Menanti Data inflasi China-Kabar The Fed Kala IHSG Lagi di Pucuk!

10 hours ago 6

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia

07 December 2025 20:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Di kala Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di pucuk, pekan depan pasar akan dibanjiri berbagai sentimen, mulai dari kepastian suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) hingga rilis inflasi China, yang berpotensi mengubah arah pasar.

IHSG sepanjang pekan lalu (1-5 Desember 2025) berhasil menembus level All Time High (ATH) hampir menyentuh 8700. Sky is the limit, menjadi satu ungkapan yang cocok buat menggambarkan resistance IHSG saat ini.

Meski begitu, pendekatan konservatif tetap diperlukan. Round number 9.000 menjadi resistance terdekat, yang secara teknikal dapat dicapai dengan kenaikan kurang dari 4% lagi. Di sisi lain, area 8.500 patut diwaspadai sebagai support kuat, sejalan dengan posisi MA20 daily.

Perlu diingat, setelah reli yang panjang, peluang terjadinya pullback tetap terbuka. Oleh karena itu, mengantisipasi potensi koreksi menuju area support juga menjadi bagian penting dari strategi.

Pergerakan IHSG tak lepas pula dari setiap sentimen yang terjadi. Pekan depan, kita akan bersiap menanti sejumlah data penting, mulai dari suku bunga the Fed, update pasar tenaga kerja AS, meliputi pembukaan lapangan tenaga kerja sampai klaim pengganguran.

Data neraca dagang - inflasi China juga kita pantau dan beberapa saham IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga masih menjadi perhatian pasar pekan depan, berikut rinciannya :

Update Pasar Tenaga Kerja AS

Dari negeri Paman Sam, kita akan menanti update data soal pasar tenaga kerja. Setidaknya ada pekan depan ada dua hal yang penting kita pantau yaitu pembukaan lapangan tenaga kerja (Job Openings) dan klaim pengangguran mingguan.

Untuk JOLTs Job Openings, konsensus memperkirakan angka sekitar 7,2 juta lowongan pada September 2025. Jika realisasi nanti lebih tinggi, itu berarti permintaan tenaga kerja masih kuat.

Sebaliknya, angka yang lebih rendah bisa mengindikasikan pasar kerja mulai mendingin. Sebagai gambaran, data sebelumnya menunjukkan lowongan tercatat di 7,227 juta.

Sementara itu, klaim pengangguran mingguan yang berakhir pada periode 8 Desember 2025 diproyeksikan bertambah 205 ribu. Angka ini akan memberi sinyal apakah perusahaan mulai meningkatkan pemutusan hubungan kerja atau justru mempertahankan tenaga kerjanya.

Untuk rujukan, pekan sebelumnya klaim berada bertambah 191 ribu, lebih rendah dari ekspektasi. Begitu juga dengan Continuing Jobless Claims, yang diperkirakan berada di sekitar 1,943 juta, sementara data sebelumnya berada di 1,939 juta. Rerata klaim empat mingguan juga diproyeksi sekitar 218 ribu, sedikit di atas posisi terakhir 214,75 ribu.

Secara keseluruhan, hasil rilis pekan depan akan memberi gambaran seberapa cepat pasar tenaga kerja AS mendingin dan pada akhirnya, seberapa besar peluang The Fed melakukan penurunan suku bunga lebih agresif atau justru tetap berhati-hati.

Penantian Suku Bunga the Fed

Masih lanjut dari data AS, akan ada penantian kepastian dari suku bunga the Fed. Pertemuan bank sentral AS bulan ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan menjadi puncak penantian apakah Quantitative Tightening (QT) benar-benar berakhir.

Sebelumnya, pada awal Desember. Jerome Powell, Chairman The Fed mengatakan cadangan perbankan sudah cukup longgar. Sinyal ini menandai berakhirnya era kebijakan moneter superketat dan membuka peluang bahwa The Fed akan segera memasuki fase pelonggaran.

Pelaku pasar langsung merespons positif, menurut CME FedWatch per 6 Desember 2025 yang kami pantau sampai pukul 13.50 WIB, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan pada Desember 2025 kini nyaris menembus 86,2%, mencerminkan ekspektasi kuat bahwa inflasi berhasil dijinakkan dan kebijakan moneter akan lebih ramah bagi pertumbuhan.

Neraca Dagang - Inflasi China

Beralih ke pasar regional, sang Naga Asia akan mengumumkan sejumlah data, mulai dari neraca dagang termasuk ekspor dan impor, serta data inflasi untuk periode November 2025.

Data neraca dagang akan diumumkan pada Senin besok (8/12/2025) sekitar pukul 10.00 WIB. Melansir laman penghimpun data Tradingeconomics, pasar memproyeksikan surplus neraca dagang China pada November akan naik menjadi US$ 100,2 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$90,07 miliar.

Proyeksi kenaikan neraca dagang ini didasari ekspor yang akan tumbuh pesat hingga 3,8% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan impor 2,8% yoy.

Sebagai catatan, surplus neraca dagang China pada Oktober lalu tercatat lebih rendah dari konsensus pasar sebesar US$ 95,6 miliar, sekaligus menjadi surplus terkecil sejak Februari, seiring ekspor turun dan impor yang naik.

Bulan Oktober mencatat penyusutan ekspor menyusut 1,1% yoy, meleset dari proyeksi naik 3% dan berbalik dari kenaikan 8,3% di September, ini dipengaruhi melemahnya pesanan luar negeri setelah fase percepatan pengiriman menjelang tarif baru AS, serta dampak libur Golden Week dan basis tinggi tahun lalu.

Sementara itu, impor naik 1,0% YoY, di bawah perkiraan 3,2% dan jauh lebih rendah dari kenaikan 7,4% di September, menandai pertumbuhan impor terlemah sejak Mei.

Jadi, penantian data neraca dagang kali ini untuk periode November menjadi salah satu yang penting diperhatikan karena jika benar ada kenaikan, akan menjadi sinyal perbaikan ekonomi China yang selama ini masih lesu.

Berikutnya, data yang dinanti agar melengkapi prospek perbaikan ekonomi China ada laju inflasi periode November. Data ini akan rilis pada Rabu (10/12/2025) sekitar pukul 08.30 WIB.

Laju inflasi diperkirakan bisa naik 0,9% yoy, dibandingkan bulan sebelumnya inflasi 0,2% yoy. Jika laju inflasi bisa naik sesuai ekspektasi, ini akan menandai pemulihan terkuat sejak Februari 2023 yang mencatat laju inflasi 1% yoy.

Perlu diketahui, China itu baru mencatat inflasi lagi pada Oktober sebesar 0,2% yoy, setelah dua bulan mengalami deflasi.

Siap-siap lauching saham IPO!

Lanjut ke pasar domestik, perhatian pasar pekan depan akan fokus pada saham IPO. Pada Senin (8/12/2025) saham IPO emiten produsen minuman sehat dari sarang burung walet, PT Abadi Lestari Indonesia Tbk (RLCO) akan resmi launching di BEI.

Saham RLCO sekaligus jadi yang pertama menerapkan aturan baru terkait penjatahan maksimal 10% untuk ritel dari saham baru emiten yang ditawarkan. Asal tahu saja, hasil-nya untuk RLCO, bagi investor yang antri kurang dari Rp100 juta hanya mendapatkan jatah 1-2 lot saja, sementara yang antri lebih dari Rp100 juta dapat 0,1%-nya.

Setelah RLCO, pasar akan bersiap pada offering data saham IPO PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA) yang akan dimulai pada 10-15 Desember 2025. Biasanya, ketika ramai saham IPO ini, likuiditas di pasar bisa saja mengetat, karena terserap untuk mengantri di saham IPO, apalagi dengan aturan baru yang rasa-nya membuat investor dengan modal "receh" hanya akan menjadi tim 1-2 lot saja.

Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
| | | |