Tarif Royalti Nikel Cs Resmi Naik, Ini Reaksi Pengusaha

2 days ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) angkat suara perihal aturan baru kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau royalti sektor mineral dan batu bara (minerba) termasuk nikel dalam negeri.

Memang, Presiden RI Prabowo Subianto sudah mengesahkan aturan baru tersebut melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2025 menggantikan PP No. 26 tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan pihaknya menilai kebijakan baru pemerintah tersebut disahkan pada waktu yang kurang tepat. Meidy mengatakan saat ini komoditas nikel tengah mengalami penurunan harga, sehingga kenaikan royalti nikel dinilai kurang tepat.

"Kenaikan tarif royalti di tengah ketidakpastian ekonomi global dikhawatirkan akan menambah tekanan terhadap industri nikel nasional, baik di hulu maupun di hilir, dan berisiko mengurangi daya saing serta kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional," kata Meidy dalam keterangan tertulis, Rabu (16/4/2025).

Setidaknya, ada empat landasan alasan pihaknya keberatan dengan kebijakan anyar tersebut. Pertama, pihaknya menilai tarif royalti tidak realistis dan progresif.

A worker poses with a handful of nickel ore at the nickel mining factory of PT Vale Tbk, near Sorowako, Indonesia's Sulawesi island, January 8, 2014. REUTERS/Yusuf AhmadFoto: REUTERS/Yusuf Ahmad
A worker poses with a handful of nickel ore at the nickel mining factory of PT Vale Tbk, near Sorowako, Indonesia's Sulawesi island, January 8, 2014. REUTERS/Yusuf Ahmad

"Kenaikan tarif royalti untuk bijih nikel (14-19%) dan produk olahan (FeNi/NPI 5-7%) dinilai tidak mempertimbangkan kondisi riil industri," jabarnya.

Kondisi industri yang dimaksud adalah Harga nikel global terus mengalami penurunan. Kemudian, kondisi biaya operasional melonjak akibat kenaikan harga biosolar B40, upah minimum (UMR +6.5%), PPN 12%, dan kewajiban DHE ekspor 100% selama 12 bulan.

Selain itu, investasi smelter yang padat modal dan resiko tinggi, dengan biaya pembangunan mencapai US$ 1,5-2 miliar per smelter. Hingga dampak dari kenaikan royalti yang dinilai akan menekan margin produksi penambang dan smelter secara signifikan.

Landasan kedua, lanjut Meidy, adalah akumulasi beban kewajiban sektor tambang. Dia mengatakan, saat ini industri menanggung 13 beban kewajiban yang signifikan.

"Termasuk biaya operasional tinggi, pajak dan iuran (PPN 12%, PBB, PNBP PPKH, iuran tetap tahunan), serta kewajiban non-fiskal seperti reklamasi pasca tambang dan rehabilitasi DAS," tambahnya.

Landasan lainnya, Meidy mengungkapkan terdapat dampak terhadap investasi dan daya saing. Dia menilai, kenaikan royalti berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel, menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global, dan memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja.

Landasan terakhir, kata Meidy, kebijakan kenaikan royalti tersebut akan menekan margin produksi yang akan berimplikasi yang memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut signifikan.

"Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang, sehingga secara long-term penerimaan negara justru akan berkurang," tandasnya.


(wur)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Bahlil Umumkan Kenaikan Tarif Royalti Nikel, Emas, Hingga Timah

Next Article Soal Impor Nikel ke Negara Tetangga, ESDM: Tidak Ada Masalah

Read Entire Article
| | | |