Tiba-Tiba Eks Menlu RI Bahas soal 'Kiamat' Baru Dunia, Apa Itu?

3 days ago 8

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis air menjadi persoalan yang sangat personal bagi dunia. Setidaknya ini dikatakan Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah (Convention on Wetlands) Musonda Mumba dan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Air, Retno Marsudi.

Berasal dari Asia Tenggara dan Afrika bagian selatan, keduanya menyaksikan langsung bagaimana air menentukan nasib komunitas dan negara. Di berbagai belahan dunia, banjir telah menjadi risiko yang terus-menerus muncul dan menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian ekonomi besar sementara di belan bumi lain kekeringan melanda.

"Air menghilang di tempat yang paling membutuhkannya dan datang berlebihan di tempat yang tidak diharapkan," tulis Mumba dan Retno dalam artikel bersama yang dirilis di website resmi United Nation seperti dikutip di Jakarta, Rabu (9/5/2025).

"Satu dari empat orang di dunia tidak memiliki akses ke air bersih," tambah mereka.

Pada 2022 saja, lebih dari 90 juta orang terdampak banjir dengan kerugian melebihi US$120 miliar. Sementara itu, kekeringan yang berkepanjangan di wilayah lain seperti Afrika bagian selatan menyebabkan sungai-sungai mengering, melumpuhkan sektor pertanian dan energi, serta memicu krisis air.

Menurut Mumba dan Retno, tantangan banjir dan kekeringan ini sebenarnya terhubung oleh satu kebenaran sederhana.

Keduanya menyebut, mereka tak bisa menyelesaikan masalah air tanpa melindungi ekosistem yang mengaturnya,

Karenanya keduanya menyoroti pentingnya lahan basah sebagai pengelola air alami paling efektif. Sawah di Asia Tenggara, misalnya, tidak hanya penting untuk produksi pangan, tetapi juga berfungsi sebagai reservoir alami yang mengatur aliran air musiman.

Hutan bakau melindungi garis pantai dari gelombang badai. Sementara lahan basah di Afrika seperti Delta Okavango menyediakan air dan lahan penggembalaan selama musim kering.

"Kendati begitu, lahan basah saat ini menghilang tiga kali lebih cepat daripada hutan," tambah keduanya.

"Setiap lahan basah yang hilang memperlemah kemampuan kita untuk mengelola air secara berkelanjutan," ujar mereka.

Kesenjangan pembiayaan sektor air global diperkirakan mencapai US$1 triliun per tahun, namun hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk solusi berbasis alam. Padahal, menurut Mumba dan Retno, restorasi lahan basah seringkali menjadi solusi yang lebih hemat biaya dibandingkan membangun infrastruktur baru seperti bendungan atau instalasi pengolahan air.


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Persiapan Indonesia Jelang World Expo 2025 Osaka

Next Article Retno Marsudi Diangkat Jadi Direktur Perusahaan Singapura Gurin Energy

Read Entire Article
| | | |