Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Perundingan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat pada 17 April 2025 telah gagal mencapai kesepakatan. Namun, kedua belah pihak setuju untuk melanjutkan negosiasi dengan batas waktu sebelum 9 Juli 2025 ketika tarif resiprokal resmi diberlakukan.
Dalam pembicaraan tersebut, Indonesia tidak memasukkan rencana akuisisi sistem senjata buatan Amerika Serikat dalam proposal yang ditawarkan kepada Amerika Serikat. Padahal Kementerian Pertahanan sudah mengajukan daftar belanja sistem senjata yang terdiri atas puluhan item kepada Kementerian Perdagangan.
Menurut sejumlah sumber, Kementerian Perdagangan mengakomodasi belasan item dalam usulan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Akan tetapi prakarsa itu tidak difasilitasi oleh pihak terakhir yang disebut dalam proposal yang diajukan kepada Washington.
Pascakegagalan negosiasi dagang di Washington, Presiden Prabowo Subianto memberikan arahkan kepada Kementerian Pertahanan untuk memberikan prioritas utama pengadaan sistem senjata buatan Amerika Serikat pada periode pembangunan kekuatan pertahanan 2025-2029.
Merupakan fakta bahwa akuisisi sistem senjata dapat menjadi nilai pengurangan surplus perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat sepanjang paket pengadaan mencakup major weapon systems seperti pesawat tempur dan pesawat AEW&C.
Sebagai ilustrasi, pengadaan dua skadron jet tempur sekaligus diperkirakan akan bernilai sekitar US$10 miliar, di mana angka tersebut sudah termasuk paket peralatan tambahan dan bermacam suku cadang. Akan tetapi pada sisi lain, nilai pembelian mesin perang baru akan tercatat dalam neraca dagang apabila barang telah diserahkan kepada pembeli dan atau pembayaran sudah dilunasi.
Sampai saat ini, Dewan Pertahanan Nasional (DPN) belum bersidang untuk membahas tentang rencana kebutuhan sistem senjata yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN). Peran DPN memang cukup strategis dalam pengadaan sistem senjata di Kementerian Pertahanan, sebab institusi tersebut memiliki kewenangan dalam memberikan pertimbangan dan solusi kebijakan yang terkait dengan pertahanan.
Apabila DPN telah menyepakati rencana kebutuhan sistem senjata yang dibiayai oleh PLN dan PDN usulan Kementerian Pertahanan, menjadi kewajiban pihak yang terakhir disebut untuk mengusulkan rencana itu kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk dimasukkan ke dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 dan Daftar Kegiatan Pinjaman Dalam Negeri Jangka Menengah (DKPDN-JM) 2025-2029.
Selama 10 tahun terakhir, Jakarta tidak banyak melakukan belanja sistem senjata dengan nilai signifikan ke Washington di mana akuisisi lima C-130J senilai US$500 juta tercatat sebagai satu-satunya pembelian besar. Sebaliknya, pengadaan besar sistem senjata justru terjadi pada periode 2009-2014 di periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pengadaan helikopter serang AH-64E dan penempur F-16 EDA yang diregenerasi.
Sejak embargo dicabut pada 2005, Amerika Serikat memang bukan tempat prioritas bagi Indonesia untuk akuisisi sistem senjata karena beberapa alasan, seperti aturan ekspor yang dinilai lebih ketat dibandingkan dengan beberapa negara Eropa. Sebaliknya, Indonesia lebih suka menggunakan dana PLN guna berbelanja senjata ke Eropa Barat dan Rusia sebelum Rusia dikenai sanksi CAATSA.
Apabila Jakarta memang serius agar belanja pertahanan turut berkontribusi terhadap pengurangan surplus perdagangan dengan Washington, hal demikian harus diterjemahkan dalam kebijakan resmi. Mengingat kondisi fiskal pemerintah saat ini yang sangat terbatas, penerjemahan arahan Presiden Prabowo Subianto terkait prioritas belanja sistem senjata ke Amerika Serikat dalam bentuk kebijakan merupakan pilihan tunggal yang tersedia.
Dengan demikian, sumber daya yang tersedia di antaranya diarahkan untuk belanja pertahanan ke Amerika Serikat sekaligus bagian dari pembangunan kekuatan pertahanan era 2025-2029. Terkait dengan rencana untuk meningkatkan belanja sistem senjata ke Amerika Serikat, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, DRPLN-JM 2025-2029. Aspirasi belanja pertahanan yang lebih besar ke Amerika Serikat harus tercermin dalam DRPLN-JM 2025-2029 bagi Kementerian Pertahanan, walaupun sampai saat ini masih terdapat spekulasi kapan dokumen tersebut akan dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Pencantuman program-program belanja sistem senjata buatan Amerika Serikat dalam Blue Book 2025-2029 harus dilakukan sebab dokumen itu menjadi dasar bagi pemerintah untuk menarik PLN. Bagaimanapun juga, ambisi akuisisi sistem senjata harus tetap mengikuti aturan yang berlaku agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Kedua, prioritas alokasi PLN. Sampai saat ini belum diketahui pasti berapa alokasi PLN yang akan dialokasikan kepada Kementerian Pertahanan untuk masa 2025-2029, namun perkiraan kasar berada pada kisaran US$20 miliar. Perkiraan demikian didasarkan pada kondisi fiskal pemerintah dan outlook ekonomi Indonesia yang penuh tantangan setidaknya sampai akhir tahun depan.
Tatkala Amerika Serikat menjadi prioritas belanja pertahanan Indonesia hingga ujung dekade ini, maka alokasi PLN terbesar akan tersedot ke sana mengingat untuk akuisisi 24 F-15EX saja ditaksir sekitar US$10 miliar. Dengan asumsi bahwa alokasi PLN ialah US$20 miliar, maka lebih separuh akan diserap oleh belanja ke Amerika Serikat mengingat Indonesia tidak hanya akan memborong F-15EX saja.
Ketiga, penyesuaian mitra belanja pertahanan. Sebelum isu perang dagang muncul, terdapat kecenderungan kuat bahwa Indonesia akan membelanjakan sebagian besar PLN untuk kurun 2025-2029 ke Turki mengingat negara itu memerlukan suntikan US Dollar yang besar karena kondisi ekonomi yang sejak lama sakit.
Kalau Indonesia serius ingin memberikan prioritas belanja pertahanan ke Amerika Serikat sebagai bagian dari upaya mendapatkan rabat tarif resiprokal, mau tidak mau porsi belanja sistem senjata ke Turki harus dikurangi secara drastis sebab kapasitas fiskal pemerintah sangat terbatas. Data menunjukkan bahwa pada 2023 Amerika Serikat merupakan salah satu dari lima mitra dagang utama Indonesia, sementara Turki bahkan tidak masuk dalam 10 besar.
Pemerintah dituntut untuk rasional dalam menyikapi perang dagang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, di mana saat ini tidak ada ruang fiskal untuk berbelanja sistem senjata ke banyak negara secara simultan. Prioritas belanja pertahanan ke Amerika Serikat apabila dilaksanakan bukan semata karena aspek ekonomi yakni berpotensi mengurangi besaran tarif resiprokal yang dikenakan kepada Indonesia.
Ada pula aspek strategis di mana Amerika Serikat ialah salah satu negara kunci di kawasan Indo Pasifik dari sudut pandang kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia. Begitu juga dengan partisipasi industri pertahanan Indonesia melalui skema kandungan lokal dan offset, di mana skema tersebut diharapkan membantu peningkatan kapasitas industri pertahanan negeri ini.
(miq/miq)