Ini Deretan Industri RI yang Mulai Kehabisan Napas

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan terhadap industri kayu dan furnitur kian parah pada kuartal III-2025, setelah penerapan tarif bea masuk ke Amerika Serikat (AS) oleh Presiden AS Donald Trump.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal III-2025. Perekonomian nasional tumbuh 5,04% secara tahunan (yoy) dan 1,43% secara kuartalan (qtq), dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp6.060 triliun serta Rp3.444,8 triliun atas dasar harga konstan 2010.

Secara umum, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga di atas 5%, namun pertumbuhannya harus melambat bila dibandingkan kuartal II-2025 yang tumbuh hingga 5,12%.

Di tengah perlambatan ini, Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan sektor yang paling terpukul adalah industri kayu, barang dari kayu dan gabus, serta barang anyaman dari bambu, rotan, dan sejenisnya.

Pada kuartal III-2025, industri ini mencatatkan kontraksi yang sangat tajam sebesar 9,6% (yoy). Menjadi yang terdalam di antara seluruh subsektor industri pengolahan. Angka ini turut menandai pembalikan tajam dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,12% (yoy), sekaligus menjadi level terendah sejak masa pandemi Covid-19.

Padahal, di sepanjang 2024 sektor ini sempat stabil bertumbuh di kisaaran 3% - 4% (yoy) sebagai cerminan dari pemulihan pascapandemi. Namun memasuki paruh kedua 2025, tekanan meningkat seiring dengan melemahnya permintaan ekspor.

Berdasarkan harga yang berlaku, PDB industri kayu hanya mencapai Rp21,00 triliun, turun dibandingkan Rp22,17 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Tarif Trump Tekan Ekspor Mebel dan Produk Kayu RI

Tekanan terhadap industri kayu dan mebel Indonesia mulai muncul sejak April 2025, ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap hampir seluruh negara mitra dagang AS.

Dalam kebijakan awal tersebut, produk asal Indonesia sempat dikenakan tarif masuk sebesar 32%.

Namun setelah melalui serangkaian perundingan bilateral yang intensif, pemerintah AS menunda penerapan penuh tarif tersebut dan menurunkannya menjadi 10% selama masa negosiasi.

Meski langkah itu memberi sedikit ruang napas bagi eksportir, ketidakpastian perdagangan sudah mulai menekan arus pesanan dari pasar AS.

Kemudian, pada Juli 2025, kedua negara akhirnya mencapai kesepakatan dagang baru dengan tarif tetap sebesar 19% untuk seluruh produk asal Indonesia, yang mulai berlaku efektif sejak 1 Agustus 2025.

Kesepakatan ini tetap menjadi pukulan bagi industri dalam negeri, sebab margin ekspor yang sempit membuat sebagian produsen memilih menahan pengiriman atau memangkas volume produksi.

Sentimen pasar pun makin negatif setelah Trump kembali memperluas kebijakan proteksionisnya.

Pada Jumat (26/9/2025) waktu AS, Trump secara resmi mengumumkan kebijakan baru yang menaikkan tarif hingga 50% untuk produk furnitur, termasuk lemari dapur, meja rias kamar mandi, serta produk-produk berlapis kain, dan 30% untuk barang rumah tangga lainnya, efektif berlaku mulai 1 Oktober 2025.

Trump berdalih bahwa kebijakan ini diperlukan untuk "melindungi industri manufaktur domestik AS" dari apa yang ia sebut sebagai "banjir produk impor dari negara-negara asing".

Menurut Komisi Perdagangan Internasional AS, sekitar 60% furnitur yang dijual di AS berasal dari impor, dengan 86% di antaranya merupakan furnitur kayu, dan 42% berlapis kain yang sebagian besar dari Asia.

Data BPS yang diolah oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menunjukkan bahwa AS masih menjadi tujuan ekspor utama dengan porsi lebih dari 50% dari total ekspor furnitur nasional.

Pada 2022 nilai ekspor furnitur Indonesia mencapai US$2,5 miliar, namun turun menjadi US$1,9 miliar pada 2023 dan stagnan di kisaran yang sama sepanjang 2024.

Kondisi ini diperburuk oleh kenaikan harga furnitur di pasar AS, yang melonjak hampir 4,7% secara tahunan pada Agustus 2025, dan hingga 9,5% untuk kategori furnitur ruang tamu dan ruang makan, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.

Dengan harga yang semakin tinggi, permintaan dari importir Amerika pun menurun drastis yang secara otomatis memukul eksportir Indonesia.

Lebih jauh, ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar tunggal seperti AS membuat sektor ini sangat rentan.

Saat volume ekspor furnitur menurun, permintaan bahan baku dari industri kayu dan rotan ikut anjlok, karena furnitur merupakan pasar hilir terbesar bagi produk olahan kayu domestik. Di sisi lain, upaya diversifikasi ekspor ke Eropa dan Australia belum mampu mengimbangi besarnya kehilangan pasar dari AS.

Pelemahan di Industri Furnitur Seret Sektor Kayu

Dampak dari tarif Trump ini terasa cepat, bukan hanya pada produk jadi, tetapi juga pada rantai pasok bahan baku furnitur, termasuk kayu, rotan, dan bambu.

Data BPS menunjukkan bahwa industri furnitur nasional mengalami kontraksi sebesar 4,34% (yoy) pada kuartal III-2025, berbalik arah dari pertumbuhan positif 6,76% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara laju pertumbuhan terkontraksi semakin dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yakni -0,66%.

Secara harga yang berlaku, PDB industri furnitur pada kuartal III-2025 mencapai Rp10,73 triliun, turun dari Rp11,04 triliun pada kuartal III-2024.

Pelemahan industri furnitur ini otomatis menekan permintaan bahan baku dari sektor kayu dan anyaman, mengingat furnitur merupakan pasar hilir utama bagi produk kayu olahan domestik.

Data HIMKI memperlihatkan bahwa lebih dari separuh ekspor furnitur Indonesia masih berbasis kayu, dengan porsi mencapai 52,62% dari total ekspor 2024. Sementara furnitur rotan menyumbang sekitar 9,74%, dan sisanya berasal dari logam serta bahan campuran lainnya. Dominasi produk berbahan kayu ini membuat kinerja sektor kayu sangat bergantung pada geliat industri furnitur, terutama ekspor ke pasar Amerika Serikat.

Ketika pesanan furnitur kayu turun akibat kebijakan tarif baru, rantai permintaan bahan baku ikut melambat yang menyebabkan tekanan aktivitas produksi di sentra-sentra industri di seluruh wilayah Indonesia.

Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikan harga bahan baku, ongkos logistik, dan permintaan domestik yang stagnan, terutama dari sektor properti dan konstruksi yang belum sepenuhnya pulih.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
| | | |