebesar 12,7% YoY.
Sementara itu, Thailand menjadi satu-satunya pasar yang masih tumbuh, naik dari 140 ribu ke 149 ribu, meski pertumbuhannya melambat dari 19,7% tahun sebelumnya menjadi hanya 6,4% YoY di 2025.
Kabar Buruk Bagi Eksportir
Eksportir Malaysia, terutama yang menggunakan bahan baku lokal seperti produsen furnitur dan sarung tangan tengah menghadapi dua tekanan sekaligus.
Pertama, ringgit yang menguat membuat harga produk Malaysia lebih mahal bagi pembeli internasional sehingga menggerus daya saing ekspor.
Kedua, khusus untuk pasar Amerika Serikat, eksportir tertentu masih harus menghadapi tarif impor hingga 19%, sehingga margin keuntungan mereka semakin menipis.
Menurut ekonom Socio-Economic Research Centre, Lee Heng Guie, yang dikutip dari CNA, menegaskan bahwa sektor-sektor berbasis bahan baku lokal kini menghadapi "double-whammy impact".
Sebuah kondisi dimana biaya produksi tidak banyak mengalami penurunan, namun harga jual di pasar global naik. Kondisi ini membuat banyak eksportir tidak merasakan manfaat dari penguatan mata uang, karena biaya produksi tidak jatuh secara signifikan sementara harga ekspor justru menjadi kurang kompetitif.
Beberapa pelaku industri juga mulai melaporkan penurunan permintaan dari klien luar negeri. Dengan kenaikan harga yang tak terhindarkan, sejumlah eksportir terpaksa menyesuaikan strategi harga, memperpanjang tenor kontrak, atau menurunkan volume produksi untuk mempertahankan pelanggan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319082/original/060228700_1755504247-pspr.jpg)










:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5296959/original/099436300_1753661070-Jersey_Persita.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5295805/original/097979000_1753504002-20250725AA_Timnas_Indonesia_U-23_Vs_Thailand-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5193601/original/089204100_1745233045-Ilustrasi_-_Gerald_Vanenburg_di_Timnas_Indonesia_U-23_copy.jpg)



