Purbaya Pastikan Utang RI Terukur, Ekonomi Gak Morat-Marit Kayak 1998

11 hours ago 1

Jakarta,CNBC Indonesia - Kekhawatiran akan kondisi utang Indonesia kembali menjadi perbincangan, terutama dengan besarnya utang jatuh tempo.

Kekhawatiran utang itu menjadi salah satu fokus dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kondisi utang Indonesia saat ini masih dalam batas aman dan terkendali.

Menurutnya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan banyak negara lain di kawasan. Karena itu, pemerintah tetap berkomitmen mengelola pembiayaan dengan hati-hati dan produktif, guna menjaga kesinambungan fiskal tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Seperti diketahui, utang jatuh tempo pemerintah diperkirakan bengkak menjadi Rp 833 triliun pada tahun depan. Dengan belanja yang cukup agresif, publik juga khawatir pemerintah akan menggenjot utang ke depan.

"Kalau saya hentikan utang, dan ekonomi terus turun karena gak bisa bangun dan berantakan, ekonomi morat-marit seperti 1998, murah mana? Saya terbitkan utang dalam jumlah yang terukur dan menciptakan pertumbuhan ekonomi sambil menghidupkan sektor swasta. Kita 1998 lagi atau maintain utang di level yang controllable, tapi ekonomi yang tumbuh. Jadi itu masalah pilihan," ujar Purbaya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Pernyataan tersebut menegaskan pandangan pemerintah bahwa utang bukan semata beban, melainkan instrumen strategis untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan global dan kebutuhan pembangunan yang meningkat.

Untuk memahami posisi fiskal Indonesia saat ini, penting melihat seperti apa kondisi utang pemerintah terkini dan bagaimana arah pengelolaannya sejauh ini.

Kondisi Utang RI Terkini

Berdasarkan laporan Profil Utang Pemerintah Edisi Juli 2025 oleh Kementerian Keuangan melalui DJPPR. Per Juni 2025, posisi utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp9.138 triliun, meningkat dari Rp8.813 triliun pada akhir 2024.

Kenaikan ini sejalan dengan upaya pemerintah menjaga kesinambungan fiskal di tengah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan fluktuasi pasar keuangan global.

Meskipun demikian, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terkendali di kisaran 38,1%. Angka ini masih jauh di bawah batas aman di 60% seperti yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2003.

Dari sisi struktur, mayoritas utang pemerintah berbentuk Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 87,3% dari total utang, atau sekitar Rp7.981 triliun.

Adapun pinjaman pemerintah dari luar negeri (baik bilateral, multilateral, maupun komersial) serta pinjama dalam negeri menyumbang 12,7% dari total portofolio.

Dari total utang tersebut, 71% berdenominasi rupiah, sedangkan 16,4% dalam valuta asing, yang menunjukkan penurunan eksposur terhadap risiko nilai tukar.

Sementara itu, hingga 30 September 2025, realisasi pembiayaan utang dalam APBN tercatat mencapai Rp501,5 triliun, atau 68,6% dari target (outlook) Rp731,5 triliun.

Pemerintah menegaskan bahwa pembiayaan utang masih berjalan "on track" dan bersifat antisipatif, dengan strategi mitigasi risiko melalui prefunding, cash buffer yang memadai, serta active debt management.

Langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan pembiayaan pembangunan tetap berkelanjutan tanpa menimbulkan tekanan berlebihan terhadap APBN.

Melihat Sejarah Krisis Keuangan 1998

Purbaya mengingatkan Indonesia memiliki pengalaman pahit pada krisis 1997/1998 di mana ekonomi terkoreksi tajam. Saat itu, pemerintah terpaksa berhutang banyak termasuk ke Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelamatkan ekonomi. 
Rasio utang Indonesia terhadap PDB bahkan melonjak dari sekitar 38% sebelum krisis menjadi 88% pada 2000.

Setelah melewati pertumbuhan tinggi, Indonesia mengalami resesi hebat pada 1998. Pada 1998, ekonomi terkontraksi hingga 13,16% sementara inflasi Indonesia melambung 77,63%.

Ekonomi domestik terkontraksi 6,4% pada kuartal I. Kontraksi semakin membesar menjadi 16,8% pada kuartal II dan 17,4% pada kuartal IV.

Resesi 1998 dipicu oleh Krisis Keuangan Asia. Krisis bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.

Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13% lebih.

Indonesia harus membayar mahal atas terjadinya krisis 1997/1998 yakni runtuhnya pemerintahan hingga krisis politik dan sosial yang mengakibatkan kerusuhan massal.

Krisis moneter bahkan sampai menjalar ke ranah politik dan sosial hingga menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun.

Resesi 1998 juga harus dibayar oleh kerusuhan masal dan empat korban jiwa dari mahasiswa yang berdemo menentang pemerintahan Soeharto.

Resesi pada 1998 juga melambungkan angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3% pada 1996.

Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 49,5 juta orang, atau sekitar 24,2%.

Akibat resesi, industri besar dan sedang berkurang drastis dari 22.997 perusahaan pada 1996 menjadi 20.422 pada 1998. Jumlah tenaga kerja pada periode tersebut anjlok hingga 18,5% atau 3,53 juta orang.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
| | | |