Babak Baru Jepang: Takaichi dan Harapan Revolusi Gender di Negeri Sakura

8 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia- Sulit dibayangkan, negara maju seperti Jepang, dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia masih bergulat dengan persoalan dasar yakni memberi ruang bagi perempuan untuk memimpin.

Selama bertahun-tahun, partisipasi tenaga kerja perempuan di Negeri Sakura terus naik, dari sekitar 63% pada 2012 menjadi 74% pada 2022. Namun, peningkatan itu tidak diikuti dengan posisi kepemimpinan yang setara.

Perempuan Jepang masih jarang terlihat di ruang pengambil keputusan baik di politik, birokrasi, maupun korporasi besar.

Menurut laporan International Monetary Fund (IMF) yang bertajuk Why Such Few Women in Leadership Positions in Japan, hanya 13% pekerja manajerial di sektor swasta Jepang adalah perempuan. Angka itu jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 34% dan bahkan belum mencapai target pemerintah sendiri yang baru 18%.

Survei Tokyo Shoko Research juga mencatat bahwa hanya 15% perusahaan di Jepang yang dimiliki oleh perempuan cerminan betapa minimnya peluang perempuan menembus lapisan atas ekonomi.

Kesenjangan ini bukan tanpa sebab. Dana Moneter Internasional (IMF) menemukan tiga faktor besar yang menahan perempuan Jepang naik kelas: beban pekerjaan rumah tangga yang timpang, pekerjaan non-reguler, dan akses penitipan anak yang terbatas.

Perempuan Jepang rata-rata menghabiskan waktu lima kali lebih banyak dari laki-laki untuk pekerjaan rumah dan pengasuhan anak. Kombinasi itu membuat banyak perempuan memilih pekerjaan paruh waktu atau berhenti total dari jalur karier setelah menikah atau memiliki anak.

Faktor budaya kerja juga menjadi batu sandungan. Budaya lembur yang kaku, promosi berdasarkan senioritas, dan sistem "career vs non-career track" membuat jalur menuju posisi pimpinan terasa seperti dinding kaca.

Data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW) tahun 2022 menunjukkan hanya 8% perusahaan yang menerapkan jam kerja fleksibel.

Insentif pajak yang menguntungkan rumah tangga dengan satu pencari nafkah juga memperburuk situasi, karena mendorong perempuan tetap bekerja paruh waktu agar tidak kehilangan potongan pajak suami.

Perbandingan global mempertegas ketertinggalan Jepang. Berdasarkan data OECD dan ILO, proporsi manajer perempuan di Swedia mencapai 43,7%, Prancis 39%, dan Finlandia 37%.

Negara-negara tersebut memiliki kesamaan: kebijakan kuota dan reformasi struktural yang memaksa korporasi membuka ruang bagi perempuan di jajaran eksekutif. Di sisi lain, Jepang lebih memilih pendekatan sukarela dengan target yang terbatas hanya pada perusahaan terdaftar di bursa Tokyo (TSE Prime Market).

Kini, wacana baru muncul seiring kabar bahwa Sanae Takaichi, politisi konservatif Partai Demokrat Liberal (LDP), disebut-sebut akan menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang.

Dilansir dari The Japan Times, Takaichi memiliki peluang besar menggantikan Fumio Kishida berkat dukungan kuat dari sayap kanan partai dan kedekatannya dengan kalangan nasionalis.

Namun, simbol historis ini menimbulkan pertanyaan: apakah kehadiran seorang PM perempuan akan benar-benar membuka pintu bagi perempuan lain, atau sekadar menjadi "token" dalam sistem yang tetap maskulin?

Secara politik, kehadiran Takaichi jelas monumental. Jepang selama ini menempati peringkat 164 dunia dalam representasi perempuan di parlemen (10% di DPR, 25,8% di DPD).

Tetapi sejarah menunjukkan, satu figur perempuan di puncak kekuasaan tidak otomatis mengubah struktur yang menahan perempuan lain di lapisan bawah. Tanpa reformasi pasar kerja, normalisasi cuti ayah, dan perubahan budaya kerja korporat, simbol semacam itu hanya menjadi narasi, bukan revolusi.

IMF menilai Jepang perlu melangkah lebih berani. Rekomendasinya meliputi perluasan target gender di luar perusahaan TSE, insentif bagi ayah yang mengambil cuti parental, dan reformasi pajak rumah tangga agar perempuan tidak dirugikan ketika bekerja penuh waktu. Di sektor publik, pemerintah didorong untuk menerapkan kuota di parlemen lokal dan nasional guna menyeimbangkan representasi.

Jepang adalah cermin paradoks antara modernitas ekonomi dan konservatisme sosial. Di negeri tempat teknologi canggih dan robot humanoid berkembang pesat, keputusan karier perempuan masih kerap ditentukan oleh norma rumah tangga abad lalu.

Bila Takaichi benar melangkah ke kursi perdana menteri, langkah itu akan menjadi babak simbolik penting-tapi transformasi sejati baru akan terjadi bila angka 13% di ruang manajerial mulai naik dan kesetaraan diukur bukan dari nama di kursi tertinggi, melainkan dari banyaknya perempuan yang ikut menentukan arah bangsa.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |