Praktik Komunikasi Kebijakan Publik Maestro: Shinzo Abe dan JB Sumarlin

6 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Terkait dengan isu komunikasi kebijakan pemerintah yang saat ini sedang ramai dibicarakan, dalam tulisan kali ini penulis akan membahas dua komunikasi kebijakan pembangkit perekonomian yang pernah dilakukan baik oleh negara lain maupun Indonesia. Penulis mengambil hikmah dari Abenomics dan Gebrakan Sumarlin. Diharapkan, penyegaran ini bisa menginspirasi kita untuk pengembangan komunikasi kebijakan publik ke depannya.

Dalam gemuruh riuh dunia pascakrisis, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berdiri di persimpangan sejarah, menggenggam bara harapan dalam jemarinya yang dingin. Tahun 2013 menjelma panggung tempat ia melantunkan simfoni Abenomics, tiga anak panah yang menjanjikan kebangkitan ekonomi Jepang, yakni stimulus moneter yang agresif, kebijakan fiskal yang fleksibel, serta reformasi struktural yang hendak membawa Jepang bangun dari tidur panjang deflasi.

Dalam batinnya, Abe bergulat dengan bayang-bayang masa lalu, ragu-ragu apakah suntikan kebijakan moneter longgar dan stimulus fiskal akan membangkitkan gairah atau justru mengobarkan luka lama akan stagnasi ekonomi.

Skeptisisme muncul dari berbagai bank sentral dunia, karena adanya ketakutan Jepang melakukan devaluasi mata uang. Di sisi lain, karena adanya kebijakan moneter yang superekspansif, ada ketakutan akan adanya inflasi super tinggi yang pada ujungnya tidak terjadi.

Di balik podium, Abe mendengar suara para ekonom konservatif yang khawatir akan inflasi tanpa arah, pengusaha tua yang takut kehilangan keseimbangan dalam dunia yang berubah cepat, dan rakyat kecil yang masih menanti hasil nyata di meja makan mereka.

Ia tahu, harapan bisa mengangkat bangsa, namun juga menjatuhkan jika tak ditepati. Apalagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan juga memberikan ukuran-ukuran baru dan perubahan norma ekonomi dalam masyarakat Jepang.

Menariknya, di tengah berbagai serangan yang terjadi terhadap Abenomics, pasar keuangan menyambut kebijakan ini dengan gegap gempita, dengan Nikkei naik sebesar 57% pada tahun 2013, dan Yen yang melemah (dalam hal ini memberikan peningkatan daya saing dari Jepang).

Hari ini, 13 tahun setelah Abenomics, dengan segala kontroversi, kritik dan kekurangannya, Jepang pelan-pelan berhasil keluar dari deflasi dengan kenaikan gaji untuk masyarakat Jepang dan perbaikan ekonomi yang diharapkan, mulai benar-benar terjadi. Percaya tidak percaya, memang pasar keuangan ini memiliki kemampuan untuk memproyeksi masa depan.

Kenapa di tengah segala kritik hebat yang muncul pada Abenomics, pasar keuangan bereaksi positif terhadap kebijakan kontroversial ini? Dampak Abenomics pada ekonomi sektor rill baru kita lihat 10 tahun setelahnya, tapi kenapa pasar saham bereaksi dengan sangat baik?

Salah satu kunci dari hal ini, adalah kemampuan  Abe dan para birokratnya untuk melakukan komunikasi. Dalam praktik kebijakan publik, kita harus selalu ingat bahwa dampak dari satu kebijakan publik akan berbeda terhadap beberapa segmen masyarakat, dan birokrasi Jepang sangat mengerti akan hal ini, dan memutuskan untuk membuat komunikasi yang memikat, memberikan grand design, serta membangun urgensi dari berbagai macam kalangan.

Secara umum, kira-kira ada lima kunci keberhasilan komunikasi Abenomics, yakni:

a. Abenomics berhasil dikomunikasikan dengan bahasa yang sederhana terutama pada tahap awal peluncurannya berkat strategi komunikasi yang jelas, terstruktur, dan dipimpin langsung oleh figur yang kuat seperti  Abe.

Metafor yang digunakan, yakni tiga anak panah pun sangat sederhana dan bisa menggugah rakyat Jepang, apapun profesi dan kepentingannya untuk mendukung program ini. Pelonggaran Moneter, Stimulus Fiskal dan Reformasi Struktural bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dijelaskan, bahkan untuk rakyat paling bawah sekalipun.

Intinya, pemerintah ingin hidup rakyat lebih gampang. Dengan bahasa yang sederhana namun simbolik, ia berhasil membingkai Abenomics sebagai misi kebangkitan nasional dari stagnasi panjang.

b. Kunci kedua kesuksesan komunikasi Abenomics terletak dari kemampuan menunjukkan komitmen politik yang konsisten. Abe selalu tampil sebagai pemimpin yang stabil dan tegas. Ia sering tampil langsung di media dan forum internasional, menunjukkan bahwa Abenomics bukan wacana, melainkan komitmen negara. Ini memberikan kepastian kepada pelaku pasar dan rakyat.

c. Kunci ketiga adalah adanya koordinasi yang kuat dengan bank sentral. Komunikasi yang baik dengan Bank of Japan dengan sang gubernur ketika itu, Haruhiko Kuroda. Forward guidance yang agresif dari BoJ memperkuat pesan Abe, menciptakan kesan bahwa kebijakan ini satu suara dan terkoordinasi. Ini juga menunjukkan koordinasi moneter dan fiskal berjalan dengan baik.

d. Kunci keempat adalah aktif dalam forum-forum global dan menjaga konsolidasi politik domestik, sehingga kebijakan-kebijakan bisa dieksekusi dengan baik. Terkait hal ini, narasi seperti 'Japan is Back' dan 'There is no future without growth' terus menggema di pertemuan G-20 dan forum-forum lainnya.

e. Kunci kelima adalah tidak mundur ketika menghadapi kritik dan hasil yang lambat. Meski inflasi sulit untuk mencapai target 2% dan reformasi struktural berjalan lambat, Abe tetap bertahan pada kerangka Abenomics.

Ia tidak mengganti arah, melainkan terus mendorong kebijakan tambahan, termasuk strategi pertumbuhan jangka menengah, reformasi kebijakan pajak, serta inisiatif "Society 5.0" untuk mendorong inovasi.

Terlepas dari segala kekurangannya, komunikasi dan eksekusi Abenomics telah membawa perubahan pada masyarakat Jepang. Hal-hal di atas bisa menjadi pelajaran penting untuk Indonesia, yang sedang berusaha untuk memberikan komunikasi kebijakan yang baik, walau masalah ekonomi yang kita hadapi serupa tapi tak sama.

Pelajaran dari Abenomics menunjukkan bahwa komunikasi dan eksekusi harus dilakukan sejalan lewat koordinasi yang kuat dari berbagai elemen masyarakat dan negara.

Belajar dari JB Sumarlin
Program kebangkitan ekonomi kedua yang perlu kita baca kembali adalah Gebrakan Sumarlin. Gebrakan ini penting untuk kita bahas karena merupakan salah satu titik balik ekonomi Indonesia untuk berubah dari kesulitan ekonomi yang kronis, di tengah penurunan harga minyak, mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik.

Dalam beberapa kesempatan, strategi JB Sumarlin berhasil membawa pertumbuhan ekonomi melebihi target, seperti tahun 1988. Di sini, akan kita coba ingatkan kembali bagaimana latar belakang, kebijakan dan bagaimana komunikasi kebijakan ini dilakukan.

Setelah oil boom, kondisi perekonomian Indonesia mandeg, dengan ketidakstabilan mata uang terjadi terus menerus, dengan kebijakan devaluasi rupiah jamak terjadi untuk menghadapi defisit neraca transaksi berjalan, dengan kondisi inflasi tinggi, serta terjadi fase peningkatan kredit yang berlebihan sehingga menyebabkan ketidakseimbangan perekonomian yang hebat.

Sumarlin, Menteri Keuangan, seorang veteran perang gerilya, yang kemudian memilih jalan teknokratik yang orthodox mengambil kebijakan. Ia dikenal sebagai teknokrat yang serius dan tidak populis. Komunikasinya bersifat langsung, teknis, dan berbasis data.

Dalam waktu yang tidak terlalu singkat di tahun 1987, paket kebijakan moneter dan fiskal ketat yang diterapkan untuk menurunkan inflasi, mengendalikan likuiditas, dan menjaga stabilitas rupiah. Kebijakan utamanya meliputi kenaikan suku bunga secara tajam, pengetatan uang beredar, penundaan belanja pemerintah non-prioritas, pengendalian ketat terhadap kredit perbankan.

Namun dalam praktiknya, ada beberapa unintended consequence yang muncul. Dikarenakan kebijakan tersebut terjadi sangat cepat dan komunikasi yang terbatas, gejolak terjadi di kalangan swasta dan pengusaha.

Sumber dari Tempo di tahun 1989, yang berjudul wawancara dengan pengusaha tekstil dan industri kecil, diceritakan bahwa persepsi dunia usaha ketika itu melihat bahwa kebijakan yang ketat ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Beberapa bank kecil juga melaporkan terjadinya kesulitan likuiditas dalam proses terjadinya kebijakan ini. Beberapa pengusaha mencoba melobi pejabat untuk melunakkan kebijakan ini.

Namun, karena kuatnya posisi Sumarlin dan teknokrat saat itu, kebijakan tetap dijalankan tanpa banyak kompromi. Tetapi masalahnya, minimnya Informasi yang diberikan membuat para pelaku ekonomi tidak siap.

Dalam beberapa literatur dan biografi pengusaha kawakan yang penulis baca juga menunjukkan bahwa ada kekhawatiran yang besar terkait kebijakan pada periode ini, yang kemudian berlanjut kepada Gebrakan Sumarlin 2. Protes tetap mengalir deras.

Bahkan publikasi Tempo bertanggal 23 November 1991 memiliki tajuk "Dana tidak Lagi Ketat, Tapi Tersumbat". Bursa Efek Jakarta yang telah dibuka juga mengalami penurunan ketika Gebrakan Sumarlin 2 dilakukan dikarenakan komunikasi yang belum kalon.

Serangan kepada kebijakan ini muncul bertubi-tubi, walaupun kebijakan Gebrakan Sumarlin dan turunannyalah yang kemudian membuat pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 8% pada tahun 1995.

Dari kondisi yang terjadi di akhir tahun 80an ini, kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa kebijakan yang baik saja tidak cukup. Kita harus bisa mengkomunikasikan target komunikasi kebijakan dari pemerintah ke masyarakat dengan cara bertahap sesuai dengan zaman dan urgensinya.

Komunikasi tersebut harus dilakukan secara inklusif dan tepat sasaran. Hal-hal yang mendetail terkait program baru juga harus dikomunikaskan.

Kembali ke isu komunikasi kebijakan pemerintah Indonesia saat ini, belajar dari dua kasus besar yang pernah terjadi, adanya tantangan terhadap kebijakan adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Pada kebijakan publik apapun seperti Makan Bergizi Gratis dan realokasi anggaran, pro dan kontra adalah hal yang lumrah terjadi.

Apalagi di tengah era keterbukaan akses dan informasi, pembentukan ekspektasi yang benar kepada masyarakat, serta membangun kesamaan persepsi dan urgensi menjadi hal yang mutlak dilakukan. Pemberian Informasi yang secara konsisten harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kebingungan publik, yang berujung pada gejolak yang seharusnya tidak terjadi.

Walau bagaimanapun, untuk mencapai sasaran pembangunan, dukungan dari berbagai elemen masyarakat diperlukan. Pembentukan persepsi dan komunikasi yang baik, serta membuat setiap agen ekonomi memahami perannya dalam pembangunan adalah sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |