Implikasi Destruktur Kebijakan Tembakau Indonesia

6 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pertentangan klasik antara ekonomi dan kesehatan terkait ekosistem pertembakauan kerap memicu perdebatan di ranah publik. Kebijakan pengetatan terhadap konsumsi rokok di level pusat hingga daerah menimbulkan dampak serius terhadap industri hasil tembakau (IHT).

Deindustrialisasi dan PHK secara masif mulai terjadi imbas menurunnya pendapatan perusahaan di tengah tarif cukai yang tinggi dan maraknya rokok ilegal. Kebijakan pengendalian seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR) hanya berfokus pada upaya menekan konsumsi rokok di ruang publik.

Dampaknya, pelaku usaha mulai dari petani hingga produsen rokok mengalami kerugian yang berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan. Rezim pemerintahan yang menjanjikan 19 juta lapangan pekerjaan justru tak menelurkan solusi konkret atas persoalan ini.

PP 28/2024 memiliki masalah secara substansi sehingga menimbulkan kekacaubalauan implementasi di daerah. Daerah berduyun-duyun merencanakan penerbitan Perda KTR tanpa memperhatikan realita dan potensi implikasnya.

Destruksi Ekonomi
Industri Hasil Tembakau (IHT) tetap menjadi pilar ekonomi strategis, menyumbang lebih dari delapan persen penerimaan negara pada 2023 dan menyerap jutaan pekerja dari petani hingga sektor kreatif.

Namun, pengesahan UU 17/2023 dan PP 28/2024 menimbulkan ketidakpastian besar; produksi rokok turun dari 355,9 miliar batang pada 2019 menjadi 315 miliar batang pada 2024, mencerminkan tekanan struktural yang belum tertangani, serta mengubah dinamika produksi, distribusi, dan strategi pemasaran secara signifikan.

Regulasi PP 28/2024 beserta turunannya di daerah (Perda KTR) dianggap memberatkan sektor ritel, periklanan, dan industri rokok, karena pengetatan aturan berpotensi tidak efektif menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja, justru mendorong peredaran rokok ilegal. Kebijakan hanya fokus pada sisi penjual rokok tanpa mempertimbangkan faktor lain, sehingga implementasi, pengawasan, dan penindakan menjadi sulit.

Pengaturan radius penjualan dan iklan dari zona pendidikan dan fasilitas bermain diprediksi mendistorsi perekonomian, yang merupakan fondasi ekonomi daerah, sehingga gangguan ini berisiko menimbulkan efek domino pada aktivitas ekonomi lokal lainnya.

Dengan merebaknya rokok ilegal, tujuan kebijakan kesehatan justru akan gugur, karena konsumsi rokok tidak berkurang. Ironisnya, pihak yang paling dirugikan adalah pelaku usaha yang patuh dan beroperasi secara legal, sementara pelanggar mendapatkan pasar tanpa hambatan.

Saat ini, jutaan pekerja menghadapi risiko PHK akibat penurunan permintaan. Studi KPPOD (2025) menunjukkan bahwa lebih dari 2,5 juta petani tembakau dan cengkeh berpotensi kehilangan pendapatan, yang dapat mendorong peralihan lahan tanam dan ketidakstabilan sektor pertanian.

Regulasi yang tampak ideal di atas kertas justru berisiko memicu krisis sosial-ekonomi di tingkat lokal, sementara sektor periklanan dan media menghadapi potensi kerugian hingga Rp9 triliun akibat larangan iklan, meski konsumsi rokok tetap tinggi.

Kesiapan implementasi menjadi titik lemah utama karena pengawasan minim, petunjuk teknis terbatas, dan inkonsistensi antar-regulasi, termasuk KTR yang lebih ketat dari peraturan nasional.

Tanpa penyesuaian kebijakan, industri rokok berisiko kontraksi lebih dalam, mempercepat deindustrialisasi, menurunkan PAD, mengurangi lapangan kerja, dan melemahkan ketahanan ekonomi lokal. Penyesuaian tarif cukai dan pengawasan ketat terhadap rokok ilegal menjadi kunci menjaga keseimbangan antara pengendalian konsumsi rokok dan keberlangsungan industri.

Kebijakan Daerah
Melihat dampak PP 28/2024, pemerintah daerah sebaiknya berhati-hati menerbitkan peraturan turunan karena regulasi tergesa-gesa berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum, menekan omzet ritel, dan mengganggu ekonomi lokal. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak boleh lebih ketat dari peraturan nasional, karena jika lebih ketat, beban usaha meningkat dan implementasi menjadi terhambat.

Saat ini, DKI Jakarta tengah berproses merumuskan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR), namun sejumlah ketentuan masih menimbulkan perdebatan. Larangan penjualan rokok dalam radius tertentu dari sekolah dan tempat bermain anak, sekalipun bertujuan melindungi kesehatan, berpotensi menekan pedagang kecil dan usaha mikro serta menciptakan ketidakpastian ekonomi.

Pendekatan berbasis lokasi tanpa mekanisme verifikasi usia yang kuat terbukti salah arah. Bahkan jika toko berada tepat di depan sekolah, anak di bawah umur tetap bisa membeli rokok. Selain itu, minimnya aturan operasional terkait ruang khusus merokok, ventilasi, dan tata letak membuat pengendalian perilaku perokok menjadi tidak efektif, sehingga tujuan pengendalian konsumsi tetap sulit tercapai.

Proses perumusan regulasi yang membahas sanksi lebih awal, sementara ketentuan penting lain masih diperdebatkan, berisiko menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan meningkatkan rokok ilegal.

Tanpa revisi berbasis data dan fokus pada verifikasi usia, kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian ekonomi, menekan pelaku usaha legal, dan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Regulasi yang realistis dan konsisten lebih pantas menjadi fokus daripada aturan radius yang abstrak dan kontraproduktif.

Menyusun Perda KTR dalam situasi dilematis seperti ini bukan pekerjaan mudah. Di beberapa daerah, pembahasannya berujung deadlock, sebagaimana terjadi di Jakarta dan Sleman, akibat ketegangan antara kepentingan ekonomi dan tujuan kesehatan.

Untuk mengatasi dilema tersebut, sejumlah pemerintah daerah mengambil langkah moderat; misalnya, Jawa Timur memilih menerbitkan perda yang lebih longgar dan aplikatif, sehingga implementasinya realistis sekaligus tetap mengedepankan perlindungan kesehatan.

Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dan konteks lokal menjadi kunci dalam merumuskan regulasi yang efektif tanpa menekan sektor usaha secara berlebihan. Regulasi yang mempertimbangkan karakteristik ekonomi, kepadatan wilayah, dan kemampuan pengawasan lokal akan lebih mudah diterapkan, mengurangi risiko ketidakpastian hukum, serta memastikan tujuan kesehatan tetap tercapai.

Pada akhirnya, aturan radius penjualan dan iklan perlu dihapus karena sulit diawasi dan rawan disalahgunakan. Pemerintah lebih baik fokus pada pengendalian rokok berbasis usia dengan verifikasi ketat di toko fisik dan platform online. Pengawasan rokok ilegal harus diperketat dari sisi kelembagaan dan kapasitas untuk mencegah kerugian ekonomi dan konsumsi anak-anak.

Alih-alih terburu-buru mendorong daerah menerbitkan perda, pemerintah pusat perlu meninjau ulang substansi PP 28/2024 yang bermasalah pada aras pengaturan. Sementara itu, pemerintah daerah sebaiknya meninjau kembali rencana penerbitan perda KTR, agar regulasi yang dihasilkan tidak sekadar mengejar target politik atau menjadi mercusuar sesaat, melainkan benar-benar bermanfaat dan diterapkan tanpa menimbulkan efek destruktif bagi ekonomi dan kesehatan masyarakat.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |