Jakarta, CNBC Indonesia - China diketahui tengah menghadapi tantangan demografis, dimana terdapat ketimpangan jumlah gender yang signifikan antara pria dan perempuan. Diperkirakan terdapat sekitar 30 juta lebih banyak pria dibandingkan perempuan di negara tersebut.
Dengan kondisi seperti ini, peluang mereka untuk menemukan pasangan, apalagi istri sangatlah kecil. Di sisi lain, banyak dari mereka merasakan tekanan untuk segera menikah.
Lebih parahnya lagi, jika mereka berasal dari kelas sosial bawah, peluang itu semakin minim. Hal itu diungkapkan oleh Hao, seorang pelatih kencan di China yang telah menangani lebih dari 3.000 klien.
"Sebagian besar dari mereka berasal dari kelas pekerja, mereka yang paling kecil kemungkinannya untuk mendapat istri," ujarnya dikutip dari bbc.com, Sabtu (21/6/2025).
Hal ini terlihat langsung dalam film dokumenter The Dating Game karya Violet Du Feng, yang mengikuti Hao dan tiga kliennya selama kamp kencan selama seminggu. Semua peserta, termasuk Hao sendiri, berasal dari latar belakang desa dan miskin. Mereka adalah generasi yang tumbuh setelah tahun 1990-an di China, ketika banyak orang tua harus meninggalkan anak balita mereka untuk bekerja di kota.
Kini mereka telah dewasa, dan mencoba peruntungan ke kota demi mencari istri dan meningkatkan status sosial. Du Feng, yang kini tinggal di AS, ingin filmnya menggambarkan realitas hidup generasi muda di kampung halamannya.
"Di masa ketika ketimpangan gender sangat ekstrem, terutama di China, ini tentang bagaimana kita bisa menjembatani jurang itu dan menciptakan dialog," katanya.
Tiga klien Hao yakni Li (24), Wu (27), dan Zhou (36) adalah korban kebijakan satu anak China. Kebijakan ini diberlakukan pada tahun 1980 ketika populasi mendekati satu miliar jiwa, demi mencegah ledakan penduduk yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Foto: Seorang pria menggendong seorang anak di sebuah pusat perbelanjaan di Beijing, 30 Desember 2023. Populasi Tiongkok turun 2 juta orang pada tahun 2023, penurunan tahunan kedua berturut-turut seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan melonjaknya angka kematian. (AP/Ng Han Guan)
Seorang pria menggendong seorang anak di sebuah pusat perbelanjaan di Beijing, 30 Desember 2023. Populasi Tiongkok turun 2 juta orang pada tahun 2023, penurunan tahunan kedua berturut-turut seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan melonjaknya angka kematian. (AP Photo/Ng Han Guan)
Namun, karena budaya yang lebih menyukai anak laki-laki, banyak bayi perempuan yang akhirnya ditelantarkan, dikirim ke panti asuhan, mengalami aborsi selektif, atau bahkan dibunuh. Hasilnya adalah ketimpangan gender besar yang terjadi hingga saat ini.
China kini sangat khawatir dengan angka kelahiran yang merosot dan populasi menua, sehingga kebijakan satu anak dihapus pada tahun 2016, dan pemerintah rutin menggelar acara perjodohan.
Wu, Li, dan Zhou berharap Hao bisa membantu mereka setidaknya mendapatkan pacar. Hao merupakan sosok panutan bagi mereka karena telah sukses menikah dengan Wen yang juga seorang pelatih kencan.
Para pria ini rela di permak penampilannya oleh Hao, termasuk potong rambut, sambil diajari teknik-teknik kencan baik daring maupun tatap muka yang cukup kontroversial.
Namun meski semua berusaha keras, tak semuanya berjalan sesuai rencana. Hao membangun citra online untuk masing-masing pria, tapi kadang berlebihan dalam menggambarkan diri mereka. Zhou merasa ini "palsu".
"Aku merasa bersalah telah menipu orang lain," katanya, tampak tidak nyaman menjadi sosok yang tak sesuai dengan kenyataan.
Du Feng menilai ini adalah masalah yang lebih luas. "Ini memang cerita unik dari China, tapi juga cerita universal tentang bagaimana di dunia digital ini kita semua berjuang dengan harga dari bersikap palsu, dan beban yang harus kita bayar untuk bisa tampil jujur dan otentik," ujarnya.
Hao mungkin adalah salah satu pelatih kencan paling populer di China, tapi sang istri pun mempertanyakan beberapa metodenya. Namun Hao tetap semangat, bahkan menyemprotkan deodoran ke ketiak kliennya sambil berseru, "Saatnya tampil!"
Mereka pun harus mencoba mendekati perempuan di pusat perbelanjaan malam yang ramai di Chongqing, salah satu kota terbesar di dunia.
Sungguh terasa canggung ketika mereka mencoba mengajak perempuan bertukar kontak lewat aplikasi pesan WeChat. Namun setidaknya, latihan ini membantu mereka menggali rasa percaya diri yang selama ini tersembunyi.
Dr Zheng Mu dari Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura mengatakan kepada BBC bahwa tekanan untuk menikah sangat mempengaruhi pria lajang.
"Di China, menikah atau setidaknya memiliki kemampuan finansial dan sosial untuk menjadi suami dan pencari nafkah utama masih dianggap sebagai ekspektasi besar terhadap laki-laki," jelasnya.
"Akibatnya, sulitnya dianggap layak untuk menikah bisa menjadi stigma sosial, menunjukkan bahwa mereka tidak mampu atau pantas, yang berujung pada tekanan mental besar," tambahnya.
Zhou merasa putus asa karena biaya kencan yang mahal, termasuk untuk perantara jodoh, makan malam, hingga pakaian baru. "Pendapatanku cuma US$ 600 (sekitar Rp9 juta'an) per bulan," katanya. "Sekali kencan habis sekitar US$ 300."
"Pada akhirnya, nasib kita ditentukan oleh masyarakat," tambahnya, lalu memutuskan bahwa ia harus "menaikkan status sosial".
(ven/wur)
[Gambas:Video CNBC]