Menakar Taji Kebijakan Perkapalan Presiden AS Donald Trump

2 days ago 9

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di hadapan rapat Kongres Amerika Serikat (AS) pada pekan pertama Maret lalu, Presiden Donald Trump mengungkapkan bahwa pemerintahannya akan membentuk sebuah unit kepresidenan dengan tugas khusus mengurusi industri galangan kapal nasional.

Diberi nama "office of shipbuilding", lembaga ini dalam operasionalnya nanti bakal menyediakan insentif perpajakan bagi para pelaku usaha. Dengan kebijakan dimaksud sang presiden berharap sektor galangan kapal Negeri Paman Sam kembali menggeliat dan pada gilirannya mampu mematahkan dominasi China dalam industri ini.

Kebijakan ini mencakup 18 langkah, di mana salah satunya adalah menaikkan margin atas berbagai fee yang diterima oleh pengusaha lokal/agen dari kapal-kapal dan crane buatan China yang masuk ke AS.

Sejak menduduki kembali kursi kepresidenan, Trump memang memiliki kesumat yang mendalam terhadap China. Sama seperti dalam kepemimpinan periode pertamanya, 2017 hingga 2021. Namun, ihwal dominasi China dalam industri galangan kapal - termasuk bidang usaha kemaritiman lainnya dan logistik - sesungguhnya sudah diatensi oleh pendahulunya, Joe Biden.

Hanya saja dia diketahui tidak mengeluarkan kebijakan khusus seperti Trump. Dalam pandangan AS, tentunya diiyakan pula oleh sekutunya, Negeri Panda menguasai pasar galangan kapal global melalui berbagai kebijakan industrinya yang agresif dan produksi baja yang merupakan bahan baku utama pembangunan kapal secara jor-joran.

Pelayaran AS
Bisakah Presiden Trump, menyitir pepatah Minangkabau, "menegakkan batang terendam" industri galangan kapal Negeri Paman Sam? Ada pesimisme dalam pertanyaan ini mengingat sektor yang satu ini sesungguhnya sudah lama mati suri, jika tidak hendak dibilang tewas sama sekali di sana. Memang seperti itulah adanya.

Terdapat beberapa penjelasan untuk itu. Pertama, galangan kapal AS mati suri karena bisnis pelayarannya telah gugur. Artinya, negeri ini tidak memiliki lagi shipping line, apalagi yang berstatus national flag carrier. Perusahaan pelayaran yang pernah berkibar seperti America President Line (APL) dan Sealand sudah beralih kepemilikan keluar dari AS.

Mengutip sejarah, cikal bakal APL berawal dari perkongsian beberapa perusahaan pelayaran yang menggeluti bisnis pengangkutan surat melalui jalur laut seperti Pacific Mail Steamship Company, Dollar Shipping Company dan APL itu sendiri.

Seiring perjalanan, dari trio ini ada yang mengalami kegagalan usaha sehingga mendorong otoritas AS mengambil alih seluruh aset perusahaan yang bangkrut dan mengalihkannya kepada APL untuk dikelola dan menjaga agar star and sprangled banner tetap berkibar di lautan.

Dari sinilah status APL sebagai national flag carrier bermula. Dengan mandat yang diberikan pemerintah tadi APL mengembangkan sayapnya dengan masuk ke pelayaran peti kemas hingga masa keemasannya berakhir.

Pada 1997, perusahaan pelayaran Singapura Neptune Orient Lines (NOL) mengakuisisi APL, yang akhirnya memindahkan kantor pusat APL ke Singapura. Lalu, pada 2016, CMA CGM mengakuisisi NOL, perusahaan induk APL. Kini APL berada di bawah "kekuasaan" Prancis.

Sementara itu, Sealand, didirikan oleh Malcolm McLean, merupakan salah perintis dalam pelayaran peti kemas. Kepemilikannya kemudian beralih kepada sekelompok investor, mulai dari RJ Reynolds Tobacco Company, CSX dan lain-lain.

Oleh CSX, Sealand dipecah ke dalam tiga entitas: perusahaan pelayaran internasional, pelayaran domestik, dan operator terminal. Pada Desember 1999, pelayaran asal Denmark Maersk mengakuisisi divisi pelayaran internasional (peti kemas) dan mengubah brand-nya menjadi Maersk Sealand. Sampai hari ini Sealand masih di dalam jajaran Maersk dan peti kemas dengan nama yang sama nampak berseliweran di jalan-jalan raya di Indonesia.

Galangan Kapal
Selain dua perusahaan pelayaran yang disampaikan sebelumnya, AS sejatinya juga memiliki lumayan banyak perusahaan pelayaran lainnya. Hanya saja, mereka ini sebagian besar berupa pelayaran khusus dengan menggunakan tipe kapal yang khusus pula. Ambil contoh, kapal-kapal untuk survei geologi, perminyakan, gas, dll.

Kapal-kapal ini sangat canggih (state of the art) yang harganya bisa jutaan dolar AS per unitnya. Perlu juga ditambahkan dalam daftar ini adalah kapal-kapal riset yang dioperasikan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA.

Saking canggihnya, kapal-kapal ini disewa juga oleh berbagai negara dan korporasi yang memerlukan jasa mereka, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan harga rental selangit. Last but not least, kapal-kapal perang AS dapatlah pula dikategorikan ke kelompok ini.

Bila office of shipbuilding diberi mandat oleh Trump untuk membangkitkan kembali industri galangan kapal Negeri Paman Sam, pertanyaanya kemudian adalah: segmen kapal atau pelayaran yang manakah yang akan diberdayakan?

Bila segmen ini yang dipilih, hampir dapat dipastikan tajinya akan kurang tajam. Soalnya kapal-kapal canggih amat sangat sedikit order pembangunannya. Lagian, AS toh selama ini sudah bermain di ceruk ini. Jadi tidak ada yang baru. Dan, persaingan dalam pasar pembangun kapal sophisticated bukan antara AS dan China, melainkan AS dan sekutunya seperti Prancis, Jerman, Inggris dan sebagainya. Dalam kalimat lain, Trump salah sasaran.

Namun jika unit kepresidenan baru tersebut ingin mendorong galangan kapal AS bertarung di segmen pembangunan kapal kontainer dan tanker, jelas mereka tidak akan mampu. Sektor ini sepenuhnya dikuasai China bersama Korea Selatan, Singapura dan Jepang. Tidak ada nama AS dalam klasemen galangan mondial.

Teramat sulit, jika tidak mau dibilang tidak mungkin, bagi Negeri Paman Sam menggeser mereka ini karena ekosistem bisnis galangan di negara-negara tersebut sudah terbangun dengan kuat. Mulai dari pabrik baja dan tenaga kerja, antara lain, tersedia dalam jumlah yang cukup dan harganya pun relatif bersaing.

Terlepas dari prediksi kelam yang disajikan, pilihan Presiden Trump mendorong galangan kapal nasionalnya untuk berbenah dan bangkit merupakan pilihan politik yang tepat. Sektor usaha ini amat sangat strategis bagi sebuah negara.

Lemah atau gagal sebuah negara menguasainya, alamat akan terkebelakanglah mereka dalam percaturan kemaritiman mondial. Inilah yang terjadi dengan negara kita yang sampai hari ini masih tercecer di belakang dalam bidang kemaritiman: galangan kapal, pelayaran maupun pelabuhan. Parahnya, belum nampak ada kebijakan nasional yang terukur layaknya kebijakan Trump dengan office of shipbuilding-nya.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |