Bukan Beras, Ketahanan Pangan Takkan Bisa Terwujud Tanpa Ini

7 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB, Retno Marsudi, menyoroti persoalan air dalam kaitannya dengan ketahanan pangan dunia. Dia menekankan bahwa air memegang peran penting dalam sistem pangan dan pertanian.

"Pada saat kita berbicara mengenai ketahanan pangan, maka tidak dapat dihindari bahwa kita harus berbicara terlebih dahulu mengenai ketahanan air. Karena nexusnya (hubungannya) sangat dekat," kata Retno dalam KAGAMA Leaders Forum di Kantor Berita RRI, Jakarta, Kamis (17/7/2025).

Retno memaparkan data, 72% air tawar dunia digunakan untuk pertanian. Ia juga mencontohkan besarnya konsumsi air untuk produksi pangan.

"Pada saat kita makan nasi, 1 kilo gram (kg) beras memerlukan 2.500 liter air dalam setahun, dan untuk 1 kg jagung diperlukan 900 liter air. Dengan kata lain, diperlukan air yang sangat banyak untuk memproduksi pangan," jelasnya.

Dengan kebutuhan yang begitu besar, ia pun mempertanyakan kesiapan dunia dalam menyediakan air.

"Nah, pada saat kita tahu bahwa ketergantungan pangan terhadap air begitu besar, pertanyaannya adalah bagaimana kondisi air dunia saat ini? sehingga dapat memberikan dukungan terhadap upaya para pemerintah dunia mengenai ketahanan pangan," ucap dia.

Retno menyayangkan, dunia saat ini tengah menghadapi krisis air.

"It is very unfortunate bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis air. Tantangan terbesar ada tiga, kebanyakan air jadi banjir, terlalu sedikit jadi kekeringan, dan terlalu politik. Ini adalah tiga tantangan terbesar air yang dihadapi oleh dunia," terang Retno.

Ia mengungkapkan, satu dari empat orang di dunia sudah menghadapi kekeringan atau kekurangan air.

"Pada 2050 nanti, perkiraan para saintis mengatakan bahwa kekeringan diperkirakan akan berdampak terhadap 3/4 penduduk dunia. Itu sangat banyak," sambungnya.

Selain itu, penduduk dunia juga diperkirakan akan melonjak menjadi 10 miliar pada tahun 2050.

"Dan di tahun 2050 juga, penduduk dunia diperkirakan akan menjadi 10 miliar, kebutuhan pangan akan meningkat 50%, kebutuhan fresh water akan meningkat 30%. Perubahan iklim memperburuk semua tantangan yang dihadapi oleh air saat ini," tuturnya.

Di sisi lain, Retno juga menyoroti tantangan dalam pembangunan infrastruktur air. Katanya, menurut data Bank Dunia, kantong pemerintah untuk mendanai infrastruktur air hanya 1,2% dari total belanja publik. Sementara dari sumber pendanaan yang selama ini terjadi untuk infrastruktur air, 90% masih dikeluarkan dari dana pemerintah, dan partisipasi swasta untuk membangun infrastruktur air baru 2%.

Ia menyebut perlunya kolaborasi dan kemitraan untuk menjawab tantangan ini.

"Jadi dengan gambaran ini kita juga tahu bahwa ada tantangan dari sisi financing, supporting financing karena begitu dominannya uang pemerintah, padahal uang pemerintah juga terbatas. Oleh karena itu, selanjutnya yang kita bahas antara lain di dalam konferensi PBB mengenai air adalah bagaimana sebuah kemitraan ini bisa dapat terwujud untuk mendukung ketahanan air," jelasnya.

Retno pun mengajak semua pihak untuk bertindak tegas.

"Pertanyaannya adalah, apa yang dapat kita lakukan saat ini? Pertama, business as usual sudah tidak mungkin kita lakukan lagi. Kita harus bertindak tegas. Karena produksi pangan tergantung air, maka pendekatan yang seimbang antara air dan pangan harus diambil," kata dia.

Ia mendorong transformasi sistem pangan. Di mana percepatan transformasi sistem agri-food diperlukan, sehingga menjadi lebih efisien, lebih inklusif, lebih resilient, dan lebih sustainable.

Poin yang kedua, Retno menilai perlu penerapan prinsip produce more with less, yaitu menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit. Dalam konteks pertanian, hal ini berarti mendorong peningkatan hasil panen atau yield dengan penggunaan air yang lebih efisien. Tujuannya agar produktivitas tetap tinggi tanpa membebani ketersediaan air yang semakin terbatas.

Dia menegaskan, pendekatan berbasis air harus jadi inti sistem pangan.

"Karena tadi, 72% fresh water dunia terserap untuk agriculture. Artinya kita harus menerapkan integrated water resources management approaches dan juga solusi inovatif lainnya," ujarnya.

"Maka pendekatan responsif air memang mau tidak mau harus diletakkan di jantung sistem pertanian dan pangan. Itu memang tidak bisa diingkari dan sebuah political will sangat diperlukan, koordinasi lintas sektoral, koherensi kebijakan di semua tingkatan dan sebagainya," imbuh dia.

Retno juga menekankan pentingnya data yang akurat. Sehingga keputusan yang diambil baik di sektor air maupun di sektor pertanian dapat diambil dengan tepat.

"Karena kita tidak dapat merespon dengan baik kalau data yang kita miliki tidak benar. Disitulah teknologi diperlukan, AI diperlukan, dan sebagainya," pungkasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Presiden Prabowo Ungkap Masalah yang Dihadapi Dunia

Read Entire Article
| | | |