Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan kegiatan tambang rakyat sudah memiliki payung hukum yang jelas. Masyarakat bisa menambang secara legal melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR), tanpa harus khawatir menambang secara ilegal.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menyebutkan mekanisme legalisasi tambang rakyat ini sudah diatur dan tengah berjalan di berbagai daerah. Salah satu yang digencarkan saat ini adalah wilayah Kepulauan Bangka Belitung (Babel) khususnya pada komoditas timah.
"Tambang yang ilegal itu pendekatannya adalah normalisasi. Normalisasi itu artinya kita tertibkan, berizin, melalui mekanisme yang tadi, IPR," ujar Tri dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia Special Road to Hari Tambang dan Energi 2025, dikutip Selasa (21/10/2025).
Pada dasarnya, konsep IPR di sektor pertambangan sebenarnya mirip dengan sumur rakyat di industri minyak. "Kalau sumur rakyat itu sebetulnya equal kalau di industri pertambangan itu adalah IPR, Izin Pertambangan Rakyat," katanya.
Dia menjelaskan, mekanisme pemberian IPR sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Prosesnya dimulai dari tingkat daerah, di mana gubernur mengajukan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) kepada Menteri ESDM. Setelah WP ditetapkan, di dalamnya akan ditentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang nantinya bisa dikelola oleh masyarakat.
"Pada saat ini sedang berproses untuk penetapan WP di tahun 2025. Di dalam WP itu ada WPR-nya," terangnya.
Setelah WPR ditetapkan, pemerintah daerah akan menyusun dokumen pengelolaan WPR, yang menjadi dasar bagi gubernur untuk memberikan izin IPR kepada koperasi atau perorangan. Berbeda dengan tambang komersial, pemegang IPR tidak membayar royalti kepada negara, melainkan menyetor Iuran Pertambangan Rakyat (IPRA) yang besarannya ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda).
"Mereka menjual secara bebas, mereka tidak membayar royalti tetapi menyetor IPRA atau Iuran Pertambangan Rakyat yang ditetapkan oleh Gubernur melalui Perda di setiap daerah masing-masing," paparnya.
Adapun, besaran IPRA di tiap provinsi bisa berbeda, tergantung pada jenis komoditas dan kebijakan daerah. Sayangnya, beberapa daerah masih menghadapi kendala karena belum memiliki perda yang mengatur IPRA atau karena lokasi WPR tidak sesuai dengan persebaran masyarakat penambang.
Meski begitu, Tri optimis program tersebut akan memperkuat legalitas tambang rakyat dan sekaligus menekan sebaran pertambangan tanpa izin di Indonesia. Kebijakan itu dinilai sebagai langkah pemerintah dalam menata tambang rakyat agar tidak lagi beroperasi tanpa izin.
"Harapannya, dengan IPR yang banyak yang terbit, terus kemudian kita lakukan pembinaan di aspek teknis dan lingkungan, ini nantinya tambang yang terkait dengan IPR ini betul-betul bisa kita kurangi jumlahnya," tandasnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]