IHSG Ditutup Turun 0,65% ke 8.361, Bursa Asia Berguguran

2 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak bak roller-coaster pada perdagangan hari ini, Selasa (18/11/2025). Setelah dibuka menguat tipis, IHSG melanjutkan penguatan di awal sesi sebelum balik arah tertekan dalam, memangkas koreksi hingga turun lagi di akhir perdagangan.

Pada penutupan perdagangan, IHSG terkoreksi 54,96 poin atau melemah 0,65% ke level 8.361,92. Sebanyak 230 saham naik, 418 turun, dan 162 tidak bergerak.

Nilai transaksi mencapai Rp 19,56 triliun yang melibatkan 40,85 miliar saham dalam 2,52 juta kali transaksi.

Nyaris seluruh sektor perdagangan melemah dengan koreksi terbesar dicatatkan sektor kesehatan energi dan industri. Sedangkan sektor properti menjadi satu-satunya yang mengalami penguatan  hari ini.

Saham Bank Central Asia (BBCA) mencatatkan pelemahan terbesar hingga 10,76 indeks poin dan diikuti oleh saham Barito Pacific (BRPT) 

Kemudian ada juga saham-saham ekstraksi dan energi tercatat menjadi beban utama IHSG hari ini. 

Saham emiten tambang lain yang ikut terkoreksi dalam termasuk Bayan Resources (BYAN), Merdeka Copper Gold (MDKA), Adaro Andalan Indonesia (AADI), United Tractors (UNTR) dan Petrindo Jaya Kreasi (CUAN).

Sementara itu sejumlah emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tercatat masuk dalam penopang IHSG untuk tidak jatuh lebih dalam di zona merah.

Sementara itu, perdagangan pasar saham negara-negara Asia masih dipengaruhi oleh sentimen ketegangan antara China dan Jepang yang makin meningkat. Para investor menyoroti kedua negara tersebut setelah Beijing memperingatkan warganya tentang rencana perjalanan dan studi di Jepang.

Indeks acuan Jepang, Nikkei 225, turun 3,22%. Sedangkan Kospi Korea Selatan turun 3,32%.

Kemudian, Kontrak berjangka untuk indeks Hang Seng Hong Kong berada di 25.930 atau turun 1,72%.

Begitu juga Indeks acuan Australia S&P/ASX 200 turun 1,94%.

Dari dalam negeri, perekonomian Indonesia pada pertengahan November 2025 tengah menghadapi anomali yang menantang logika siklus bisnis konvensional. Di permukaan, indikator stabilitas makro terlihat solid dengan penurunan utang luar negeri dan likuiditas perbankan yang melimpah ruah.

Namun, jika dibedah hingga ke level mikro dan sektor riil, terdapat tekanan nyata berupa perlambatan konsumsi, keengganan korporasi untuk berekspansi, serta langkah agresif pemerintah dalam memperketat kebijakan fiskal.

Kondisi ini menciptakan "Paradoks Likuiditas". Sistem keuangan nasional sedang kebanjiran uang, namun aliran dana tersebut tersumbat dan gagal memacu mesin pertumbuhan ekonomi secara optimal. Situasi ini menciptakan divergensi tajam antara sektor keuangan yang sangat cair dan sektor riil yang cenderung kering.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article IHSG Naik 0,34%, Genap 10 Hari di Zona Hijau

Read Entire Article
| | | |