Jakarta, CNBC Indonesia - Negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali berlanjut dengan tensi tinggi, kali ini berlangsung di London dan diperpanjang menjadi dua hari.
Pertemuan yang awalnya dijadwalkan hanya pada Senin malam (9/6/2025) di Lancaster House, sebuah gedung bersejarah milik pemerintah Inggris, akhirnya harus diperpanjang hingga Selasa (10/6/2025) karena belum mencapai kesepakatan.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan bahwa pembicaraan berjalan cukup konstruktif dan ia hanya menerima "laporan positif" dari timnya di London.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa proses negosiasi dengan China tidaklah mudah.
"Kami berjalan baik dengan China. Tapi China memang tidak mudah," ujar Trump kepada awak media.
Saat ditanya terkait kemungkinan pencabutan kontrol ekspor, Trump hanya menjawab singkat, "Kita lihat nanti."
Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent, Menteri Perdagangan Howard Lutnick, serta Perwakilan Dagang Jamieson Greer.
Dari pihak China, negosiasi dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri He Lifeng, didampingi oleh Menteri Perdagangan Wang Wentao dan Kepala Negosiator Kementerian Perdagangan, Li Chenggang.
Logam Tanah Jarang
Pembahasan terkait pelonggaran ekspor logam tanah jarang dari China ke AS menjadi topik penting pada pertemuan kali ini.
Untuk diketahui, China saat ini menguasai sekitar 70% dari total produksi logam tanah jarang global, menjadikannya negara dengan pengaruh besar dalam rantai pasok mineral strategis dunia.
Pada April lalu, negeri sang Naga Asia ini sempat menangguhkan ekspor berbagai mineral dan mineral penting. Hal ini kemudian mengacaukan rantai pasokan bagi industri mobil, produsen kedirgantaraan, perusahaan semikonduktor, dan kontraktor militer.
Hal tersebut cukup menjadi pukulan untuk AS yang membuatnya balik badan untuk kembali negosiasi dengan Tiongkok.
Foto: CNBC Indonesia TV
AS dan China Bertemu Untuk Pembicaraan Perdagangan di London
Pihak AS mengikutsertakan Lutnick, yang memiliki peran penting dalam pengawasan kontrol ekspor AS, menunjukkan bahwa isu ekspor logam tanah jarang (rare earth elements) menjadi salah satu topik prioritas dalam negosiasi.
Penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, sebelumnya menyatakan bahwa AS ingin mendapatkan jaminan dari Beijing terkait kembali dibukanya akses ekspor logam tanah jarang dari China.
Beberapa analis menilai bahwa keterlibatan Lutnick mengisyaratkan kemungkinan pelonggaran kebijakan pembatasan ekspor teknologi tinggi AS sebagai bagian dari kompromi.
Sejumlah kebijakan ekspor yang diberlakukan belakangan ini, terutama terhadap perangkat lunak desain chip, komponen mesin jet, bahan kimia, dan bahan baku nuklir, disebut-sebut siap untuk ditinjau ulang sebagai bagian dari kesepakatan.
Sementara itu, dari pihak China, Wang Wentao dikenal sebagai figur penting yang kerap mendampingi Presiden Xi Jinping dalam lawatan internasional. Sedangkan Li Chenggang, sebagai mantan duta besar untuk WTO, membawa pengalaman negosiasi internasional yang mendalam.
Menjelang hari kedua negosiasi, akun media sosial Yuyuantantian,berafiliasi dengan lembaga penyiaran negara CCTV mengatakan bahwa China serius dalam melakukan perundingan dengan AS, namun tetap akan berpegang pada prinsip dasar yang mereka anggap tidak bisa dikompromikan.
"China menekankan bahwa AS harus melihat secara realistis kemajuan yang telah dicapai, dan mencabut berbagai tindakan negatif terhadap Beijing," tulis mereka, dikutip dari Yahoo Finance.
Ekspor China Jeblok
Penangguhan ekspor mineral ke AS membuat perdagangan China tak lekang dari pukulan juga.
Merujuk data bea cukai, ekspor China ke AS telah anjlok 34,5% secara tahunan (yoy) pada Mei 2025. Ini menjadi penurunan paling tajam sejak Februari 2020.
Penurunan tajam ini terjadi meskipun ada kesepakatan perdagangan tanggal 12 Mei lalu yang mengurangi sementara tarif impor China sampai 30%.
Penurunan ekspor ke AS juga lebih besar daripada peningkatan 11% dalam ekspor China ke seluruh dunia. Sementara itu, pengiriman barang China ke Vietnam melonjak 22% karena perusahaan China berupaya menghindari tarif AS.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)