Peruntungan Boeing Pascakesepakatan Perdagangan Indonesia dan AS

13 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Meskipun terdapat Agreement on Trade of Civil Aircraft yang ditandatangani pada 1979 oleh 33 negara yang membebaskan tarif untuk perdagangan pesawat sipil, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tetap menjatuhkan tarif pada sektor itu melalui tarif sektoral sebesar 25 persen untuk baja dan aluminium beserta produk turunan yang diimpor dari seluruh dunia.

Pabrikan seperti Boeing, Northrop Grumman, Lockheed Martin, GE Aerospace, Honeywell dan RTX dipastikan akan menaikkan harga jual produk-produk mereka sebab tidak ada material, parts, komponen dan engine yang digunakan bebas dari rantai pasok global.

Airbus yang merupakan pabrikan multinasional Eropa tidak pula kebal dari perang dagang, karena selain terdapat Final Assembly Line di Mobile, Alabama, produksi bagian-bagian fuselage A350 dimanufaktur oleh fasilitas Spirit AeroSystems di Kingston, North Carolina, AS. Akibat penerapan tarif sektoral, sejumlah pihak memprediksi bahwa harga pesawat akan meningkat lebih dari 10 persen.

Indonesia berstatus sebagai pengamat dalam The Committee on Trade of Civil Aircraft yang berada di bawah World Trade Organization. Perniagaan pesawat merupakan salah satu kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat sehingga nilai tarif yang dikenakan kepada Indonesia menjadi 19 persen.

Indonesia sepakat mengimpor 50 pesawat komersial buatan Boeing yang diduga kuat akan digunakan oleh maskapai Garuda Indonesia. Memperhatikan karakter pasar domestik dan internasional firma BUMN tersebut, diperkirakan portofolio Boeing Commercial Airplane yang akan diserap adalah B737 MAX dan B787, walaupun mungkin saja Garuda Indonesia juga mengimpor B777X mengingat lini produksi B777-300ER sudah ditutup pada 2024.

Impor pesawat komersial produksi Boeing merupakan salah satu tawaran yang disodorkan oleh Indonesia dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat, terlebih lagi Garuda Indonesia memerlukan tambahan armada pesawat sebagai bagian dari upaya memperbaiki kinerja keuangan.

Secara total, backlog Boeing sampai 30 Juni 2025 tercatat 5.953 pesawat berbagai tipe, termasuk lebih dari 4.700 B737 MAX. Upaya Boeing meningkatkan kapasitas produksi B737 MAX masih terhalang oleh pembatasan yang diberikan oleh Federal Aviation Administration (FAA) yaitu 38 unit per bulan pascakasus Alaska Airline Flight 1282 pada 5 Januari 2024. Mungkin baru dalam beberapa bulan ke depan FAA akan memberikan izin produksi naik ke angka 42 B737 MAX per bulan sebelum menjadi 47 unit per bulan pada akhir tahun ini.

Peruntungan baik yang akan menghampiri Boeing Commercial Airplane nampaknya tidak diikuti oleh Boeing Defense, Space & Security yang membawahi portofolio F-15EX. Mengingat detail mengenai kesepakatan dagang kedua negara belum diumumkan, menjadi pertanyaan apakah ada kesepakatan di bidang perdagangan pertahanan atau tidak.

Sejumlah sumber memberikan sinyal bahwa perdagangan pertahanan tidak tercakup dalam kesepakatan dagang. Terlepas apakah perdagangan pertahanan tercakup atau tidak dalam kesepakatan dagang kedua negara, terdapat beberapa isu terkait rencana akuisisi F-15EX oleh Jakarta.

Pertama, aspek kepentingan nasional. Pelaksanaan kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan Indonesia harus diabdikan kepada kepentingan nasional Indonesia, bukan diabdikan kepada prinsip Non-Blok. Selama ini terdapat beberapa pejabat senior pemerintah yang salah kaprah dalam memahami hal demikian, di mana urusan pembelian sistem senjata didasarkan pada prinsip Non-Blok dan bukan mengacu pada kepentingan nasional. K

epentingan nasional Indonesia adalah hal utama yang harus dimajukan dalam pergaulan antar bangsa, sebagaimana dicerminkan oleh langkah pemerintah yang bernegosiasi dengan Amerika Serikat dalam urusan dagang agar terhindar dari tarif 32 persen.

Sikap kritis Indonesia terhadap kebijakan politik Barat hendaknya diimbangi pula sikap realistis dan pragmatis terhadap Barat, sebagai bagian dari menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar global. Kedekatan Indonesia dengan Rusia dan China bukan berarti bahwa semua kepentingan nasional Indonesia sudah tercapai, sebab kekuatan dan pengaruh kedua negara juga mempunyai batas.

Penting bagi Indonesia untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat, apalagi di bidang pertahanan di mana sebagian besar sistem senjata yang digunakan oleh Indonesia menggunakan teknologi Amerika Serikat. Terlepas bahwa Indonesia dan Amerika Serikat memiliki perbedaan pandangan dalam sejumlah isu global, menjauhkan diri dari Amerika Serikat adalah tindakan yang tidak mengabdi pada kepentingan nasional Indonesia.

Kedua, ketersediaan program. Hingga sekarang belum ada informasi valid mengenai program F-15EX tercantum dalam Blue Book 2025-2029. Namun terdapat dugaan kuat bahwa program tersebut tidak tercantum dalam dokumen yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Dugaan demikian terkait dengan isu penawaran harga yang diajukan oleh Amerika Serikat mengalami kenaikan beberapa ratus juta Dollar Amerika Serikat disebabkan penawaran pertama tidak dapat direspons secara tepat waktu oleh Indonesia.

Sesuai prosedur dalam skema Foreign Military Sales, jika Departemen Pertahanan Amerika Serikat sudah menerbitkan Letter of Offer and Acceptance (LOA) kepada Kementerian Pertahanan Indonesia, pihak yang terakhir disebut mempunyai masa 60 hari kalender untuk menandatangani LOA sebelum LOA kadaluarsa.

Akan tetapi masa penandatanganan dapat diperpanjang menjadi 105 hari kalender apabila disetujui oleh Amerika Serikat. Tersedia waktu 30 hari kalender bagi Indonesia untuk melakukan pembayaran uang muka tahap pertama terhitung sejak LOA ditandatangani, di mana masa tersebut bersifat kritis dari aspek pembiayaan program. Dengan kata lain, anggaran untuk pembayaran uang muka harus tersedia saat LOA ditandatangani atau minimal segera setelah LOA diteken.

Andaikata benar bahwa Blue Book 2025-2029 tidak mengakomodasi akuisisi F-15EX, hal demikian merupakan anti klimaks. Merupakan fakta bahwa Presiden Prabowo Subianto saat menjabat menteri pertahanan turun tangan langsung dalam rencana akuisisi F-15EX, bukan sekedar memastikan bahwa program itu tercantum dalam Blue Book 2020-2024.

Komitmen Prabowo Subianto dinyatakan pula saat lawatan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin III ke Jakarta pada 21 November 2022. Selain itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyaksikan pula penandatanganan Memorandum of Understanding antara Kementerian Pertahanan dan Boeing tentang pengadaan F-15EX pada 21 Agustus 2023 di St. Louis yang merupakan fasilitas produksi F-15 warisan McDonnell Douglas.

Apakah masih ada asa bagi Boeing untuk mengekspor F-15EX ke Indonesia? Hal demikian tergantung kesepakatan Indonesia dan Amerika Serikat, di mana hal demikian dapat terjadi apabila pemimpin kedua negara mencapai kesepakatan tentang penjualan F-15EX ke Indonesia dengan harga yang terjangkau.

Hendaknya dipahami bahwa daftar kegiatan dalam Blue Book 2025-2029 masih dapat berubah atau direvisi. Blue Book 2020-2024 yang beberapa kali mengalami perubahan program dapat dijadikan preseden.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |