Muhammad Zahran, CNBC Indonesia
20 December 2025 15:15
Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah kejadian bencana di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan dalam 25 tahun terakhir.
Tingginya frekuensi bencana disebabkan kondisi geografis Indonesia yang berada di kawasan Pacific Ring of Fire dan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia. Kondisi alamiah ini semakin diperburuk oleh kerusakan lingkungan yang masif dan perubahan iklim.
Hingga 20 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 3.133 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah tersebut hampir menyamai catatan sepanjang 2024.
BNPB mencatat telah terjadi 3.472 kejadian bencana hingga akhir 2024. Kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang terjadi akibat fenomena cuaca dan iklim ekstrem. Bencana yang paling sering terjadi yaitu banjir, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Setiap jenis bencana juga membawa tingkat kerusakan yang berbeda, baik dari sisi korban jiwa maupun kerugian ekonomi yang ditimbulkan.
Banjir menjadi bencana yang paling sering terjadi sekaligus yang memberikan tekanan terbesar. Hal ini karena banjir memiliki daya rusak yang luas dan dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi, serta butuh waktu pemulihan yang lama.
Foto: BNPB
Peta sebaran bencana 2025
Banjir dapat memutus jalur transportasi, sehingga mengganggu arus mobilitas dan akses logistik, yang kemudian melumpuhkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh. Dampak ini dirasakan oleh seluruh penduduk, terlepas dari tingkat sosial ekonomi mereka. Banjir juga dapat merusak lahan pertanian, sehingga berisiko mengganggu produksi pangan dan membuat harga pangan naik. Kondisi ini semakin menambah beban ekonomi karena menekan daya beli masyarakat.
Indonesia termasuk negara dengan kerentanan sosial ekonomi yang tinggi akibat bencana, melansir World Risk Report 2016. Dengan kata lain, terdapat potensi dampak besar ketika bencana melanda.
Dampak langsung yang ditimbulkan bencana yaitu korban jiwa. Sepanjang periode 2011-2024, jumlah korban mengungsi dan menderita terus meningkat dari 500 ribu menjadi 8,14 juta jiwa. Peningkatan jumlah korban ini sejalan dengan meningkatnya intensitas bencana di berbagai wilayah.
Tidak hanya menimbulkan korban jiwa, bencana juga menyebabkan kerusakan yang berdampak pada perekonomian nasional.
Setiap tahun, ratusan hingga ribuan rumah penduduk dan fasilitas publik rusak akibat bencana.
Bencana juga terbukti menimbulkan kerugian ekonomi yang berdampak negatif pada PDB nasional. Setiap kejadian bencana berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi hingga mencapai triliunan rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa terdapat risiko penurunan PDB perkapita sebesar 7,43 juta rupiah akibat seluruh bencana yang terjadi dalam setahun.
Hal ini karena bencana menyebabkan kerusakan infrastruktur penting seperti jalan, jembatan, dan fasilitas produksi, sehingga mengganggu proses produksi dan distribusi barang dan jasa, yang kemudian berdampak pada penurunan output ekonomi.
Bencana juga menelan banyak korban jiwa, sehingga menurunkan pasokan tenaga kerja yang kemudian semakin memperburuk penurunan produktivitas ekonomi dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca bencana.
Dampak bencana berbeda antar sektor ekonomi. Menurut BPS, sektor manufaktur, perdagangan, dan konstruksi menjadi yang paling rentan terdampak bencana, tercermin dari penurunan nilai tambah yang signifikan.
Jika dihitung dengan rata-rata jumlah bencana per tahun, kerugian akibat bencana mencapai Rp23,96 triliun di sektor perdagangan dan Rp19,51 triliun di sektor manufaktur. Kerugian besar pada sektor-sektor tersebut diakibatkan oleh gangguan rantai pasok dan gangguan infrastruktur mobilitas perdagangan akibat bencana. Lebih lanjut, sektor manufaktur dan perdagangan merupakan lapangan usaha penopang PDB, sehingga kerugian pada sektor ini semakin memperburuk penurunan produktivitas ekonomi nasional.
Bencana juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui penurunan daya beli. Penelitian BPS menunjukkan bencana yang terjadi selama setahun berisiko menurunkan rata-rata pengeluaran per kapita sekitar 5%.
Dampaknya berbeda antar kelompok masyarakat. Masyarakat berpendapatan menengah ke bawah dan rendah menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Kelompok tersebut sulit mengantisipasi dan merespon bencana yang terjadi karena keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.
Akibatnya, keterpurukan sosial ekonomi akan lebih parah dan lebih sulit untuk pulih dibanding kelompok dengan pendapatan tinggi. Di sisi lain, kelompok berpendapatan tinggi umumnya mengalami kerugian besar dari sisi aset, tetapi lebih cepat pulih karena memiliki akses sumber daya yang lebih baik. Oleh karena itu, bantuan sosial menjadi penting dalam penanggulangan bencana terutama bagi kelompok rentan, untuk menjaganya memenuhi kebutuhan dasar dan membantu pemulihan lebih cepat.
Dengan besarnya risiko kerugian sosial ekonomi yang ditimbulkan, sinergi mitigasi antara pemerintah daerah dan pusat menjadi kunci untuk menekan kerugian akibat bencana.
(mae/mae)






























:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339916/original/010495200_1757135510-20250904AA_Timnas_Indonessia_Vs_China_Taipei-108.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339674/original/047240900_1757081733-20250904AA_Timnas_Indonesia_vs_China_Taipei-08.JPG)







:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5310777/original/099498800_1754792417-527569707_18517708213000398_2665174359766286643_n.jpg)






