Pendapatan PLN Cetak Rekor, Ini Rahasianya!

1 day ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan listrik pelat merah, PT PLN (Persero) berhasil mencetak pendapatan tertinggi sepanjang sejarah pada 2024 sebesar Rp545,28 triliun.

Secara historis atau dari tahun ke tahun, PLN selalu mencatatkan kenaikan pendapatan.

Penurunan hanya terjadi pada 2017 dengan pendapatan senilai Rp255,3 triliun, dari periode tahun sebelumnya sebesar Rp282,3 triliun Di luar itu pendapatan konsisten tumbuh positif.

Pendapatan PLN sejumlah Rp545,38 triliun tersebut berhasil tumbuh 11,91% secara tahunan (yoy) atau dari posisi sebelumnya Rp487,38 triliun.

Berdasarkan segmen operasi, penjualan tenaga listrik menjadi kontributor utama pendapatan hingga 68,36% atau setara Rp353,17 triliun. Segmen selanjutnya yang menyumbang banyak datang dari kompensasi dan subsidi dari pemerintah, masing-masing menyumbang 15,18% dan 14,08% terhadap perndapatan.

Adapun secara pertumbuhan, mayoritas segmen tetap tumbuh positif, sebagai berikut :

Berlawanan arah dengan top line yang tumbuh positif, bottom line PLN mengalami penurunan, di mana laba tahun berjalan 2024 sebanyak Rp17,76 triliun, menyusut dari tahun sebelumnya sebesar Rp22,07 triliun.

Dari sisi operasional, peningkatan beban pembelian tenaga listrik dan beban untuk bahan bakar dan pelumas menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja laba.

Kedua komponen ini secara akumulatif berkontribusi sebesar 73,84% terhadap total beban usaha perusahaan. Adapun beban usaha pada 2024 naik 10,13% yoy jadi Rp484,76 triliun.

Selain dari sisi operasional, keuangan perusahaan juga terbebani dengan rugi kurs mata uang asing sebanyak Rp6,78 triliun. Padahal tahun sebelumnya untung Rp3,72 triliun.

Hal ini terjadi karena rupiah melemah signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada sepanjang tahun lalu. Jika mengacu kurs yang berlaku pada laporan keuangan PLN mengalami pelemahan 4,65% dari posisi 2023 sebesar Rp15.439/US$ menjadi Rp16.157/US$ pada akhir 2024.

Posisi rupiah yang menjadi acuan pada 2024 itu bisa dibilang melenceng jauh dari asumsi makro yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.000/US$.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, melencengnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu akan mempengaruhi APBN secara signifikan. Baik dari sisi penerimaan maupun belanja, menurut dia akan terpengaruh pergerakan kurs.

Termasuk belanja PLN dalam hal operasional yang terdampak adalah pembelian bahan bakar dan pelumas. Porsi paling besar yang dibeli adalah batu bara.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa porsi batu bara pada beban bahan bakar dan pelumas menyumbang sampai 43,18%. Sementara untuk memenuhi energi di Tanah Air, energi fosil ini masih menjadi bauran utama yang menyumbang 67% terhadap pembangkit listrik.

Dalam pemenuhan energi fosil itu, pemerintah juga memberikan ketentuan harga batu bara acuan (HBA) berdasarkan porsi Domestic Market Obligation (DMO).

Penentuan DMO biasanya 25% dari total produksi perusahaan batu bara dan untuk HBA ditentukan paling jatuh US$ 70 per ton untuk kebutuhan listrik, meskipun saat ini harga pasar di atas itu. Aturan ini didasarkan Keputusan Menteri ESDM No.139.K/HK.02/MEM.B/2021.

Sementara untuk industri tertentu seperti pupuk, semen, dan lainnya dikenakan DMO sekitar US$ 90 - 100 per ton berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 267.K/MB.01/MEM.B/2023

HBA ini sifatnya fluktuatif, tergantung pada harga internasional dan ditetapkan setiap bulan oleh Kementerian ESDM.

Sayangnya, meskipun pemerintah sudah menetapkan harga lebih murah untuk batu bara DMO, untuk pembeliannya tetap menggunakan harga jual berbasis dolar AS.

Begitu juga dengan harga gas bumi, PLN juga membeli dengan satuan dolar AS. Harga gas biasanya menggunakan satuan US$ per MMBTU.

Sebagai catatan, harga gas alam sepanjang 2024 mengalami kenaikan signifikan lebih dari 40% ke posisi penutupan akhir tahun lalu di posisi US$ 3,63 per MMBTU.

Hal ini memberikan tekanan terutama untuk PLN yang merupakan penyuplai listrik terbesar dan paling utama di Tanah Air di tengah posisi rupiah yang masih dalam tren penurunan terhadap dolar AS.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
| | | |