Menanti Keberpihakan Negara terhadap Kesejahteraan Dosen

2 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Baru-baru ini, sekelompok dosen yang tergabung dalam Serikat Pekerja Kampus mengajukan uji materi Undang-Undang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini diambil bukan tanpa alasan. Sejumlah dosen mengaku menerima gaji pokok di bawah upah minimum regional (UMR), bahkan ada yang hanya ratusan ribu rupiah per bulan.

Dalam dokumen permohonan, terungkap dosen dengan jabatan fungsional asisten ahli di beberapa perguruan tinggi swasta digaji Rp560 ribu hingga Rp1,5 juta, sementara UMP dan UMK di daerah yang sama telah berada di kisaran Rp2juta-Rp5 juta. Gugatan ini menjadi sinyal keras bahwa persoalan kesejahteraan dosen telah melampaui isu internal kampus dan beralih menjadi soal konstitusional.

Fakta tersebut bukan kasus terisolasi. Survei nasional terhadap sekitar 1.200 dosen pada 2023 menunjukkan 42,9 persen dosen menerima pendapatan tetap di bawah Rp3 juta per bulan, sementara 53,6 persen hanya memperoleh pendapatan tambahan tidak tetap di bawah Rp1 juta. Padahal, rata-rata UMP nasional saat itu berada di kisaran Rp2,9 juta.

Temuan Kompas pada 2025 juga menggambarkan realitas beban kerja dosen yang nyaris tak mengenal batas, dengan jam kerja yang dapat mencapai hampir 70 jam per minggu. Di tengah tuntutan pengajaran, penelitian, pengabdian, dan administrasi yang berlapis, peningkatan beban kerja tersebut tidak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan yang memadai, terutama bagi dosen muda pada fase awal karier.

Ketimpangan antara beban dan imbalan inilah yang menempatkan negara pada posisi krusial. Ketentuan penghasilan dosen dalam UU Guru dan Dosen yang masih bertumpu pada konsep "kebutuhan hidup minimum" dinilai kehilangan relevansi dalam rezim pengupahan saat ini dan gagal memberikan kepastian upah layak.

Ketika relasi kerja dosen-khususnya di perguruan tinggi swasta-diserahkan sepenuhnya pada mekanisme kontrak dan efisiensi institusi, negara berisiko absen dari tanggung jawab konstitusionalnya. Di sinilah gugatan ke Mahkamah Konstitusi menemukan maknanya: sebagai upaya menagih keberpihakan negara terhadap kesejahteraan dosen, yang pada akhirnya menentukan mutu pendidikan tinggi dan masa depan sumber daya manusia Indonesia.

Hak atas Penghidupan yang Layak
Persoalan gaji dosen pada dasarnya adalah persoalan hak asasi manusia, khususnya hak atas penghidupan yang layak dan imbalan yang adil. Pun, telah Konstitusi menjamin bahwa setiap orang berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dosen, sebagai pekerja intelektual sekaligus penopang sistem pendidikan tinggi, semestinya memperoleh perlindungan yang lebih kuat, bukan justru berada di bawah standar upah minimum yang ditetapkan negara sendiri.

Dalam praktiknya, relasi kerja dosen-terutama di perguruan tinggi swasta-berlangsung dalam posisi tawar yang timpang. Ketentuan pengupahan yang diserahkan pada perjanjian kerja sering kali menempatkan dosen pada pilihan semu: menerima upah rendah atau kehilangan pekerjaan.

Dari perspektif HAM, negara sejatinya tidak dapat berlindung di balik dalih kebebasan berkontrak ketika ketimpangan struktural ini nyata dan berulang. Justru di titik inilah kewajiban negara untuk melindungi menjadi relevan.

Ketika negara gagal memastikan standar upah layak bagi dosen, dampaknya melampaui individu dan menyentuh kepentingan publik yang lebih luas. Kesejahteraan dosen berkaitan langsung dengan kualitas pendidikan tinggi, keberlanjutan riset, dan pembentukan sumber daya manusia.

Negara, Upah Layak, dan Keadilan Sosial
Persoalan gaji dosen pun sejatinya dapat dibaca melalui kerangka keadilan sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk bekerja serta memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak.

Jaminan ini menempatkan negara bukan sekadar sebagai regulator netral, melainkan sebagai aktor aktif yang wajib memastikan distribusi keadilan dalam hubungan kerja. Ketika dosen-sebagai profesi strategis-digaji di bawah standar minimum yang ditetapkan negara sendiri, maka prinsip keadilan sosial kehilangan makna operasionalnya.

Dalam teori negara kesejahteraan (welfare state), negara diposisikan sebagai penyeimbang atas kegagalan pasar dan ketimpangan struktural. Relasi kerja dosen di perguruan tinggi, terutama swasta, memperlihatkan karakter klasik kegagalan pasar: asimetri informasi, ketimpangan posisi tawar, dan tekanan efisiensi yang menekan upah.

Jika negara membiarkan mekanisme tersebut berjalan tanpa intervensi normatif yang memadai, maka negara secara sadar melepaskan fungsi korektifnya dan menyerahkan kesejahteraan dosen pada logika pasar pendidikan yang tidak selalu adil.

Maka, uji materi UU Guru dan Dosen di Mahkamah Konstitusi dapat dibaca sebagai upaya menghidupkan kembali mandat keadilan sosial dalam kebijakan pendidikan tinggi. Keputusan yang berpihak pada standar upah layak bukan hanya soal menaikkan gaji dosen, tetapi tentang menegaskan kembali peran negara sebagai penjamin keadilan dalam dunia kerja intelektual.

Tanpa keberpihakan tersebut, pendidikan tinggi berisiko terus berdiri di atas fondasi ketimpangan yang bertentangan dengan cita-cita konstitusi itu sendiri.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |