Harga Beras Melejit Bikin Petani Jepang Pening-Pemerintah Tertekan

23 hours ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga beras yang melonjak tajam di Jepang memicu krisis politik baru menjelang pemilu. Di tengah ladang padi yang tampak tenang, keresahan petani dan konsumen makin terasa. Pemerintah pun harus turun tangan menggelontorkan stok darurat.

Harga beras eceran naik hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir, menyentuh 4.285 yen (Rp483 ribu) per 5 kilogram di Mei lalu. Meski kini sedikit menurun, kemarahan publik belum mereda.

Satoshi Yamazaki, petani padi di Niigata, merasakan tekanan itu. "Ada kesenjangan besar antara harga di toko dan yang kami terima sebagai petani. Kami bukan yang menikmati lonjakan harga ini," ujarnya kepada AFP, Kamis (12/6/2025).

Yamazaki menanam 10% padinya secara organik, menggunakan bebek sebagai pengendali hama alami. Meski unik, keuntungan tetap tipis.

"Masyarakat ingin beras murah dan berkualitas tinggi, tapi itu ilusi," katanya. "Saya harap ini jadi momen untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk menanam sebutir beras."

Tekanan Terhadap Pemerintah

Untuk meredam kemarahan konsumen, pemerintah Perdana Menteri Shigeru Ishiba mulai menjual beras cadangan nasional secara langsung ke pengecer. Ini merupakan langkah yang biasanya hanya dilakukan saat bencana.

Namun solusi ini dikritik. Beras cadangan disebut-sebut sebagai "beras tua" oleh oposisi dan warganet, bahkan dibandingkan dengan pakan ternak.

Sementara itu, Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi menegaskan bahwa pemerintah sedang mempercepat penyaluran cadangan beras demi menstabilkan harga. "Kami tak bisa membiarkan rakyat menderita akibat inflasi bahan pokok," tegasnya.

Kenaikan harga beras diperparah oleh cuaca ekstrem, aksi penimbunan, dan panic buying setelah pemerintah mengeluarkan peringatan gempa tahun lalu. Popularitas beras lokal juga naik karena harga impor meroket, ditambah ledakan wisatawan yang ikut meningkatkan konsumsi.

Namun akar masalah sebenarnya lebih dalam: kebijakan pemangkasan lahan pertanian padi yang telah berjalan sejak 1971.

"Kami telah memangkas sawah selama 55 tahun dan itu menghancurkan pertanian Jepang," kata Toru Wakui, ketua kelompok tani di Akita.

Ia mendesak pemerintah untuk segera membalik arah kebijakan dan memperluas lahan tanam. Wakui juga menyarankan agar Jepang mendukung generasi muda untuk terjun ke pertanian melalui skema investasi rendah dengan bantuan sektor swasta.

Sementara itu, Kazunuki Oizumi, profesor emeritus Universitas Miyagi, menyebut 80% petani padi di Jepang bekerja paruh waktu dengan lahan sempit dan pendapatan utama berasal dari pekerjaan lain atau pensiun.

Di sisi lain, krisis harga beras ini turut menyeret popularitas Perdana Menteri Ishiba ke titik terendah sejak menjabat Oktober lalu. Inflasi dan beban hidup yang meningkat menjadi isu utama menjelang pemilu Majelis Tinggi bulan depan.

Ishiba menyatakan bahwa peningkatan produksi adalah salah satu opsi untuk menurunkan harga, namun ia menekankan pentingnya ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Negara Kaya Asia Ini Mau Jadi 'Raja' Beras, Ekspor 8X Lipat di 2030

Read Entire Article
| | | |