Mengakhiri Petualangan Pengembangan Jet Tempur Bersama

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Keberhasilan sejumlah industri dirgantara di dunia menjadi pemain global tidak pernah lepas dari dukungan finansial dari negara atau gabungan negara di mana industri tersebut berada. Boeing dan Airbus pernah berselisih di World Trade Organization (WTO) selama 17 tahun terkait dengan isu subsidi sebelum kedua belah pihak berdamai pada 2021 dengan sejumlah konsesi yang disepakati bukan saja antara kedua raksasa, tetapi pula antara pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Struktur industri dirgantara internasional untuk pasar pesawat niaga telah memasuki era duopoli sejak 1990-an sebagai hasil konsolidasi industri dirgantara dan pertahanan di Eropa dan Amerika Serikat yang disebabkan oleh peace dividend. Industri dirgantara di negara-negara berkembang pun seperti Embraer dan KAI juga menerima subsidi langsung atau tidak langsung dari pemerintah masing-masing.

Subsidi langsung atau tidak langsung pada industri dirgantara bukan semata pada segmen pesawat penumpang, namun pula pada pesawat tempur. Pemberian subsidi langsung atau tidak langsung pada pengembangan pesawat tempur dimulai sejak tahap desain hingga fase produksi.

Seperti gambaran, biaya pengembangan jet tempur generasi 4.5 seperti KF-21 mencapai sekitar US$6 miliar, sedangkan penempur generasi kelima, yakni F-22 menyentuh angka sekitar US$70 miliar dan F-35 menembus US$40 miliar.

Adapun ongkos pengembangan pesawat tempur generasi keenam seperti Future Combat Air Systems (FCAS) ditaksir melampaui €100 miliar, sementara F-47 yang dahulu dikenal sebagai Next Generation Air Dominance diperkirakan di kisaran US$100 miliar dengan memasukkan faktor pembengkakan biaya dan penundaan.

Bila pada program F-35 biaya pengembangan ditanggung delapan negara anggota konsorsium, AS memilih memikul sendiri anggaran pengembangan F-47. Sementara Prancis, Jerman dan Spanyol setuju untuk menanggung bersama biaya pengembangan FCAS.

Begitu pula dengan Inggris, Italia dan Jepang dalam Global Combat Air Programme, sebagai jet tempur generasi keenam dengan perkiraan awal ongkos pengembangan £60 miliar bila tidak ada faktor pembengkakan biaya dan penundaan. Kecuali Amerika Serikat dan China, tidak ada negara yang sanggup mengembangkan penempur generasi kelima dan keenam secara mandiri dari aspek pembiayaan dan teknologi.

Terkait dengan program pengembangan pesawat terbang secara bersama, Indonesia mempunyai pengalaman yang saling bertolak belakang. Cerita sukses Indonesia ialah dalam program pengembangan pesawat angkut turboprop jarak menengah bersama Spanyol yang dikenal sebagai CN235.

Pembiayaan program tersebut dibagi secara merata antara CASA dan IPTN, yakni masing-masing 50% melalui firma joint venture Airtech International. Melalui skema joint venture, setiap pihak memiliki posisi tawar yang sama kuat dalam pengembangan pesawat turboprop bermesin ganda itu.

Keberhasilan Indonesia dalam program CN235 gagal diulangi dalam program KFX/IFX yang merupakan kemitraan antara Indonesia dan Korea Selatan. Meskipun Indonesia pada awalnya menanggung pembiayaan program sebesar 20%, akan tetapi kedua belah pihak tidak memakai skema seperti joint venture yang berkontribusi pada lemahnya posisi tawar Jakarta.

Para insinyur Indonesia mendapatkan ilmu dan pengalaman baru dalam desain dan pengembangan jet tempur, akan tetapi di sisi lain tidak semua teknologi maju dapat diakses oleh Indonesia karena alasan politik. Bagi sebagian pihak di Indonesia, program KFX/IFX tidak dipandang sukses, terlebih lagi lima insinyur Indonesia sejak Februari 2024 hingga kini masih menjalani semacam tahanan rumah di Korea Selatan atas tuduhan mata-mata.

Kisah CN235 dan KFX/IFX bagi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aspek komitmen politik pemerintah. Program CN235 dilaksanakan di masa Orde Baru yang memiliki komitmen politik kuat terkait pembangunan jangka panjang lewat rangkaian Repelita dan berada dalam sistem politik yang tidak demokratis.

Indonesia terlibat dalam program KFX/IFX di era Reformasi di mana komitmen pembangunan jangka panjang absen karena kepentingan setiap presiden untuk berkuasa dua periode melalui pemilu adalah prioritas utama. Dibutuhkan waktu 10 tahun (1978-1988) bagi program CN235 mulai dari fase desain hingga tahap digunakan oleh konsumen, sedangkan KFX/IFX memerlukan masa 16 tahun (2010-2026) untuk hal yang sama.

Oleh karena itu, keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk terlibat dalam program jet tempur Turki yang diklaim sebagai generasi kelima sulit untuk direalisasikan jika ditinjau dari aspek politik domestik. Kondisi fiskal pemerintah setidaknya hingga beberapa tahun depan diprediksi penuh tantangan, sehingga kapasitas Indonesia untuk membiayai program tersebut diragukan.

Indonesia juga tidak akan mempunyai posisi tawar yang kuat dalam program pesawat tempur Turki. Sebab partisipasi Indonesia dilakukan ketika program sudah di tahap akhir. Begitu pula dengan akan terjadinya pergantian pemerintahan di Indonesia paling lambat 20 Oktober 2034, di mana tidak ada jaminan pemerintahan baru akan meneruskan keterlibatan Indonesia dalam program itu.

Dipandang dari aspek teknis, tidak ada keuntungan signifikan bagi Indonesia terkait engineering, manufacturing and development sebab pesawat tempur Turki tersebut sudah jadi. Hal yang diperlukan oleh Turki saat ini dan ke depan adalah pendanaan dari pihak ketiga selama pesawat tersebut menjalani uji terbang yang akan memakan waktu minimal lima tahun.

Lalu apa yang akan didapatkan Indonesia dari program uji terbang dibandingkan dengan keterlibatan dalam program KFX/IFX yang dimulai dari tahap conceptual design? Pertanyaan lainnya adalah kematangan teknologi yang dikandung oleh jet tempur tersebut, baik yang terkait dengan vehicle systems, mission systems, mission systems software maupun power plant, yang mana semua itu akan terkait dengan kemungkinan pembengkakan biaya dalam beberapa tahun ke depan.

Kegiatan uji terbang akan memerlukan dana yang besar, sebab diperkirakan banyak perbaikan dan atau penggantian baru pada beragam sistem yang telah disebutkan. Termasuk biaya yang dibutuhkan untuk menguji penggunaan engine baru buatan Turki guna menggantikan GE Aerospace F110 yang selama ini dipakai, di mana membutuhkan waktu minimal lima tahun bagi sistem pendorong baru untuk matang.

Suatu engine baru tidak akan matang dalam waktu singkat karena harus menjalani serangkaian uji statis dan dinamis dalam beragam kondisi alam yang ekstrem guna mendapatkan data dalam ukuran ratusan atau ribuan terabyte.

Data-data yang didapatkan selanjutnya akan dianalisis, termasuk melakukan perbaikan atau perubahan terhadap desain engine bila terdapat kinerja tidak seperti yang diharapkan. Saat ini terdapat dua opsi untuk menguji pesawat tempur baru, termasuk sistem pembangkit, yaitu 2.000 - 3.000 penerbangan dengan 3.000 - 4.000 jam terbang atau 7.000 penerbangan dan 12.500 jam terbang.

Sudah saatnya bagi Indonesia mengakhiri petualangan pengembangan pesawat tempur bersama negara manapun yang dimulai sejak 2010. Lebih baik bagi negeri ini untuk fokus pada pengembangan pesawat angkut komersial yang memiliki niche market apabila para presiden di masa depan memiliki komitmen politik yang melampaui urusan berkuasa dua periode.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |