Trump Ancam Balas Dendam Usai Uni Eropa Denda Google Rp53 Triliun

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengambil langkah balasan setelah Komisi Eropa menjatuhkan denda €2,95 miliar (setara Rp53 triliun) kepada Google. Raksasa teknologi itu dianggap menyalahgunakan dominasinya dalam industri periklanan digital.

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut denda itu sangat tidak adil dan diskriminatif. Ia menegaskan pemerintahannya tidak akan membiarkan tindakan semacam itu terhadap perusahaan Amerika.

"Jika perlu, saya akan memulai proses Section 301 untuk membatalkan penalti yang tidak adil ini," tulis Trump dikutip dari Euronews, Minggu (7/9/2025).

Aturan Section 301 dalam Undang-Undang Perdagangan AS 1974 memungkinkan Washington menjatuhkan sanksi kepada negara asing yang dinilai memberatkan perdagangan AS.

"Saya akan berbicara dengan Uni Eropa," tambah Trump saat ditemui wartawan di Gedung Putih, Jumat (5/9/2025).

Komisi Eropa menyatakan penyelidikan menemukan Google memanfaatkan kekuatannya dengan mengutamakan layanan teknologi iklan milik sendiri, merugikan pesaing, pengiklan, dan penerbit. Fokus investigasi tertuju pada AdX exchange dan DFP ad platform, dua alat utama dalam bisnis iklan digital Google.

Ini merupakan kali keempat sejak 2017 Google dijatuhi denda antitrust bernilai miliaran euro oleh Brussel. Meski jumlahnya besar, pengamat menilai denda itu hanya "uang receh" bagi Google yang meraup pendapatan €24 miliar pada kuartal II-2025.

Google menyebut keputusan itu "salah" dan akan mengajukan banding. Perusahaan diberi waktu 60 hari untuk menawarkan solusi, namun Komisi Eropa menilai langkah efektif mungkin hanya bisa dicapai lewat pemisahan sebagian bisnis iklan Google.

Tekanan dari Eropa

Denda terbaru dipicu keluhan dari European Publishers Council (EPC). Organisasi tersebut menilai denda saja tidak cukup dan menyerukan agar Google dipaksa menjual unit bisnis iklannya.

"Fakta bahwa Google terus menyalahgunakan kekuasaannya menunjukkan denda bukan solusi," kata Direktur Eksekutif EPC Angela Mills Wade.

Sejumlah pejabat tinggi Eropa juga mendukung opsi pemisahan, dengan alasan denda dan aturan perilaku di masa lalu gagal menghentikan praktik monopoli Google.

Peneliti senior Future of Technology Institute, Cori Crider menilai keputusan Brussel merupakan langkah penting melawan dominasi Big Tech. "Namun hanya pemecahan struktur yang bisa mengakhiri monopoli Google," ujarnya.

Kasus ini pun menambah panas hubungan transatlantik yang belakangan diwarnai perselisihan soal perdagangan, tarif, dan regulasi teknologi.

Google sendiri juga tengah menghadapi tekanan di Amerika Serikat. Awal pekan ini, hakim federal AS menyatakan perusahaan memiliki monopoli ilegal dalam pencarian online. Namun pengadilan menolak permintaan pemerintah untuk memaksa penjualan browser Chrome.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article 7 Cara Menghapus Jejak Digital di Internet, Silakan Dicoba!

Read Entire Article
| | | |