Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Potensi dari Industri Digital

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia terlalu lama terjebak dalam pertumbuhan ekonomi yang stabil namun datar di kisaran lima persenan. Angka itu memberi rasa aman, tetapi tidak cukup untuk membawa bangsa ini menuju visi Indonesia Emas 2045.

Jika kita ingin melompat lebih tinggi, mencapai delapan persen pertumbuhan ekonomi, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang pondasi ekonomi dengan berani. Salah satu kelemahan utama kita adalah ketergantungan pada impor di sektor strategis.

Server cloud, smart meter, hingga perangkat EDC subsidi masih banyak diproduksi di luar negeri. Akibatnya, miliaran dolar devisa mengalir keluar setiap tahun, sementara industri dalam negeri hanya berperan sebagai konsumen.

Padahal, kita sudah memiliki semua prasyarat untuk membalikkan keadaan. Ukurannya harus lokal, produksinya di lokal, dan perputaran ekonominya pun harus tetap di tanah air.

Bayangkan smart meter yang didesain di Bandung, Jawa Barat, dirakit di pabrik anak bangsa dengan kandungan lokal tinggi, lalu dipasang di rumah pelanggan PLN.

Setiap unit bukan hanya alat pencatat listrik, tetapi juga mesin pertumbuhan: menciptakan lapangan kerja, memperkuat rantai pasok, dan menjaga devisa tetap berputar di dalam negeri.

Hal yang sama dapat dilakukan untuk Wi-Fi 7, EDC subsidi, dan sovereign cloud. Bila semua dikelola secara lokal, keuntungannya berlipat: ekonomi nasional berputar lebih kencang, ketergantungan pada asing berkurang, dan kepercayaan masyarakat tumbuh karena teknologi vital lahir dari tangan bangsa sendiri.

Negara lain telah membuktikan bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari lokalisasi penuh di sektor strategis. Norwegia menyimpan seluruh data migas dalam cloud nasional mereka sehingga setiap tetes minyak terpantau transparan.

India membangun Mineral Tracking System untuk memastikan produksi tambang tidak bocor. China mewajibkan semua data strategis, energi, pangan, hingga militer, hanya boleh hidup di dalam cloud nasional mereka.

Indonesia tidak boleh tertinggal. Kebocoran subsidi energi yang selama ini menjadi beban APBN justru bisa menjadi tambahan pertumbuhan ekonomi bila dikelola dengan sistem digital berdaulat.

Setiap liter BBM bersubsidi, setiap tabung LPG, dan setiap kilowatt listrik murah harus tercatat secara real-time dengan perangkat nasional yang terkoneksi ke cloud lokal. Dengan pengelolaan seperti ini, tambahan satu hingga dua persen pertumbuhan GDP bukan lagi mimpi.

Inilah makna pemurnian pondasi ekonomi. Bukan sekadar soal alat teknologi, tetapi soal memastikan setiap tetes energi, setiap kilogram pangan, setiap rupiah subsidi, dan setiap aliran data benar-benar berada dalam kendali bangsa sendiri.

Pertumbuhan ekonomi 8% tidak akan datang dari wacana besar semata, melainkan dari keberanian untuk memproduksi lokal, mengolah data strategis di lokal, dan memastikan seluruh ekonominya berputar di lokal.

Saatnya kita jujur pada diri sendiri: kedaulatan energi dan digital hanya akan tercapai jika alatnya lokal, datanya lokal, dan ekonominya berputar di lokal. Dengan itu, pertumbuhan ekonomi 8% bukan lagi sekadar target, tetapi keniscayaan.

Read Entire Article
| | | |