Jakarta, CNBC Indonesia - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty menilai pemerintah harus kembali mengevaluasi kebijakan tarif cukai rokok yang selama ini terus mengalami kenaikan.
Pasalnya, tarif cukai yang terlalu tinggi justru bisa menjadi bumerang untuk penerimaan negara.
"Saya juga membaca ya dari artikelnya Dr Laffer ini. Menurutnya dengan cukai yang ketinggian itu menimbulkan usaha-usaha rumahan yang kita tahu sekarang banyak tembakau linting yang tidak dikenakan cukai malah pemerintah kehilangan penerimaan kan dari situ. Karena terlalu cukai yang terlalu tinggi,"ujar Telisa dalam program Evening Up CNBC Indonesia, dikutip Senin (16/6/2025).
Menurutnya, diperlukan keseimbangan antara tujuan kesehatan publik dan realitas ekonomi. Kendati ada faktor untuk menekan eksternalitas dari efek negatif dari rokok, namun rokok memiliki kontribusi besar pada industri padat karya RI.
"Kita tahu rokok di Indonesia ini memang cukup ada faktor budaya, ada faktor lain sebagainya yang artinya dan juga dia sebagai labor intensive industry ya," ujarnya.
Tak hanya itu, Telisa pun menilai pemerintah perlu mengkaji beban pajak secara menyeluruh. Industri-industri lain yang juga bersifat padat karya perlu mendapatkan insentif agar dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara.
"Di luar tembakau sendiri, sektor-sektor lain yang cukup berkontribusi pada penyerapan lapangan kerja ini perlu dipertimbangkan bahwa beban-beban pajaknya mungkin perlu dilihat kembali sehingga nanti mereka bisa growing. Kalau mereka growing kan ekonomi bagus juga penerimaan pajak pemerintah juga meningkat," ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai mengatakan penerimaan cukai hasil tembakau menunjukkan tren pelemahan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan kenaikan tarif.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani menjelaskan penurunan penghasilan cukai hasil tembakau pun disebabkan oleh produksi rokok yang juga menurun tiap tahunnya.
Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, pada 2022 penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 218,3 triliun dengan produksi 323,9 miliar batang dan kenaikan tarif tercatat 12%. Sementara pada 2023 produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang yang menyebabkan penerimaan cukai hasil tembakau menjadi Rp 213,5 triliun dan kenaikan tarif 10%. Pada 2024, produksi menurun menjadi 317,4 miliar batang, namun penerimaan meningkat menjadi Rp 216.9 triliun dengan kenaikan tarif 10%.
"Dulu kita bilang berapapun kita naikkan tarifnya akan produksi akan naik tetapi sekarang sudah terasa bahwa dia lebih elastis setiap dampak kenaikan tarif cukai itu menyebabkan produksi daripada rokok mengalami penurunan," ujar Askolani dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI di gedung DPR RI, Rabu (7/5/2025).
Sepanjang kuartal-I 2025, CHT tercatat Rp 55,7 triliun. Adapun untuk produksi rokok golongan 1 menurun hingga 10,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Yakni sebesar 34,7 miliar batang.
"Penurunan produksi rokok di 2025 sampai dengan Q1 4,2% ini utamanya disebabkan dari golongan 1 yang turun 10% lebih sedangkan untuk golongan 2 dan golongan 3 1% dan 7,4%," ujarnya.
Sampai dengan kuartal-1 2025 Dirjen Bea Cukai juga telah melakukan penindakan rokok-rokok ilegal lebih dari 2.900 penindakan yang kami lakukan yang nilai penindakannya dengan nilai mencapai Rp 367 miliar.
"Kami bersama dengan APH bisa menindak sampai dengan 257 juta buatan rokok ilegal yang beredar di domestik termasuk juga yang masuk dari impor," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri mulyani Akui 2024 Bukan Tahun Mudah, Ini Alasannya!