Inovasi dan Hukum Antimonopoli yang Ketinggalan Zaman

6 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Inovasi adalah denyut nadi ekonomi modern. Ia melahirkan pasar baru, teknologi revolusioner, dan model bisnis yang mengubah wajah industri. Tapi, di tengah dinamika ini, ada satu pihak yang kerap tertatih: hukum persaingan.

Studi Thibault Schrepel (2024) dalam European Journal of Law and Economics mengungkap inkonsistensi pengadilan Uni Eropa dalam menilai peran inovasi dalam kasus antimonopoli. Ini memantik pertanyaan mendasar: apakah regulasi kita masih relevan di era ekonomi yang bergerak secepat kilat?

Faktanya, hukum persaingan--dirancang untuk pasar konvensional--terlihat kewalahan menghadapi kompleksitas ekonomi. Lantas, bagaimana kita bisa menjembatani jurang antara inovasi dan regulasi?

Pasar sebagai Jaringan Dinamis
Dalam lensa complexity economics (ekonomi kompleksitas) pasar dimaknai sebagai sistem adaptif yang terdiri dari interaksi non-linear antar-aktor, efek jaringan, dan kemunculan pola tak terduga. Dalam konteks pasar digital (digital market), misalnya, ekonomi kompeleksitas melihat setidaknya ada tiga fenomena khas yang mengubah cara kita memandang persaingan:

Pertama, ekosistem digital yang saling bertaut. Platform digital tidak lagi beroperasi dalam batas pasar tunggal. Misalnya, layanan transportasi daring terintegrasi dengan pembayaran digital, logistik, bahkan layanan finansial.

Inovasi di satu sektor dapat menciptakan efek domino di sektor lain. Ini tentunya akan melahirkan problem regulasi, karena hukum persaingan yang masih banyak berlaku di banyak negara hanya fokus pada relevant market (pasar bersangkutan) yang sempit, tanpa mempertimbangkan keterhubungan antar-layanan.

Kedua, inovasi disruptif dan ketidakpastian. Startup teknologi kerap menghadirkan terobosan yang mengganggu dominasi pemain lama. Namun, dampak inovasi ini sulit diprediksi dengan indikator tradisional seperti pangsa pasar.

Ekonomi kompleksitas mengingatkan persaingan sehat bukan hanya tentang "pemenang" saat ini, tetapi juga tentang memastikan mekanisme yang memungkinkan pendatang baru terus mengganggu status quo, yang pastinya pemain lama akan terus dibayang-bayangi kecemasan posisinya akan tergeser.

Ketiga, efek jaringan dan penguncian pengguna. Dominasi platform tertentu sering diperkuat oleh efek jaringan (network effects), sehingga nilai platform meningkat seiring jumlah pengguna.

Fenomena itu menciptakan lock-in effects, di mana konsumen enggan beralih ke pesaing meski ada alternatif lebih baik. Karena itu, regulator perlu mempertimbangkan kebijakan seperti interoperabilitas paksa untuk mengurangi ketergantungan ini.

Bagaimana ketiga hal tersebut bila dipandang dari sudut pandang organisasi industri (industrial organization) alias ekonomi industri? Perlu disampaikan bahwa industrial organization klasik berfokus pada hubungan antara struktur pasar, perilaku perusahaan, dan kinerja ekonomi (stucture-condact-performance/SCP). SCP yang merupakan "mazhab" hampir seluruh otoritas persaingan di dunia, tentunya hari ini perlu ditafsir ulang, setidaknya terkait tiga aspek.

Pertama, relevant market. Konsep relevant market, yang menghiasi Undang-undang (UU) Antitrust atau Antimonopoli di berbagai negara, termasuk UU No. 5/1999, terlalu sempit untuk ekonomi digital.

Contohnya, subsitusi produk bagi marketplace tidak hanya bersaing dengan sesama platform e-commerce, tetapi juga dengan UMKM offline (seperti toko klontong atau warung Madura) dan layanan sosial media yang memasuki ranah perdagangan. Karena itu, pendekatan "pasar inovasi" diperlukan untuk menilai dampak jangka panjang terhadap dinamika kompetisi.

Kedua, skala ekonomi versus keragaman inovasi. Perusahaan besar memiliki sumber daya untuk berinovasi secara masif, tetapi di sisi lain dominasi tersebut berisiko mematikan keragaman inovasi.

Teori industrial organization mengingatkan bahwa konsentrasi pasar bisa mengurangi insentif berinovasi. Sialnya, raksasa digital memiliki kekuatan data dan finansial, sehingga bisa tergoda untuk menekan pesaing agar tidak menjadi raksasa baru.

Ketiga, data dan algoritma (integible asset). Kepemilikan data pengguna dan algoritma canggih menjadi "benteng" yang memperkuat posisi perusahaan digital. Misalnya, algoritma rekomendasi di platform e-commerce bisa dimanfaatkan untuk mendiskriminasi produk pesaing. Praktik semacam ini sulit diidentifikasi dengan alat regulasi konvensional yang berfokus pada harga atau output.

Membangun Regulasi yang Pro-Inovasi
Melihat hasil diagnosa terhadap kondisi persaingan usaha, baik dari sudut ekonomi kompleksitas maupun ekonomi industri, maka ada beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa diambil oleh perumus kebijakan (termasuk otoritas persaingan) dalam merombak peraturan persaingan usaha.

Pertama, redefinisi relevant market. Pendekatan pasar bersangkutan harus berbasis ekosistem yang mempertimbangkan keterhubungan antar-layanan. Misalnya, evaluasi dominasi pasar transportasi online harus memasukkan faktor integrasi dengan layanan pembayaran dan logistik.

Kedua, pergunakan indikator dinamis untuk menilai dominasi pasar. Tambahkan parameter seperti kecepatan inovasi, kontrol data, dan ketergantungan pengguna (lock-in effects). Perusahaan dengan akses eksklusif ke data atau algoritma canggih bisa dianggap dominan meski pangsa pasarnya kecil.

Ketiga, penilaian merger-akuisisi tidak terpaku pada dampak jangka pendek, tapi berorientasi ke masa depan. Jelasnya, evaluasi merger-akuisisi yang dinilai otoritas persaingan tidak hanya berdasarkan efisiensi jangka pendek, tetapi juga mengukur dampaknya terhadap keragaman inovasi. Terapkan "tes inovasi" untuk menilai apakah penggabungan berpotensi mengurangi insentif salah satu pihak untuk berinovasi.

Keempat, perlu kolaborasi multidisiplin. Perlu dipikirkan, di era ekonomi kompleks yang bergerak cepat, pemerintah (termasuk otoritas persaingan) membentuk tim regulator yang terdiri dari berbagai keahlian, seperti ahli hukum, ekonom, teknolog, dan pelaku industri. Kolaborasi ini penting untuk memahami mekanisme algoritma, big data, dan tren pasar digital.

Kelima, harmonisasi regulasi. Tidak ada pilihan, UU Antimonopli tidak bisa "egois" hanya memikirkan persaingan usaha. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi berbagai sektor, seperti sektor digital. Contohnya, kepemilikan data pengguna bisa diatur untuk mencegah monopoli sekaligus melindungi privasi.

Keseimbangan yang Dinamis
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa inovasi adalah kunci kemajuan ekonomi, tetapi tanpa regulasi yang adaptif, inovasi bisa berubah menjadi ancaman bagi persaingan sehat. Bagi Indonesia, jelas sangat membutuhkan kerangka hukum yang tidak hanya mencegah monopoli, tetapi juga menciptakan ekosistem di mana inovasi bisa tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan.

Kuncinya adalah keseimbangan, yaitu menerima dinamika pasar ala complexity economics, sekaligus menjaga struktur kompetitif melalui pendekatan industrial organization. Jika berhasil, Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana sebuah negara berkembang bisa menjawab tantangan persaingan di era digital.

Intinya, regulasi yang baik bukanlah lawan inovasi. Ia adalah penjaga agar kemajuan teknologi tak hanya dinikmati segelintir pemain, tapi menjadi kekuatan kolektif untuk kesejahteraan bersama. Seperti taman yang subur, pasar perlu dirawat-bukan dikurung pagar kaku.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |