Heboh Free Float: Siapa di Balik Pemegang Saham Penghuni Klub MSCI?

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) gagal mempertahankan momentumnya dan harus ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin, Senin (27/10/2025). IHSG terkoreksi ke level 8.117,15 atau -1,87% di tengah sentimen negatif yang membayangi pasar.

Tekanan di pasar kemarin datang dari kabar mengenai adanya rencana perubahan metodologi yang dilakukan oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI). MSCI berencana meninjau ulang perhitungan free float (saham publik beredar).

Perubahan ini dikhawatirkan dapat mengubah bobot (weighting) saham-saham big caps Indonesia di dalam indeks global tersebut, yang berpotensi memicu outflow atau keluarnya dana asing.

Lantas, apa sebenarnya MSCI dan mengapa isu ini begitu mengguncang pasar?

Apa Itu MSCI Indonesia & Kenapa Sangat Penting?

Bagi investor global, MSCI Indonesia Index adalah segalanya. Indeks ini dirancang oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) untuk mengukur kinerja saham-saham berkapitalisasi besar dan menengah (large & mid cap) di pasar Indonesia.

Indeks ini bukan sekadar daftar biasa. Miliaran dolar dana investasi pasif global, terutama Exchange Traded Funds (ETF), menggunakan MSCI sebagai benchmark (tolok ukur) utama.

Secara sederhana, jika sebuah emiten berhasil masuk ke dalam indeks MSCI, manajer investasi global yang melacak indeks tersebut secara otomatis wajib membeli saham tersebut. Sebaliknya, jika bobotnya dikurangi atau bahkan dikeluarkan, mereka wajib menjual.

Inilah mengapa setiap peninjauan (rebalancing) MSCI, yang biasanya diumumkan pada Mei dan November, selalu ditunggu-tunggu pasar. Isu perubahan metodologi free float ini menjadi sensitif karena free float adalah kriteria krusial. MSCI tidak menghitung total kapitalisasi pasar, tetapi free-float-adjusted market cap-yaitu porsi saham yang benar-benar tersedia untuk publik, di luar saham milik pengendali, pemerintah, atau investor strategis.

Jika definisi free float diperketat, bobot saham-saham raksasa RI bisa tergerus, memicu forced selling (jual paksa) dari dana-dana pasif global.

Diketahui kejatuhan IHSG pada perdagangan kemarin usai kabar MSCI tengah mengkaji ulang cara menghitung free float (saham yang beredar dan bisa diperdagangkan publik) untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang menjadi bagian dari indeks mereka.

MSCI membuka konsultasi dan akan menerima masukan dari pelaku pasar hingga 31 Desember 2025, lalu hasilnya akan diumumkan paling lambat 30 Januari 2026.


Untuk saham yang sudah termasuk indeks IMI (MSCI Indonesia Investable Market Index), penyesuaian akan diterapkan saat review Mei 2026. Untuk saham yang belum termasuk IMI, aturan baru bisa langsung diberlakukan sebelum review Mei 2026 untuk menghindari perubahan besar yang mendadak (reverse turnover).

MSCI mengusulkan dua pendekatan baru, dan akan memilih yang lebih rendah nilainya (lebih konservatif).

Pertama, pendekatan 1, berdasarkan data kepemilikan yang diungkapkan oleh perusahaan (laporan tahunan, pengajuan resmi, dan siaran pers), serta data dari KSEI (lembaga kliring Indonesia). Dalam pendekatan ini, saham-saham yang tercatat sebagai Scrip (tidak jelas kepemilikannya di data KSEI), dan dimiliki oleh korporasi atau kategori lainnya, akan dianggap bukan free float.

Pendekatan 2, menggunakan data KSEI, dengan menganggap hanya saham Scrip dan saham milik korporasi sebagai non-free float.

Mulai review Mei 2026, MSCI juga akan mengubah cara mereka membulatkan angka free float:

• High float (>25%) dibulatkan ke kelipatan 2,5% terdekat
• Low float (5-25%) dibulatkan ke kelipatan 0,5% terdekat
• Very low float (
Dampaknya bagi Indonesia, karena banyak perusahaan Indonesia memiliki kepemilikan besar oleh korporasi atau kelompok tertentu (bukan publik), aturan baru ini bisa menurunkan nilai free float mereka. Akibatnya, porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI bisa turun, yang berpotensi menyebabkan arus keluar modal asing (capital outflow).

Selain itu, selama ini beberapa saham Indonesia diuntungkan dari aturan pembulatan lama, sehingga jika aturan baru diterapkan, mereka bisa kehilangan posisi di indeks.

Ada satu faktor penting dalam penentu nasib sebuah saham yakni FIF alias Foreign Inclusion Factor. Meski terdengar teknis, faktor ini punya peran besar dalam menentukan seberapa besar bobot saham Indonesia di indeks global bergengsi tersebut.

FIF adalah faktor penyesuaian kepemilikan asing, atau sederhananya  berapa persen saham sebuah emiten yang benar-benar bisa dimiliki oleh investor asing dan dihitung dalam perhitungan MSCI Index.

MSCI tak menghitung seluruh kapitalisasi pasar suatu perusahaan, melainkan hanya bagian yang "bisa diakses oleh investor global". Karena itu, angka FIF digunakan untuk menyesuaikan bobot saham agar mencerminkan realitas regulasi dan pasar.

FIF biasanya berada di rentang 0 sampai 1, atau dalam bentuk persen (0%-100%).

  • FIF = 1,0 → tak ada batas kepemilikan asing. Artinya seluruh saham free float bisa dimiliki oleh investor global.
  • FIF = 0,25 → hanya 25% dari free float saham itu yang masuk ke perhitungan MSCI karena sisanya dibatasi regulasi kepemilikan asing.

Dengan kata lain, semakin kecil FIF, semakin kecil pula bobot saham tersebut di indeks MSCI - meski kapitalisasi pasarnya besar.

Berikut simulasi dampak float Indonesia.

MSCIFoto: MSCI
MSCI


Tabel di atas mengilustrasikan efek terdampak dengan mempertimbangkan metodologi yang diusulkan (Saham Scrip alias saham yang tidak diungkapkan dalam laporan KSEI), Korporasi (lokal dan asing), dan Lainnya (lokal dan asing) sebagai non-free float) dan dengan mempertimbangkan metodologi pembulatan float baru untuk efek MSCI Indonesia. Dimana omzet satu arah untuk MSCI Indonesia adalah 13%.

Kemudian tabel selanjutnya adalah mengilustrasikan efek terdampak dengan mempertimbangkan metodologi alternatif (hanya Saham Scrip dan Korporasi (lokal dan asing) sebagai non-free float) dan dengan mempertimbangkan metodologi pembulatan float baru untuk efek MSCI Indonesia. Dimana omzet satu arah untuk MSCI Indonesia adalah 5%.

MSCIFoto: MSCI
MSCI


Lalu, siapa sebenarnya 'pemilik' dari saham-saham raksasa ini? Data kepemilikan menunjukkan dua kubu besar yaitu emiten yang dikendalikan negara via Danantara, dan emiten yang dipegang oleh taipan serta investor strategis.

Kubu Danantara, Dominasi Negara di Sektor Vital

Di antara emiten Indonesia penghuni MSCI, terdapat dua kubu yakni emiten di bawah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) dan non-Dantara.

Pemerintah Indonesia, melalui entitas holding Danantara, bertindak sebagai pemegang saham pengendali absolut di empat emiten big caps sektor perbankan dan telekomunikasi.

Di BBNI (Bank Negara Indonesia), Danantara memegang porsi dominan 60,61%. Porsi besar lainnya diisi oleh BPJS dengan 3,66%, investor retail 2,02%, serta manajer investasi global Vanguard (1,08%) dan Employees Provident Fund (1,05%).

Situasi serupa terjadi di BBRI (Bank Rakyat Indonesia), di mana Danantara menguasai 53,75% dan sovereign wealth fund Indonesia Investment Authority (INA) memegang 3,66%. Di belakangnya ada Vanguard (1,58%), Employee Provident Fund (0,92%), dan BPJS (0,91%).

Sementara di BMRI (Bank Mandiri), kepemilikan Danantara tercatat sebesar 52,53%, dengan INA juga memiliki porsi signifikan 8,08%. Sisanya diisi oleh para MI global seperti Capital (2,28%), GQG Partners (1,75%), dan Vanguard (1,62%).

Menutup grup ini, TLKM (Telkom Indonesia) juga dikuasai Danantara sebesar 52,09%. Pemegang saham besar lainnya mencakup Mellon Investments (4,32%), BPJS (2,81%), Employee Provident Fund (1,79%), dan Vanguard (1,59%)

Berikut adalah kinerja saham yang dikendalikan oleh Danantara

Kubu Non-Danantara, Cengkeraman Taipan & Investor Strategis

Enam emiten besar lainnya dikuasai oleh konglomerat pendiri, keluarga, dan investor strategis asing.

Dimulai dari bank swasta terbesar, BBCA (Bank Central Asia), struktur kepemilikan dikendalikan oleh PT Dwimuria Investasi Andalan (milik keluarga Hartono) sebesar 55,5%. Investor institusional besar lainnya adalah GIC Private Limited (1,48%), Fidelity Management (1,38%), Vanguard Group (1,22%), dan PT Tricipta Mandhala Gumilang (1,08%).

Di sektor otomotif, ASII (Astra International), dikendalikan penuh oleh Jardine Cycle & Carriage (50,11%). Porsi publiknya diisi oleh MI global seperti Vanguard (1,73%), Invesco Asset Management (1,50%), BlackRock (1,08%), dan MFS Investment Management (0,62%).

Grup Barito milik taipan Prajogo Pangestu menunjukkan konsentrasi kepemilikan yang sangat tinggi. Di BRPT (Barito Pacific), Prajogo Pangestu menguasai langsung 71,25% saham, diikuti oleh Bangkok Bank PCL (4,98%), Bank of Singapore Ltd (2,59%), Anbo Holdings (1,77%), dan DBS Bank (1,49%).

Pada anak usahanya, TPIA (Chandra Asri Pacific), PT Barito Pacific Tbk (BRPT) menjadi pemegang saham utama (34,63%), disusul mitra strategis SCG Chemicals (30,57%). Kepemilikan besar lainnya dipegang oleh Top Investment Indonesia (15,00%), Prajogo Pangestu secara pribadi (5,03%), dan HSBC Private Bank Singapore (4,28%).

Emiten Grup Sinar Mas, DSSA (Dian Swastatika Sentosa), dikuasai oleh PT Sinar Mas Tunggal (59,90%). Kepemilikan publiknya relatif tipis, dengan investor institusional terbesar seperti Vanguard hanya memegang 0,38% dan BlackRock Institutional Trust 0,23%.

Terakhir, emiten tambang AMMN (Amman Mineral Internasional) memiliki struktur yang lebih terdiversifikasi di antara beberapa entitas swasta. Pemegang saham terbesarnya adalah PT Sumber Gemilang Persada (32,17%), PT Medco Energi Internasional (20,92%), AP Investment (15,45%), PT Pesona Sukses Cemerlang (6,52%), dan Sajir 9 LLC (5,79%).

Berikut adalah kinerja enam emiten dengan kepemilikan terbesar oleh pihak non-pemerintah

Data ini menegaskan satu realitas utama di pasar modal Indonesia yakni peran investor pengendali, baik itu Danantara maupun taipan dan investor strategis swasta, sangat dominan. Porsi saham yang benar-benar 'bebas' beredar di publik-yang menjadi dasar perhitungan MSCI-jauh lebih kecil daripada kapitalisasi pasar totalnya.

Akibatnya, struktur kepemilikan yang terkonsentrasi ini membuat bobot (weighting) Indonesia di kancah global menjadi sangat sensitif. I

Inilah alasan mengapa isu free float menjadi sangat krusial; sedikit saja perubahan definisi atau metodologi oleh MSCI dapat memaksa dana pasif global senilai miliaran dolar untuk melakukan rebalancing portofolio, yang berujung pada tekanan jual (outflow) signifikan seperti yang dikhawatirkan pasar.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
| | | |