Jakarta, CNBC Indonesia- Sejak berabad-abad lalu, rempah-rempah menjadi alasan utama bangsa-bangsa berlayar menembus samudera.
Jalur rempah yang melintasi Nusantara bahkan melahirkan interaksi ekonomi, budaya, hingga politik global. Kini, di tengah modernisasi rantai pasok pangan, rempah tertentu tetap menempati posisi istimewa.
Harganya bisa melambung jauh, bahkan lebih mahal dari emas jika dihitung per gram.
Di puncak daftar rempah termahal, terdapat saffron dengan harga sekitar US$ 2.400 per pon atau US$ 5.291 per kg. Bila dirupiahkan angkanya Rp 87,06 juta/kg (US$1=16.455).
Rempah ini sering disebut "emas merah" karena proses produksinya yang sangat rumit. Dalam satu tahun, masa panennya hanya berlangsung tiga minggu, dan dibutuhkan hingga 80 ribu bunga untuk menghasilkan satu pon saffron kering.
Foto: Saffron Crocus. (Dok: Istimewa)
Saffron Crocus. (Dok: Istimewa)
Iran mendominasi pasar dengan menguasai sekitar 90 persen produksi dunia, sementara permintaan terus meningkat dari Eropa, Timur Tengah, hingga Amerika Serikat. Tidak heran, nilainya seringkali melebihi harga logam mulia.
Posisi kedua ditempati mahlab, rempah dari biji pohon ceri St. Lucie yang tumbuh di kawasan Timur Tengah dan Mediterania. Meski proses produksinya tidak serumit saffron, keterbatasan jumlah biji membuat harganya tetap tinggi, sekitar US$ 718 per pon.
Rempah ini lebih banyak digunakan di roti manis dan kue tradisional, sehingga pasarnya relatif niche, namun tetap bernilai tinggi.
Foto: Mahlab. (Dok. Freepik)
Mahlab. (Dok. Freepik)
Vanila berada di urutan ketiga dengan harga sekitar US$540 per pon. Madagaskar dan Meksiko menjadi dua produsen utama. Vanila dikenal sebagai salah satu rempah paling rumit untuk diproduksi.
Tanamannya butuh waktu bertahun-tahun untuk matang, dan setiap polong harus dipetik secara manual pada saat yang tepat. Faktor ini menjadikan vanila bukan hanya bumbu dapur, tetapi juga komoditas penting bagi industri makanan dan parfum global.
Pasar vanila diperkirakan akan menembus 1,3 miliar dolar AS pada 2025, mencerminkan betapa tingginya permintaan dunia.
Foto: Vanilla Ripeness (Tangkapan layar IG desa_ekspor_indonesia)
Vanilla Ripeness (Tangkapan layar IG desa_ekspor_indonesia)
Di bawah vanila, ada fennel pollen dengan harga US$421 per pon. Rempah ini berasal dari serbuk sari tanaman adas yang dipanen secara manual, membuat ketersediaannya sangat terbatas. Lalu ada long pepper atau pipli dari India yang dijual US$419 per pon.
Pada era Romawi, rempah ini sempat menjadi favorit di Eropa sebelum akhirnya digantikan oleh cabai dari benua Amerika. Kini, long pepper kembali diminati di Asia Selatan, terutama dalam pengobatan tradisional, sehingga mendorong harga kembali tinggi.
Cardamom menyusul dengan harga US$268 per pon. Meski kini Guatemala menjadi eksportir terbesar, cardamom tetap identik dengan Asia tropis, digunakan luas dalam teh, roti, hingga bumbu kari.
Foto: Cardamom. (Dok. Freepik)
Cardamom. (Dok. Freepik)
Grains of paradise dari Afrika Barat, dengan harga US$250 per pon, juga menarik. Pada abad ke-15, rempah ini begitu bernilai hingga Portugis menguasai perdagangan eksklusifnya. Black cumin seeds dengan harga serupa banyak dipakai di Timur Tengah dan Afrika Utara, menambah kekayaan cita rasa kari dan olahan daging.
Di Asia Tenggara, daun jeruk purut atau kaffir lime leaves menempati posisi ke-9 dengan harga US$233 per pon. Meski terlihat sederhana, daun ini menjadi elemen penting dalam kuliner Thailand, Indonesia, hingga Kamboja.
Produksinya yang terbatas membuat harganya melambung di pasar internasional. Menutup daftar adalah cengkeh atau cloves dari Maluku, Indonesia, dengan harga US$133 per pon. Bagi Indonesia, cengkeh adalah komoditas strategis karena menopang industri rokok kretek yang menyerap hampir seluruh produksi domestik.
Saffron, vanila, dan cardamom , memiliki peran besar dalam industri makanan dan parfum.
Sementara rempah seperti cengkeh dan daun jeruk purut justru membuka peluang bagi negara produsen, termasuk Indonesia, untuk memperkuat ekspor non-migas.
Foto: Ilustrasi Cengkeh. (Dok. Freepik)
Ilustrasi Cengkeh. (Dok. Freepik)gh quality photo
Indonesia memiliki keunggulan historis sekaligus geografis dalam perdagangan rempah. Cengkeh Maluku, pala Banda, hingga daun jeruk purut, semua bisa diposisikan sebagai produk premium di pasar internasional.
Tren global yang semakin condong ke arah makanan alami dan organik semakin membuka peluang.
Dengan strategi branding, hilirisasi, dan promosi yang tepat, rempah Nusantara tidak hanya bisa mengulang kejayaan masa lalu, tetapi juga menjadi bagian penting dalam diplomasi ekonomi modern.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)