Antara Platform atau Terdampar: Isu Merger Grab-GoTo dan Maroon Theorem

1 day ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada tanggal 20 Mei 2025 lalu, lebih dari 25.000 pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia menghentikan layanan mereka dan turun ke jalan di berbagai kota, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta untuk berdemonstrasi. Di antara berbagai isu, mereka memprotes pemotongan insentif dan rencana merger antara Grab dan GoTo, dua raksasa teknologi yang jika digabungkan akan menguasai sekitar 85% pasar ride-hailing Asia Tenggara senilai $8 miliar, dengan dominasi lebih dari 91% di Indonesia.

Para ojol yang saat ini menghasilkan rata-rata Rp100.000 hingga Rp150.000 untuk 10 jam hingga 12 jam kerja setiap harinya menuntut peningkatan bagi hasil menjadi 90% dari tarif perjalanan. Mereka khawatir bahwa merger ini akan memperburuk kondisi mereka, mengingat pengalaman sebelumnya setelah merger Gojek dan Tokopedia pada tahun 2021 yang menyebabkan penurunan insentif secara signifikan.

Situasi ini mencerminkan ketegangan yang terasa antara pemangku kepentingan bisnis platform digital dan para pekerja gig economy yang menjadi pelaksana kunci dalam bisnisnya. Dengan potensi merger yang semakin dekat, sebuah pertanyaan besar muncul: apakah kepentingan performa bisnis akan mengorbankan hak dan kesejahteraan para pekerja di lapangan?

Maroon Theorem
Jika kita coba bertukar jaket dengan seorang driver ojol yang sudah lama berpengalaman, kita akan sadar bahwa terdapat kontras yang masih terasa antara
sekarang dengan masa-masa sebelum tahun 2021. Pada masa itu, jika seorang ojol menyelesaikan delapan pengantaran, ia bisa membawa pulang Rp30.000 dalam bentuk insentif. Jika mencapai 15 pengantaran, bonusnya naik ke Rp100.000.

Setelah Gojek dan Tokopedia merger menjadi GoTo, untuk delapan pengantaran, ojol hanya mendapat Rp8.000 (penurunan 73%) dan untuk 15 pengantaran hanya Rp37.500 (penurunan 62,5%). Penurunan ini bukan sebatas angka persentase, melainkan uang belanja dan potensi konsumsi para pengemudi ojol yang menguap setelah merger.

Kini, dengan bayang-bayang merger Grab-GoTo yang semakin dekat, para ojol berpotensi menghadapi realitas baru yang semakin sulit. Sayangnya, dalam ekonomi Indonesia hari ini dengan indeks PMI manufaktur yang merosot ke angka 46,7 dan tren penutupan operasi pabrik, pekerjaan informal seperti keterlibatan dalam gig economy menjadi satu-satunya pintu masuk ke dunia kerja bagi banyak orang. Dengan begitu, pilihan pengemudi online tak lain antara dua hal: pasrah di bawah kekuasaan platform atau terdampar di luarnya.

Fenomena 'terdamparʼ ini pernah diteliti oleh tiga ekonom Amerika Serikat, yakni Kaushik Basu, Aviv Caspi, dan Robert Hockett. Pada tahun 2021, dalam jurnal Capitalism & Society milik Columbia University, mereka memperkenalkan kerangka maroon theorem untuk menjelaskan fenomena para pekerja digital yang 'terdamparʼ secara ekonomi karena tak punya opsi selain platform besar yang menjadikan mereka mitra.

Kata maroon dalam maroon theorem sendiri merujuk kepada fenomena di zaman bajak laut. Awak kapal yang membelot biasanya ditinggalkan di pulau terpencil di tengah lautan sebagai bentuk hukuman dalam sebuah proses yang disebut marooning. Keadaan terdampar inilah yang juga dirasakan oleh para ojol yang memilih 'membelotʼ dengan cara tak ikut serta lagi dalam hubungan kemitraan dengan platform digital.

Dalam makalahnya, Basu dan kolega menarik simpulan dari rekam jejak Uber, perusahaan ride-hailing yang besar di Amerika Serikat. Dari kasus ini, mereka temukan bahwa ketika sebuah pasar layanan transportasi mulai beroperasi melalui platform digital, terjadi efisiensi signifikan dalam pencocokan antara permintaan dengan penawaran.

Pertama, konsumen tidak lagi perlu susah-susah mencari layanan transportasi secara manual. Kedua, pengemudi tidak lagi perlu mengitari kota tanpa arah untuk mencari konsumen. Kendati demikian, semakin besar platform digital yang memfasilitasi kegiatan ekonomi ini, akan semakin tinggi pula biaya atau kesulitan yang harus ditanggung oleh siapapun yang mencoba beroperasi di luar platform tersebut. Itulah marooning.

Dengan kata lain, semakin dominan sebuah platform, semakin besar insentif (atau bahkan keharusan) bagi aktor pasar untuk bergabung dengannya, karena tidak ada alternatif yang memadai. Mereka yang berada di luar platform akan 'terdamparʼ: kehilangan akses terhadap pasar, pelanggan, dan penghidupan mereka.

Untuk memperoleh posisi dominan, banyak perusahaan raksasa digital rela merugi di awal dalam jumlah besar demi mendapatkan pangsa pasar. Contohnya, Uber mencatat kerugian besar di China untuk bersaing dengan Didi dan Amazon mengalami kerugian miliaran dolar selama tujuh tahun pertamanya. Begitu platform mencapai skala yang sangat besar, bargaining position para pekerja dan pengguna platform akan menurun.

Sebaliknya, mereka mulai ketergantungan. Dalam kondisi ini, platform dapat menurunkan insentif mitra ataupun menaikkan biaya penggunaan, dan para pengguna tetap akan bertahan karena tidak ada pilihan lain. Inilah Parfitʼs paradox: setiap individu bergabung dengan platform demi bertahan hidup, tetapi secara kolektif mereka justru kehilangan daya tawar.

Dalam konteks gig economy dan merger besar seperti yang dikabarkan akan terjadi pada Grab-GoTo, maroon theorem menunjukkan bahwa platform tak berperan sebatas sebagai alat efisiensi digital, melainkan juga merupakan pelaku ekonomi yang menciptakan ketergantungan dan memusatkan kekuasaan pasar, dengan implikasi besar bagi kesejahteraan pekerja (atau produsen) dan konsumennya.

Tanpa kompetisi yang berarti, Grab-GoTo pascamerger berpotensi menjadi platform yang bisa seenaknya menaikkan komisi atau menurunkan insentif. Toh, ke mana lagi para pengemudi bisa pergi?

Tantangan Regulator
Salah satu kesulitan besar yang dihadapi para regulator dalam menyikapi kasus seperti merger ini adalah kesulitan dalam mendefinisikan platform digital. Menjadi sulit bagi kerangka hukum yang ada untuk mengejar kompleksitas dan kecepatan ekspansi dari platform tersebut.

GoTo, misalnya, bukan sekadar layanan transportasi daring. Ia merupakan konglomerat digital yang menggabungkan ride-hailing, pengantaran makanan, layanan keuangan, hingga e-commerce.

Ekosistem ini menjadi semakin "vertikalˮ, dengan segala kebutuhan pengguna dikendalikan dalam satu rantai yang terintegrasi, yang diberi istilah vertically serrated
industries oleh Basu dan rekan-rekannya. Artinya, berbagai layanan yang sebelumnya berdiri sendiri dan saling bersaing kini berada dalam satu rantai kontrol yang sama.

Ruang gerak para platform digital semakin besar, tetapi juga merupakan ruang tertutup tanpa kompetisi antarpelaku. Akibatnya, bukan hanya kompetitor yang kehilangan tempat berpijak, tetapi juga para regulator, sebab struktur vertikal ini sulit didefinisikan dalam aturan antimonopoli konvensional.

Jika Amerika Serikat memiliki antitrust laws seperti Sherman Act untuk mencegah dominasi pasar, Indonesia mengandalkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Saat ini, perkembangan dari merger Goto-Grab masih dipantau oleh KPPU untuk mengidentifikasi dampak-dampak yang memungkinkan, meski belum bisa dilakukan
penilaian resmi sebelum menerima notifikasi formal dari kedua perusahaan tersebut. Hal ini sesuai dengan mekanisme mandatory post-merger notification yang diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2023 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Terlepas dari hasil kasus ini secara khusus, merger GoTo-Grab menggarisbawahi suatu masalah fundamental dalam meregulasi platform digital ke depannya. Masih terdapat pertanyaan besar yang perlu disoroti oleh para pembuat kebijakan: apakah kebijakan yang ada saat ini cukup kuat untuk mengimbangi kekuatan besar yang dimiliki platform digital yang cenderung menjadi monopoli secara alami?

Diskursus saat ini seharusnya tidak hanya reaksioner terhadap kasus hukum persaingan yang ada, tetapi soal bagaimana negara melindungi struktur pasar yang sehat di era platform. Beberapa solusi yang diusulkan oleh Basu dan rekan-rekannya sepatutnya masuk radar publik. Di antaranya, terdapat opsi model utilitas publik, yang memperlakukan platform seperti Grab-GoTo layaknya PLN atau PDAM, dengan tarif yang diatur dan jaminan kesejahteraan pekerja, atau bahkan nasionalisasi terbatas, sebab platform betul-betul sudah berfungsi sebagai infrastruktur publik esensial yang serupa dengan jalan tol atau bandara yang dikelola demi kepentingan umum.

Beberapa tahun yang lalu, GoTo pun telah cukup inovatif dalam menerapkan program Saham Gotong Royong, yakni konsep dispersed shareholding dengan pembagian saham bagi para pengemudi saat penawaran umum saham perdana IPO. Inovasi seperti ini seharusnya tak terbatas pada altruisme para platform digital, melainkan menjadi bagian dari diskursus para regulator dalam pengembangan kerangka hukum untuk menghadapi para raksasa digital.

Basu dan koleganya memberikan peringatan penting bahwa tanpa pendefinisian yang tajam dan tanpa kerangka hukum yang dapat melindungi hak kolektif para pelaku individu, kita hanya mengulang kisah eksploitasi tenaga kerja dari era Revolusi Industri. Merger Grab-GoTo mungkin hanya satu gelembung di permukaan masalah yang lebih besar, yakni kerangka regulasi yang lamban menghadapi kekuatan pasar yang semakin kompleks dan tidak kasatmata.

Jika kita tidak segera menata ulang kerangka regulasi untuk platform digital hari ini, mungkin di masa depan tidak hanya ojol yang akan "terdamparˮ: kita semua
bisa ikut tenggelam.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |