Tsunami PHK Hantam Amerika, 700 Lebih Perusahaan Bangkrut

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang kebangkrutan melanda Amerika Serikat (AS) sepanjang 2025, menghantam hampir seluruh lapisan perekonomian, mulai dari perusahaan raksasa, usaha kecil, hingga rumah tangga. Fenomena ini mencerminkan tekanan keuangan yang kian berat akibat kenaikan biaya hidup, pengetatan kredit, serta ketidakpastian geopolitik global.

Data terbaru menunjukkan kebangkrutan perusahaan besar di AS telah mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Bahkan, kebangkrutan kini tidak lagi terkonsentrasi pada sektor tertentu, melainkan menyebar luas ke berbagai industri dalam pola yang dinilai tidak lazim.

"Kenaikan biaya, kondisi kredit yang lebih ketat, dan volatilitas geopolitik yang berkelanjutan terus memberikan tekanan pada rumah tangga dan bisnis yang sudah berada dalam kondisi keuangan rapuh," ujar Direktur Eksekutif American Bankruptcy Institute (ABI) Amy Quackenboss, seperti dikutip Business Insider.

Berbeda dengan krisis ekonomi sebelumnya, gelombang kebangkrutan kali ini dinilai menyerang hampir semua sektor. Robert Stark, mitra firma hukum Brown Rudnick sekaligus Ketua Praktik Kepailitan dan Restrukturisasi Perusahaan, menyebut pola tersebut sebagai sesuatu yang jarang terjadi.

"Biasanya, kebangkrutan melekat pada industri yang sama. Namun sekarang, kebangkrutan tampaknya terjadi di mana-mana," kata Stark. Ia menambahkan, kondisi ini sangat tidak biasa dalam lebih dari 30 tahun pengalamannya menangani perkara kepailitan.

Sepanjang 2025, sejumlah perusahaan besar mengajukan perlindungan kebangkrutan, termasuk Sonder, Spirit Airlines, Del Monte Foods, peritel Claire's, serta Omnicare, anak usaha CVS Health. Masing-masing perusahaan tersebut melaporkan kewajiban lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,8 triliun, menjadikannya deretan kebangkrutan terbesar tahun ini.

Berdasarkan data S&P Global Market Intelligence, hingga November 2025 terdapat 717 pengajuan kebangkrutan perusahaan, melampaui total tahun lalu sebanyak 687 kasus. Bahkan tanpa menghitung data Desember, 2025 sudah mencatat angka kebangkrutan tahunan tertinggi sejak 2010, saat jumlah pengajuan mencapai 828.

Sektor industri menjadi yang paling tertekan dengan 110 perusahaan mengajukan kebangkrutan hingga November. Disusul sektor barang konsumsi non-esensial dengan 85 pengajuan, serta sektor kesehatan sebanyak 46 perusahaan.

Tekanan finansial juga dirasakan pelaku usaha kecil. Perusahaan kecil dan individu dengan total utang hingga US$3.024.725 atau sekitar Rp47,8 miliar dapat mengajukan kebangkrutan melalui Subbab V Bab 11, yang dirancang lebih sederhana dan cepat.

Data Epiq Bankruptcy Analytics menunjukkan pengajuan Subbab V menembus lebih dari 2.300 kasus hingga pertengahan Desember, naik hampir 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada November saja, tercatat 223 pengajuan, melonjak 23% secara tahunan, menurut ABI.

Tak hanya korporasi, kebangkrutan individu juga meningkat seiring membengkaknya biaya hidup. Pengajuan kebangkrutan pribadi naik 8% menjadi 40.973 kasus pada November 2025, dari 37.814 kasus pada periode yang sama tahun lalu.

Pengajuan Bab 7, atau kebangkrutan likuidasi, melonjak 11% menjadi 25.329 kasus. Sementara itu, pengajuan Bab 13, yang memungkinkan individu melunasi sebagian atau seluruh utangnya melalui skema cicilan, meningkat 5% menjadi 15.558 kasus.

"Bagi keluarga dan perusahaan yang terbebani utang, kebangkrutan tetap menjadi jalur penting untuk memulihkan stabilitas dan membangun kembali masa depan keuangan yang lebih kuat," tutur Quackenboss.

(tfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
| | | |