Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street mulai membaik dan bergerak beragam pada perdagangan Senin waktu AS (7/4/2025)atau Selasa dini hari waktu Indonesia (8/4/2025). Penutupan kemarin lebih baik dibandingkan Kamis dan Jumat pekan lalu di mana ketiga indeks Wall Street ambruk berjamaah.
Sesi perdagangan berlangsung liar ketika para trader mencoba berspekulasi kapan pasar akan mencapai titik terendah akibat gejolak tarif dari Presiden AS Donald Trump. Dow Jones bahkan mencatat ayunan poin intraday terbesar yang pernah tercatat.
Volume perdagangan juga mencapai level tertinggi dalam setidaknya 18 tahun, dengan sekitar 29 miliar saham diperdagangkan. Angka ini melampaui volume perdagangan Jumat (4/4/2025) sebesar 26,77 miliar saham, serta rata-rata volume perdagangan 10 hari sebesar 16,94 miliar saham.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun sebesar 349,26 poin, atau 0,91%, dan ditutup di 37.965,60. Indeks dengan 30 saham ini sempat turun lebih dari 1.700 poin pada titik terendah. Indeks kemudian bergerak sebesar 2.595 poin dari titik terendah ke tertinggi, ini menjadi rekor perubahan arah dalam sejarah Dow Jones.
Indeks S&P 500 turun 0,23% dan ditutup di angka 5.062,25. Indeks sempat turun 4,7% pada titik terendah sesi perdagangan. Sempat memasuki wilayah pasar bearish selama sesi berlangsung, namun terakhir tercatat turun hampir 18% dari titik tertingginya baru-baru ini.
Indeks Nasdaq Composite di luar dugaan menguat 0,10% dan ditutup pada angka 15.603,26. Investor mulai membeli saham teknologi dengan kapitalisasi besar seperti Nvidia dan Palantir. Pada titik terendahnya di sesi perdagangan, indeks yang banyak diisi saham teknologi ini sempat turun lebih dari 5%.
Saham Wall Street sempat mengalami reli singkat yang membawa indeks Dow Jones ke wilayah positif. Spekulasi tentang kemungkinan jeda tarif beredar di media sosial dan turut mendorong kenaikan tersebut. Namun, Gedung Putih mengatakan kepada CNBC International bahwa pembicaraan tentang jeda 90 hari adalah "berita palsu," dan indeks-indeks utama kembali melemah.
S&P 500 telah kehilangan lebih dari 10% dalam tiga sesi terakhir yang merupakan periode terburuk sejak pandemi Covid pada 2020.
Meskipun terjadi aksi jual besar-besaran, Gedung Putih tetap bersikukuh, menegaskan bahwa serangkaian tarif tinggi yang diumumkan pada Rabu (2/4/2025) akan tetap berlaku mulai 9 April, sesuai jadwal. China membalas pada Jumat dan negara-negara lain bersiap untuk memberlakukan tarif balasan mereka sendiri.
Trump mengancam Beijing pada Senin melalui Truth Social dengan tarif yang lebih tinggi lagi. Dia mengatakan jika China tidak menarik kenaikan 34% mereka di atas praktik perdagangan jangka panjang yang sudah menyimpang itu paling lambat Selasa (8/4/2025) maka Amerika Serikat akan memberlakukan tambahan tarif terhadap China sebesar 50%, berlaku mulai 9 April. Selain itu, semua pembicaraan dengan China terkait pertemuan yang China minta akan dibatalkan!.
Trump juga menegaskan kembali kepada wartawan pada Senin kemarin bahwa tidak ada jeda dalam rencana tarif yang sedang dipertimbangkan.
"Presiden sedang kehilangan kepercayaan dari para pemimpin bisnis di seluruh dunia... ini bukan yang kami pilih," tulis Bill Ackman, miliarder kepala Pershing Square, di X (sebelumnya Twitter), dikutip dari CNBC International.
"Presiden punya kesempatan hari Senin untuk menghentikan sejenak dan punya waktu untuk memperbaiki sistem tarif yang tidak adil. Kalau tidak, kita menuju musim dingin ekonomi buatan sendiri, dan kita harus mulai bersiap-siap." Imbuhnya.
Pemerintahan mengatakan bahwa setidaknya 50 negara telah menghubungi untuk memulai negosiasi.
Menurut Trump, Vietnam sudah menawarkan untuk menurunkan tarif terhadap AS menjadi nol, tetapi penasihat perdagangan Peter Navarro mengatakan kepada CNBC bahwa itu belum cukup. As tetap menekankan bahwa yang penting adalah kecurangan non-tarif.
Respon ini menunjukkan bahwa negosiasi mungkin akan berlangsung lebih lama dari yang diinginkan oleh Wall Street.
Ketakutan meningkat di Wall Street bahwa aksi jual akan menjadi spiral yang memburuk, dengan hedge fund dipaksa menjual saham dan aset berisiko lainnya untuk mendapatkan dana guna memenuhi margin call.
CBOE Volatility Index, atau indeks ketakutan Wall Street, melonjak hingga menyentuh level 60 pada Senin yang menjadi ambang ekstrem yang biasanya hanya terlihat dalam pasar bearish.
"Margin call sedang dikirimkan saat ini juga. Untuk hari ketiga berturut-turut, investor di pasar saham AS memberikan penolakan besar terhadap tarif Hari Pembebasan dari Gedung Putih yang mengguncang Wall Street." ," kata Chris Rupkey, kepala ekonom di FWDBONDS, kepada CNBC International.
Apple Jeblok
Saham Apple ditutup turun 3,7% setelah ancaman Trump untuk menggandakan tarif terhadap China. Produsen iPhone tersebut telah kehilangan hampir U$640 miliar dalam nilai kapitalisasi pasar hanya dalam tiga hari perdagangan terakhir.
Meskipun pasar saham secara umum menunjukkan kinerja yang lebih baik pada Senin dibanding dua hari perdagangan sebelumnya, saham Apple kembali terpukul, turun 3,7%, seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa perusahaan tersebut akan terdampak besar dari tarif Presiden Trump.
Aksi jual ini membawa penurunan saham Apple selama tiga hari menjadi 19%, yang telah menghapus sekitar US$638 miliar atau sekitar Rp10.562, 1 triliun I(US$ 1= Rp 16.555) dari kapitalisasi pasar perusahaan.
Para analis mengatakan bahwa Apple adalah salah satu perusahaan yang paling rentan terhadap perang dagang, terutama karena ketergantungannya pada China - yang kini dikenai tarif sebesar 54%. Meskipun Apple memiliki fasilitas produksi di India, Vietnam, dan Thailand, negara-negara tersebut juga menghadapi kenaikan tarif sebagai bagian dari rencana besar Trump.
Di antara perusahaan teknologi raksasa (megacap), Apple mengalami tekanan paling berat. Apple menjadi saatu-satunya saham di kelompok tujuh besar yang ikut turun bersama Apple adalah Microsoft dan Tesla.
Para analis memperkirakan bahwa Apple kemungkinan harus menaikkan harga produknya atau menanggung sendiri biaya tambahan akibat tarif baru saat kebijakan tersebut mulai berlaku. Analis UBS memperkirakan bahwa iPhone kelas atas Apple bisa mengalami kenaikan harga sekitar $350, atau sekitar 30% dari harga saat ini sebesar $1.199.
Analis dari Barclays, Tim Long, menulis bahwa ia memperkirakan Apple akan menaikkan harga, atau jika tidak, perusahaan bisa mengalami penurunan laba per saham hingga 15%. Apple juga mungkin akan mencoba mengatur ulang rantai pasoknya agar impor ke AS berasal dari negara-negara dengan tarif yang lebih rendah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)