Arthur Laffer: Indonesia Bisa Jadi Negara Maju, Asal Berani Reformasi

1 day ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia-  Di tengah ketidakpastian global dan riuhnya perang dagang, suara Arthur B. Laffer, ekonom legendaris Amerika Serikat dan mantan penasihat Presiden Ronald Reagan, kembali menggema.

Dalam wawancara eksklusif bersama CNBC Indonesia, Laffer menyampaikan pandangan tajam dan strategi konkret bagi Indonesia untuk mewujudkan ambisinya menjadi negara maju.

Sebagai pencetus teori Laffer Curve, Laffer menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak bisa dicapai hanya melalui redistribusi kekayaan. Sebaliknya, ia mendorong pendekatan berbasis supply-side economics-sebuah filosofi yang menekankan pentingnya insentif, produktivitas, dan ruang bagi sektor riil untuk tumbuh dari bawah ke atas.

Tabel Doktor Laffer. (Dok. Dr. Arthur B. Laffer)Foto: Tabel Doktor Laffer. (Dok. Dr. Arthur B. Laffer)
Tabel Doktor Laffer. (Dok. Dr. Arthur B. Laffer)

Teori Laffer Curve, yang pertama kali ia gambar di atas selembar serbet restoran, menyatakan bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi justru dapat menurunkan penerimaan negara karena mendorong penghindaran pajak.

Prinsip ini menjadi fondasi dua kebijakan besar era Reagan: Economic Recovery Act 1981 dan Tax Reform Act 1986. Hasilnya, AS mencatat penciptaan 20 juta lapangan kerja baru, penurunan pengangguran dari 7,6% ke 5,5%, dan pertumbuhan Produk Nasional Bruto Riil sebesar 26%.

Namun, Laffer juga tidak menutup mata terhadap risiko. Eksperimen serupa di Kansas pada 2012-2013 justru berujung pada penurunan penerimaan dan pertumbuhan yang lesu. Ia mengingatkan bahwa reformasi harus berbasis data dan konteks.

"Pajak bukan segalanya," ujarnya. "Tapi jika salah kelola, bisa jadi bumerang."

Resep untuk Indonesia: Reformasi Lima Pilar

Menurut Laffer, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Namun, untuk mencapainya, dibutuhkan reformasi menyeluruh di lima pilar kebijakan makroekonomi: perpajakan, belanja pemerintah, kebijakan moneter, regulasi, dan perdagangan.

Ia menyoroti sistem perpajakan Indonesia yang masih sempit dan bertingkat. Solusinya? Pajak yang flat, rendah, dan berbasis luas.

"Kalau tarifnya tinggi, orang akan cari jalan untuk kabur," tegasnya.

Sebagai contoh, ia menyoroti kebijakan cukai hasil tembakau. Sejak 2022, tarif cukai naik rata-rata 10% per tahun. Namun, alih-alih meningkatkan penerimaan, justru terjadi lonjakan konsumsi rokok ilegal.

"Jika terlalu tinggi, hasilnya justru penyelundupan dan produk ilegal," ujarnya.

Ia merekomendasikan peralihan dari sistem pajak ad valorem ke pajak spesifik, serta menjaga tarif dalam batas rasional agar tidak membunuh sumber penerimaan negara itu sendiri.

Menurut Badiul Hadi dari Seknas FITRA kepada CNBC Indonesia, fenomena ini bisa menjadi indikasi bahwa Indonesia mulai melewati titik optimal Kurva Laffer. Konsumen beralih ke produk murah dan ilegal yang tidak menyumbang penerimaan negara.

Laffer juga menyoroti pentingnya deregulasi dan peran negara yang lebih melayani ketimbang mendominasi. Ia mendukung langkah Presiden Prabowo dalam melonggarkan aturan konten lokal (TKDN) untuk menarik investasi asing, serta mendorong privatisasi BUMN agar lebih efisien dan kompetitif.

Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan reformasi sangat bergantung pada kepercayaan publik. "Orang akan bayar pajak kalau mereka percaya uangnya dikelola dengan jujur. Kalau tidak, mereka akan merasa dirampok," katanya.

Momentum Global, Peluang Strategis untuk RI

Di tengah mencairnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, Laffer melihat peluang strategis yang tak boleh disia-siakan oleh negara-negara berkembang, terutama Indonesia. Kesepakatan penurunan tarif antara dua kekuatan ekonomi dunia, dari 145% ke 30% untuk AS dan dari 125% ke 10% untuk China, menurutnya bukan sekadar angka, melainkan sinyal terbukanya era baru dalam perdagangan global.

Bagi Indonesia, ini adalah momen untuk memperluas akses pasar, memperkuat posisi dalam rantai pasok internasional, dan menarik investasi yang selama ini tertahan oleh ketidakpastian geopolitik.

Namun, Laffer juga menyadari bahwa pertumbuhan yang cepat harus dibarengi dengan inklusivitas. Menanggapi kekhawatiran bahwa reformasi berbasis supply-side dapat memperlebar ketimpangan, ia menjawab dengan prinsip yang sederhana namun kuat:

"Tujuan kita bukan meratakan kekayaan dengan memiskinkan yang kaya, tapi menciptakan pekerjaan produktif untuk yang miskin. Naikkan semua kapal dengan pasang naik."

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Dengan populasi besar, sumber daya melimpah, dan pasar domestik yang kuat, Indonesia berpotensi menjadi jangkar pertumbuhan kawasan-asal mampu memanfaatkan momentum global dan melakukan reformasi dari dalam.

"Indonesia adalah negara besar yang memberikan dampak signifikan bagi dunia. Jika sistem perdagangan bebas berjalan baik, Indonesia bisa menjadi kontributor besar bagi kemakmuran global," ujarnya.

Dengan seluruh diagnosis dan resep ekonomi yang ia sodorkan, benang merahnya jelas: Indonesia bisa menjadi negara maju-jika berani melakukan reformasi struktural yang menyeluruh dan konsisten.

"Indonesia bisa jadi negara kaya seperti AS, tapi bukan dengan meniru AS saat sudah kaya. Tiru AS sebelum punya pajak penghasilan," pungkasnya.

CNBC Indonesia Research
[email protected]

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |