Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin menghapus peraturan teknis (pertek) untuk industri mendapat kritikan dari kalangan pabrik manufaktur. Indonesia tidak perlu reaktif dengan langkah Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif tinggi untuk barang impor dari Indonesia. Pasalnya penghapusan pertek bisa membuat barang impor semakin membanjiri Indonesia.
"Kami nggak takut ngga bisa ekspor ke AS karena ekspor anggota Gabel ke AS hanya US$ 300 juta, tapi Khawatirnya muntahan produsen besar Tiongkok yang mudahnya masuk ke pasar RI," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) mengenai Kuota Impor Dihapus, Ancaman Atau Tantangan, Kamis (17/4/2025).
Kekhawatiran itu dikarenakan pasar Indonesia sangat besar, bahkan menjadi negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduknya menjanjikan sampai 290 juta orang.
"Kenapa bukan Malaysia? Berapa penduduknya? Atau Filipina separuh Indonesia juga gak ada, Vietnam juga sama. Jadi besar pasar Indonesia ini jadi sasaran empuk negara eksportir, kalau meluber produksinya perlu kapasitas produksi mau nggak mau perlu produksi limpahan masuk Indonesia," kata Daniel.
Foto: LED impor ini mulus tapi tak bisa dijual dan ditegah Menteri Perdagangan Budi Santoso. (CNBC Indonesia/Chandra Dwi)
LED impor ini mulus tapi tak bisa dijual dan ditegah Menteri Perdagangan Budi Santoso. (CNBC Indonesia/Chandra Dwi)
Impor barang tidak akan masuk ke pasar dalam negeri jika Indonesia memiliki non tariff measure (NTM) atau tindakan non tarif yang kuat. Amerika Serikat berani mengenakan biaya masuk impor tinggi terhadap negara lain karena memiliki NTM yang kuat.
"AS itu negara nomer satu yang NTM banyak sekali, ada 4.600 NTM di Amerika makanya menginisiasi perdagangan bebas karena bea masuk ngga gampang. Sedangkan Eropa Tiongkok NTM bisa 1.300-1.500. Indonesia posisi gimana? Jangankan dibanding as Eropa, kita dibanding Thailand, Filipina setengahnya aja ngga ada, NTM indo 207 kalau bicara Thailand 660an ini sumber WTO 2025," bebernya.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif juga mengakui bahwa NTM di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga rentan terhadap industri untuk berkembang.
"NTM kita sangat rendah, pertek dan NTM sangat penting, Untuk tekstil dengan tenaga kerja banyak kita harus lindungi industrinya juga," sebut Ian pada kesempatan yang sama.
(fys/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kemenperin Wajibkan Industri Setor Data 4 Kali Setahun
Next Article Startup China di Ambang Kebangkrutan, Investor Uring-uringan Ancam Ini