Tarif Trump Ternyata Jadi Berkah buat Inggris, Kok Bisa?

5 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) sempat membuat banyak perusahaan hengkang ke benua Eropa. Namun, kebijakan tarif tinggi yang akan diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Uni Eropa justru membuka peluang baru bagi Inggris untuk merebut kembali daya tarik investasinya.

Pada 2016, hasil referendum Brexit membuat banyak perusahaan multinasional memindahkan operasi, investasi, dan tenaga kerja ke kota-kota besar Eropa seperti Frankfurt, Amsterdam, dan Paris. Namun kini, rencana Presiden AS Donald Trump untuk menerapkan tarif 30% terhadap barang dari Uni Eropa mulai 1 Agustus, bisa membalikkan arah arus investasi itu.

"Inggris bisa menjadi pemenang tidak langsung yang besar jika ancaman tarif AS terhadap Uni Eropa benar-benar terjadi," kata mitra dan kepala divisi Jerman di firma akuntansi Lubbock Fine, Alex Altmann, dalam pernyataan kepada CNBC International, dikutip Senin (21/7/2025).

Altmann menilai bahwa kesenjangan tarif antara Inggris dan Uni Eropa bisa menjadi insentif kuat bagi perusahaan-perusahaan untuk mengalihkan manufaktur ke Inggris.

"Jika tarif untuk Uni Eropa mencapai 30%, maka tarif AS yang jauh lebih rendah untuk Inggris akan memberikan insentif besar bagi perusahaan untuk memperluas fasilitas di Inggris," ujarnya.

Altmann, yang juga Wakil Presiden Kamar Dagang Inggris di Jerman, menambahkan bahwa Inggris memiliki "banyak kapasitas manufaktur cadangan pasca-Brexit" yang bisa dimanfaatkan.

Perdagangan Pasca-Brexit

Setelah melalui masa transisi yang penuh ketidakpastian, Inggris kini mulai membentuk ulang hubungan dagang, termasuk dengan AS. London telah menyepakati pemangkasan tarif impor mobil menjadi 10% dan mendapatkan akses tarif rendah untuk baja.

Pemerintahan Partai Buruh di bawah Perdana Menteri Keir Starmer juga telah membangun ulang relasi dagang dengan Uni Eropa, memperbaiki ketegangan yang timbul usai Brexit.

Namun, tantangan masih membayangi. Uni Eropa tetap menjadi mitra dagang terbesar Inggris. Menurut Komisi Eropa, lebih dari 50% perdagangan barang luar negeri Inggris masih melibatkan negara-negara anggota blok tersebut pada 2024.

Eksodus bisnis besar-besaran yang dikhawatirkan tidak sepenuhnya terjadi. Namun sejumlah perusahaan jasa keuangan besar seperti Goldman Sachs dan JPMorgan telah memindahkan sebagian aset dan operasinya ke kota-kota Eropa untuk menghindari hambatan regulasi lintas negara.

Lembaga independen Inggris, Kantor Pertanggungjawaban Anggaran (OBR), memperkirakan ekspor dan impor Inggris dalam jangka panjang akan sekitar 15% lebih rendah dibanding jika tetap menjadi anggota Uni Eropa. Secara keseluruhan, Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris diproyeksikan sekitar 5% lebih rendah akibat Brexit.

Tarif Trump Jadi Peluang Inggris atau Harapan Semu?

Meski Inggris diperkirakan bisa diuntungkan dari ketegangan dagang antara AS dan Uni Eropa, sejumlah analis menilai peluang itu tidak akan datang dalam waktu dekat.

"Pertama-tama, tarif 30% untuk Uni Eropa itu belum pasti," kata Carsten Nickel, Managing Director di firma konsultan Teneo, kepada CNBC. Ia menekankan bahwa potensi relokasi manufaktur dari Eropa ke Inggris akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

"Kalau kita bicara soal pemindahan fasilitas produksi, cakrawala waktunya bisa mencapai beberapa tahun, bahkan mungkin satu dekade," tegas Nickel.

Ia juga mengingatkan bahwa kekuatan ekonomi Inggris bukan pada sektor manufaktur, melainkan jasa keuangan.

"Keunggulan komparatif Inggris bukanlah manufaktur kelas atas. Jadi ide memindahkan produksi dari Jerman atau Swiss ke Inggris bukanlah keputusan bisnis yang bisa diambil begitu saja," pungkasnya.


(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Fenomena Negara Pangkas Anggaran ke Mana-Mana, Inggris Kena

Read Entire Article
| | | |