Jakarta, CNBC Indonesia - Banjir dan tanah longsor kembali melanda Sibolga pada Senin (24/11) dan Selasa (25/11). Arus air yang membawa lumpur, batang pohon, puing bangunan, hingga sampah rumah tangga menyebabkan kerusakan parah dan memutus akses jalan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa bencana semacam ini bukan hal baru bagi Sibolga.
Hampir enam dekade lalu, kota pesisir ini pernah dihantam banjir yang jauh lebih dahsyat. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 22 Juli 1956. Malam itu, warga Sibolga menjalani rutinitas akhir pekan seperti biasa. Ada yang berlibur. Ada pula yang beristirahat di rumah. Namun, di tengah rutinitas itu langit tiba-tiba berubah tanpa peringatan. Gemuruh keras terdengar, disusul hujan dengan intensitas luar biasa.
"Pada Minggu malam, 22 Juli, badai dahsyat tiba-tiba melanda diikuti banjir," tulis Indische courant voor Nederland (30 Juli 1956).
Laporan koran Merdeka (23 Juli 1956) menyebut, hujan memang sudah turun sejak beberapa hari sebelumnya, tetapi masih tergolong ringan. Puncaknya justru terjadi pada malam Minggu. Hujan deras yang menyerupai badai datang mendadak dan menyebabkan sungai meluap dalam waktu amat singkat.
Menurut Indische courant voor Nederland (30 Juli 1956), hanya dalam dua menit air bah menyerbu dua per tiga wilayah kota yang berada di dekat Sungai Aek Habil. Akibatnya, warga tidak memiliki waktu untuk bereaksi.
"Penduduk sama sekali tidak bisa menyelamatkan diri dan harta mereka, kecuali menyerah saja pada keadaan. Setelah pagi hari dijumpai mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan basah kuyub," ujar koran Indonesia Raja (24 Juli 1956).
Sebanyak 38 orang dipastikan tewas seketika. Salah satunya adalah pasangan pengantin baru yang ditemukan meninggal dalam keadaan tertimbun lumpur dan masih mengenakan pakaian pernikahan. Angka korban diperkirakan lebih besar karena banyak laporan anggota keluarga hilang yang diduga hanyut terseret arus.
Saat banjir surut, kehancuran baru terlihat di seluruh kota. Ribuan rumah hancur, jembatan ambruk, jalan-jalan putus, dan akses antar kota lumpuh total. Laporan koran Waspada (25 Juli 1956) menggambarkan kehancuran yang lebih luas. Lahan perkebunan, pertanian, hingga fasilitas air minum warga rusak total. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan menghadapi krisis air bersih serta makanan. Kerugian ditaksir mencapai lebih dari Rp50 juta. Ini jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Pemerintah kemudian menetapkan Sibolga sebagai wilayah darurat militer untuk mempercepat evakuasi dan rehabilitasi. Koran Merdeka (25 Juli 1956) menuliskan bencana ini diduga berasal dari longsoran tanah akibat hujan deras yang menyumbat aliran Sungai Aek Habil dan Aek Doras hingga membuat air meluap seketika.
Setelah kabar bencana meluas, bantuan dari berbagai daerah di Indonesia mengalir deras, termasuk dari tokoh-tokoh nasional yang mengirimkan dana untuk membantu pemulihan. Kini, hampir enam dekade kemudian, bencana serupa kembali terjadi dan menjadi pengingat bahwa wilayah ini masih menyimpan potensi bahaya serupa. Sejarah tersebut tetap relevan dan menjadi alarm penting mengenai urgensi mitigasi bencana.
(mfa/mfa)






























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319082/original/060228700_1755504247-pspr.jpg)









:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5193601/original/089204100_1745233045-Ilustrasi_-_Gerald_Vanenburg_di_Timnas_Indonesia_U-23_copy.jpg)



:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5299361/original/051300000_1753802514-WhatsApp_Image_2025-07-29_at_22.12.07.jpeg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4939096/original/049996300_1725747991-000_36FT7CN.jpg)
