Mengurai Kebijakan Ekonomi Syariah yang Tumpang Tindih

1 day ago 7

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ekonomi syariah telah masuk dalam Asta Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 sebagai arus utama penguatan ekonomi nasional. Dalam RPJPN, ekonomi syariah diposisikan sebagai salah satu pilar utama dalam mencapai ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Asta Cita juga menekankan pentingnya penguatan lembaga keuangan syariah dan pembentukan infrastruktur ekonomi syariah yang lebih terintegrasi.

Namun, tantangan besar yang dihadapi dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah tumpang tindih kebijakan dan regulasi yang menghambat efektivitas implementasi. Regulasi yang tidak selaras, perbedaan pendekatan antarlembaga, serta kurangnya koordinasi dalam pengelolaan ekonomi syariah menyebabkan peluang besar dalam industri halal dan keuangan syariah belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Dalam artikel ini, beberapa aspek utama yang masih menjadi kendala dalam kebijakan ekonomi syariah akan dikaji lebih dalam, termasuk perundang-undangan, kurikulum pendidikan, serta perencanaan strategis ekonomi syariah oleh berbagai lembaga.

1. Perundang-undangan: Tumpang Tindih Regulasi yang Menghambat Efisiensi
Dalam kebijakan ekonomi syariah, terdapat beberapa regulasi utama yang mengatur sektor ini, diantaranya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Mayoritas undang-undang ini berfokus pada bidang keuangan dan sertifikasi halal, tetapi belum ada regulasi yang yang mengatur ekosistem ekonomi syariah secara menyeluruh, termasuk sektor industri halal non-keuangan seperti pariwisata halal, perdagangan halal, dan bisnis berbasis syariah lainnya.

Di Malaysia, regulasi ekonomi syariah lebih terstruktur dan menyatu dengan regulasi ekonomi umum. Islamic Financial Services Act 2013 (IFSA) misalnya, mengatur berbagai aspek keuangan Islam dalam satu undang-undang, mencakup perbankan, takaful, serta pasar modal syariah.

Selain itu, regulasi halal di Malaysia tidak dibuat secara terpisah tetapi disatukan dalam Akta Perihal Dagangan 2011, yang memastikan bahwa standar halal menjadi bagian dari kebijakan dagang nasional tanpa ada tumpang tindih regulasi antar lembaga.

Studi Kasus di Indonesia: Dampak Regulasi yang Tidak Selaras
Sebagai contoh nyata dari tumpang tindih regulasi di Indonesia, industri makanan halal menghadapi kendala perizinan yang kompleks akibat perbedaan standar antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

MUI sebagai lembaga yang sejak lama mengeluarkan sertifikasi halal memiliki standar tersendiri, sementara BPJPH yang baru dibentuk berdasarkan UU JPH memiliki prosedur sertifikasi yang berbeda. Hal ini menyebabkan ketidakpastian bagi produsen, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dalam mendapatkan sertifikasi halal secara cepat dan efisien.

Selain itu, dalam sektor keuangan syariah, peraturan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkadang tidak sepenuhnya selaras dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Akibatnya, inovasi produk keuangan syariah sering terhambat oleh birokrasi regulasi yang berbelit.

Dalam hal ini, maka diperlukan sebuah harmonisasi regulasi di bawah satu Omnibus Law Ekonomi Syariah yang mengintegrasikan berbagai aturan terkait dalam satu kerangka hukum yang lebih efisien.

Kemudian Penyatuan standar halal di bawah satu lembaga utama dengan prosedur yang lebih sederhana dan lebih cepat bagi pelaku usaha. Serta Peningkatan koordinasi antar lembaga keuangan, terutama OJK, BI, dan Kementerian Keuangan, dalam merumuskan kebijakan perbankan syariah yang lebih terarah dan mendukung pertumbuhan sektor ini.

2. Kurikulum Pendidikan: Ketidakharmonisan dalam Integrasi Ilmu Syariah dan Ilmu Umum
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sama-sama memiliki kewenangan dalam menyusun kurikulum pendidikan. Di madrasah dan sekolah berbasis Islam, kurikulum merdeka diterapkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai agama. Namun, pada level perguruan tinggi, terjadi perbedaan pendekatan dalam pendidikan ilmu ekonomi syariah.

Beberapa perguruan tinggi berbasis keagamaan kini membuka program studi non-keagamaan seperti kedokteran dan teknik, tetapi sering kali mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum. Akibatnya, terjadi dualitas pemahaman antara ilmu agama dan ilmu sekuler, yang berpotensi menghambat penerapan ekonomi syariah secara holistik.

Di negara lain seperti Singapura, sistem pendidikan menggunakan pendekatan berbasis data untuk mengelola kurikulum, di mana evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan efisiensi dan relevansi materi ajar. Sistem ini memungkinkan penyelarasan antara kurikulum berbasis agama dan kurikulum umum secara lebih efektif.

Maka perlu perbaikan dalam Pembuatan standar nasional untuk kurikulum ekonomi syariah di perguruan tinggi yang lebih terintegrasi, dengan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi, keuangan, dan prinsip-prinsip syariah.

Kemudian Evaluasi berkala kurikulum untuk menghindari materi yang tumpang tindih dan memastikan relevansi pendidikan dengan kebutuhan industri halal dan ekonomi syariah. Serta Kolaborasi dengan negara lain dalam pengembangan pendidikan ekonomi syariah, misalnya dengan menjalin kemitraan dengan universitas di Malaysia atau Timur Tengah yang sudah lebih maju dalam pendidikan ekonomi Islam.

3. Masterplan Ekonomi Syariah: Perlu Penyederhanaan dalam Perencanaan dan Implementasi
Di Indonesia terdapat berbagai dokumen perencanaan ekonomi syariah yang disusun oleh lembaga berbeda, seperti Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 (Bappenas), Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2025-2029 (KNEKS), dan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027 (OJK).

Banyaknya perencanaan strategis ini sering kali menyebabkan ego sektoral antar lembaga, yang menghambat implementasi kebijakan ekonomi syariah secara efektif.

Maka perlu Penyusunan satu masterplan ekonomi syariah nasional yang dikoordinasikan langsung oleh Kementerian Koordinator dan dievaluasi secara berkala dalam Sidang Kabinet. Kemudian Peningkatan peran sektor swasta dalam perencanaan ekonomi syariah, agar kebijakan lebih sesuai dengan kebutuhan industri dan pelaku usaha.

Tumpang tindih kebijakan ekonomi syariah di Indonesia masih menjadi kendala besar dalam pengembangannya. Dengan melakukan harmonisasi regulasi, penyelarasan kurikulum, serta penyederhanaan perencanaan strategis, ekonomi syariah di Indonesia dapat lebih berkembang dan memiliki daya saing global.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |