7 Update Perang Dagang Trump, Jilat Ludah Sendiri-AS Mau Resesi?

5 hours ago 5
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang yang dideklarasikan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui tarif memasuki babak baru. Dalam update terbaru, Trump akan mengurangi dampak tarif otomotif.

Selain itu, tepat pada 100 hari pemerintahan Trump, pasar saham AS memasuki masa-masa terburuk.

Berikut update lain terkait perang dagang dan tarif Trump, seperti dihimpun CNBC Indonesia dari berbagai sumber pada Selasa (29/4/2025).

Trump Revisi Tarif Otomotif

Melansir Reuters, mengutip para pejabat terkait, Trump bakal mengurangi beberapa bea yang dikenakan pada suku cadang asing pada mobil yang diproduksi di dalam negeri. Ini untuk menjaga tarif pada mobil yang dibuat di luar negeri agar tidak "menumpuk" di atas tarif lain.

"Presiden Trump tengah membangun kemitraan penting dengan para produsen mobil dalam negeri dan para pekerja Amerika kita yang hebat," kata Menteri Perdagangan Howard Lutnick dalam sebuah pernyataan yang diberikan oleh Gedung Putih.

"Kesepakatan ini merupakan kemenangan besar bagi kebijakan perdagangan Presiden dengan memberi penghargaan kepada perusahaan yang memproduksi di dalam negeri, sekaligus menyediakan landasan bagi para produsen yang telah menyatakan komitmen mereka untuk berinvestasi di Amerika dan memperluas produksi dalam negeri mereka," tambahnya.

The Wall Street Journal, yang pertama kali melaporkan perkembangan tersebut, mengatakan bahwa langkah ini artinya perusahaan mobil yang membayar tarif tidak akan dikenakan pungutan lain, seperti pungutan pada baja dan aluminium. Penggantian biaya juga akan diberikan untuk tarif yang telah dibayarkan.

Seorang pejabat Gedung Putih mengonfirmasi laporan tersebut. Ia mengindikasikan bahwa langkah tersebut akan diresmikan pada Selasa.

Langkah untuk melunakkan dampak pungutan otomotif merupakan cara pemerintahan Trump untuk menunjukkan fleksibilitas pada tarif. Aturan dagang Trump itu telah menimbulkan kekacauan di pasar keuangan, menciptakan ketidakpastian bagi bisnis, serta memicu kekhawatiran akan perlambatan ekonomi yang tajam.

Pasar Saham AS Terburuk, Kedua Sejak Nixon

Menjelang 100 hari masa pemerintahan Trump pada Rabu esok, pasar saham AS, Wall Street, memasuki masa-masa terburuk. Hal ini terlihat dari data CFRA Research, yang dimuat CNBC International, Selasa.

Dalam laporan tersebut, Indeks S&P 500 misalnya mencatat kinerja terburuk kedua sepanjang sejarah 100 hari presiden AS.

S&P 500 turun hingga 7,9% sejak Trump dilantik pada tanggal 20 Januari hingga penutupan pada tanggal 25 April. Ini menjadi terburuk kedua setelah Presiden Richard Nixon tahun 1973 di mana S&P 500 jatuh 9,9%.

S&P 500 'terbakar' setelah serangkaian langkah ekonomi diambil Nixon kala itu untuk memerangi inflasi, yang mengakibatkan resesi tahun 1973 hingga 1975. Nixon kemudian mengundurkan diri pada tahun 1974 karena skandal Watergate.

Ini berbeda dengan rata-rata dalam data pascapemilu mulai dari 1944 hingga 2020. S&P 500 naik 2,1% dalam 100 hari pertama untuk setiap presiden.

"Tingkat keparahan penurunan saham untuk memulai masa jabatan kepresidenan Trump sangat kontras dengan euforia awal setelah kemenangannya dalam pemilihan umum November, ketika S&P 500 melonjak ke titik tertinggi sepanjang masa di tengah keyakinan bahwa mantan pengusaha itu akan membawa banyak harapan untuk pemotongan pajak dan deregulasi," muat data CFRA.

Ini berbeda dari hari pemilihan hingga hari pelantikan Trump. Di mana, S&P 500 naik 3,7%. Reli itu tersendat dan kemudian menukik tajam saat Trump menggunakan hari-hari awalnya menjabat untuk mendorong janji-janji kampanye. Salah satunya kebijakan imigrasi dan tarif.

Tarif impor yang diterapkan pemerintah AS mulai menuai petaka di sektor ritel. Pegatron, pemasok utama Apple dan Dell, mengatakan bahwa tarif yang diberlakukan oleh Trump telah membingungkan para konsumen AS.

Mereka juga memperingatkan bahwa kebijakan tersebut berisiko mengakibatkan kelangkaan barang-barang elektronik konsumen di AS.

Chairman Pegatron, T.H. Tung, mengatakan pemberlakuan tarif yang naik-turun secara tiba-tiba telah membingungkan pelanggan di AS. Tung mengungkapkan bahwa kekacauan ini berisiko besar menyebabkan kelangkaan produk elektronik konsumen.

"Dalam dua bulan ke depan, rak di Amerika Serikat bisa menyerupai negara dunia ketiga, di mana orang datang ke toko atau pasar hanya untuk menemukan rak-rak kosong, semua karena semua pihak memilih menunggu dan melihat," kata Tung, dikutip dari laporan Reuters, Senin.

Bulan ini, Trump sempat mendadak menunda sebagian tarif untuk beberapa negara mitra dagang seperti Vietnam, Indonesia, dan India, tempat Pegatron memiliki basis produksi. Namun, tarif 10% untuk hampir semua barang impor ke AS tetap diberlakukan.

Meski penundaan ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit ruang bernafas bagi pelaku pasar selama proses negosiasi dagang, Tung menilai para importir AS belum tentu akan berani meningkatkan pengiriman barang.

"Mereka akan tetap berhati-hati jika merasa tarif 10% ini nantinya akan dibatalkan," ujarnya, menambahkan bahwa aksi Trump telah mengganggu kelancaran logistik global yang menjadi tulang punggung rantai pasok modern.

Pegatron diketahui mulai memindahkan sebagian produksi dari China ke negara-negara Asia Tenggara serta Meksiko sejak periode pertama Trump menjabat.

Pedagang E-commerce Menyerah Gegara Tarif Trump

Tarif tinggi yang diberlakukan oleh Trump terhadap barang-barang asal China membuat banyak pelaku e-commerce menyerah dalam memberikan diskon kepada konsumen. Mereka memilih untuk tidak ikut dalam program diskon besar-besaran seperti Amazon Prime Day 2025.

Banyak penjual pihak ketiga di Amazon yang sebelumnya rutin ikut Prime Day yang menawarkan potongan harga besar, kini memutuskan untuk absen atau mengurangi jumlah produk diskon demi menjaga margin keuntungan mereka.

Ini terjadi setelah Trump menaikkan tarif impor barang China hingga 145% per 9 April, yang secara signifikan menambah biaya produksi para pelaku usaha.

Salah satunya adalah Steve Green, penjual sepeda dan skateboard asal China. Ia mengatakan ini baru pertama kali dirinya melewatkan Prime Day sejak 2020. Ia lebih memilih menyimpan stok lama untuk dijual dengan harga penuh ketimbang harus menanggung biaya tinggi akibat tarif baru.

Hal serupa dilakukan oleh CEO Bogg Bag, Kim Vaccarella. Perusahaannya menghentikan produksi di China dan kini mencoba memindahkan manufaktur ke Kamboja dan Vietnam, sembari menyasar penjualan ke toko retail besar di AS.

Meskipun Amazon tetap optimis dengan menyebut respons dari penjual cukup kuat untuk Prime Day tahun ini, para konsultan yang mendampingi ratusan seller mengungkapkan bahwa banyak yang menarik diri atau mengurangi promosi.

Beberapa penjual memilih menaikkan harga, mengurangi iklan, atau mengimpor barang secara bertahap agar tidak terlalu terdampak.

Dengan lebih dari 62% unit produk di Amazon berasal dari penjual pihak ketiga, mundurnya beberapa penjual dari Prime Day bisa berdampak pada berkurangnya diskon, pilihan barang, hingga pendapatan iklan Amazon sendiri.

China Kembali Bantah sedang Nego Tarif dengan AS

Di tengah pernyataan bertubi-tubi dari Trump dan pejabat pemerintahannya yang menyiratkan bahwa negosiasi dagang dengan China sedang berlangsung, Beijing kembali mempertegas sikapnya: tidak ada konsultasi atau pembicaraan terkait tarif yang sedang dilakukan dengan Washington.

"Untuk memperjelas sekali lagi, China dan Amerika Serikat tidak sedang melakukan konsultasi atau negosiasi apapun terkait tarif," tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, dalam konferensi pers pada Senin.

Pernyataan Guo ini juga menepis klaim Trump dalam wawancaranya dengan Time pekan lalu, di mana Trump mengatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghubunginya secara langsung.

"Sejauh yang saya ketahui, tidak ada panggilan antara kedua presiden dalam waktu dekat ini," ujar Guo.

Penegasan terbaru ini menunjukkan konsistensi sikap keras Beijing terhadap tarif besar-besaran sebesar 145% yang diberlakukan Trump terhadap impor barang dari China - salah satu pemasok utama produk ke Amerika Serikat.

Di sisi lain, pejabat pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent, tetap bersikeras bahwa Amerika Serikat berada dalam posisi lebih baik untuk memenangkan perang dagang dibandingkan China.

Deal Baru Singapura-AS soal Perang Dagang

Singapura sedang merundingkan konsesi untuk ekspor farmasi ke AS di tengah tarif perdagangan yang ditetapkan Trump. Hal ini diketahui setelah Wakil Perdana Menteri Singapura yang juga Menteri Perdagangan, Gan Kim Yong, menelepon Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick akhir pekan kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Gan mengatakan bahwa farmasi menyumbang lebih dari 10% dari ekspor negara kota itu ke AS. Ia menyebut sedang mencari solusi bersama untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang baru.

"Meskipun AS tidak siap untuk menurunkan tarif dasar 10%, kami sepakat untuk menjajaki cara memperdalam hubungan ekonomi kami secara positif dan kami akan terus membahas cara praktis ke depannya," tulis Gan di halaman LinkedIn-nya, dikutip AFP, Senin.

"Saya menyambut Menteri Lutnick untuk mengunjungi Singapura, dan berharap untuk lebih mengembangkan kemitraan perdagangan dan investasi kami dengan AS."

Panggilan telepon Gan terjadi menjelang emilihan umum Singapura akan diadakan pada tanggal 3 Mei. Diketahui, negara kaya itu menghadapi ekonomi global yang bergejolak yang dijungkirbalikkan oleh tarif Trump. Partai yang berkuasa mengatakan penting bagi mereka untuk mendapatkan mandat yang kuat guna menangani tantangan yang ada di depan.

Warga AS Ketar-ketir soal Makanan Jelang Resesi

Warga AS bersiap untuk adanya gejolak ekonomi. Hal ini terjadi pasca Negeri Paman Sam berada dalam ancaman resesi akibat kebijakan tarif Presiden Donald Trump.

Mengutip CNBC International, pengumuman tarif yang luas dan tinggi oleh Presiden Trump pada awal April telah meningkatkan kekhawatiran bahwa ekonomi AS akan mengalami resesi dalam beberapa minggu terakhir. Warga kemudian mengingat kembali kiat dan trik yang mereka gunakan untuk bertahan hidup selama masa-masa keuangan yang suram seperti krisis keuangan global yang meledak pada tahun 2008.

Salah satu warga yang mengingat krisis itu dan membandingkannya pada saat ini adalah konsultan video memasak di media sosial, Kiki Rough. Rough mengaku sedang memikirkan bagaimana dirinya dapat menyajikan video memasak makanan di tengah kondisi ekonomi yang tertekan.

"Saya terus melihat lelucon ini berulang-ulang di komentar: Orang miskin yang lama mengajari orang miskin yang baru," kata Rough kepada CNBC. "Kita hanya perlu berbagi pengetahuan sekarang karena semua orang takut, dan pembelajaran akan memberi orang rasa aman untuk menghadapi situasi ini."

Google juga memprediksi lonjakan volume pencarian bulan ini untuk istilah yang terkait dengan resesi yang menjadi ciri khas akhir tahun 2000-an. Pencarian untuk "Krisis Keuangan Global" diperkirakan akan mencapai level yang belum pernah terlihat sejak tahun 2010, sementara pencarian untuk "Resesi Hebat" dijadwalkan akan mencapai tingkat tertinggi sejak dimulainya pandemi Covid.

Di TikTok, sekelompok Generasi Milenial dan Generasi X telah berperan sebagai kakak beradik, menawarkan kilas balik dan nasihat kepada orang yang lebih muda tentang cara berhemat.

Untuk Generasi Z, mereka telah menelepon orang yang lebih tua untuk mendapatkan wawasan tentang seperti apa rasanya resesi pada tahap kehidupan ini, karena mereka terlalu muda untuk merasakan dampak penuh dari krisis keuangan.


(tfa/tfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Trump Komunikasi Dengan China, Perang Dagang Segera Berakhir?

Next Article Video: Bahaya Perang Dagang Trump Intai Ekonomi RI

Read Entire Article
| | | |