Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak meluncurkan ChatGPT, OpenAI memang berkembang pesat. Namun perusahaan harus menghadapi masalah baru, hanya sedikit orang yang mau berlangganan layanan berbayar.
Perusahaan milik Sam Altman itu memiliki lebih dari 700 juta pengguna selama tiga tahun setelah ChatGPT dirilis. Namun ini tak berarti apa-apa karena hanya sedikit orang yang mau mengeluarkan uang untuk berlangganan.
Studi dari Menlo Ventures mencatat hanya 3% konsumen yang mau membayar langganan layanan AI. Survei pada 5000 pengguna teknologi itu menyebut masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengadopsi AI dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikitnya orang yang mau membayar untuk AI kemungkinan juga berdampak pada OpenAI. Perusahaan diketahui memiliki banyak pekerjaan untuk AI dan butuh uang tak sedikit, belum lagi kerugian yang dialami, OpenAI misalnya harus merugi miliaran dolar setiap tahunnya.
Selama sembilan bulan terakhir, OpenAI mengatakan akan menghabiskan US$60 miliar setahun untuk komputasi Oracle. Sementara bisnis pusat datanya butuh US$18 miliar (Rp 295,4 triliun) dan membeli chip hingga US$10 miliar (Rp 164,1 triliun).
Untuk membiayai itu, Wall Street Journal mengatakan OpenAI perlu ratusan juta orang membayar lebih banyak uang untuk alat dan layanannya, dikutip Sabtu (13/9/2025).
Ke depannya juga tak mudah. Karena kerugian tahunan OpenAI diperkirakan akan terus meningkat.
Altman mengatakan setidaknya perusahaan itu akan merugi hingga 2029 sebesar US$44 miliar (Rp 722,3 triliun). Saat itu baru OpenAI akan menghasilkan laba.
Bukan hanya itu, OpenAI menghadapi masalah lain. Salah satunya mengubah struktur perusahaan dari nirlaba menjadi komersial pernuh.
Wall Street Journal mencatat nasib US$19 miliar (Rp 311,9 triliun) komitmen pendanaan bergantung pada penyelesaian masalah itu.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
ChatGPT Berubah Total, Penciptanya Beri Komen Tak Terduga